BUKAN UNTUK RASA SAKIT
Diam-diam
Seseorang telah mengadu pada Tuhan
Ia menghadap di waktu senggang
Dalam lelap orang-orang lalai
Yang telah nista padanya
Sesuatu menyerupai dalam renungan
Mengingatkan tragedi itu
Untuk berpaling dari mimpi
Menjadi saksi
Yang ditakuti
Seperti memasuki ruang remang
Menyatu dalam lembah dalam
Dicampak ke lubang makam korban perang
Darah menyucur
Mengalir tanpa penghalang
Meski nyata, tetap ditelantarkan
Lebih pedih tak tertahankan
Menyumblim luka hingga menganga
Bersengat anyir dan menusuk sembilu
PEMBOHONGAN
Mungkin, itu tiba nanti
Saat para makhluk mulai berambisi
Mengambil macam-macam surga dari tangan kosongnya
Pikiran yang dibuat-buat
Dengan iring-iringan mantra dan air mata
Di bawah pikiran gundah
Tangan kelam menikam
Tiada bersuara hanya serunai
Dia bertandang mengeja malam
Di balik cakra jingga
Melumpuhkan puing-puing dari langit merah
Mengejar Surya
Untuk kembali pada elegi
Menyampaikan hasrat
Pada rindu membelenggu
Angin riak menuju kejauhan di tengah lautan tak berpenghuni
Akhirnya tanpa jeda masih di sini
Duduk di kursi tak membersamai
SESEORANG SEDANG SEPI
Langit telah pudar
Seperti di pagi yang tadi kita singgah
Tanpa warna warni
Langit tetap manis dan memberi ruang untuk bernafas menikmati hari
Angin mengedarkan kehangatan diantara panas dan kering sebagai penghalang rapuh
Rindunya seorang bujang adalah kutukan pantang diingkar
Mereka sedang semayamkan rindu
Dalam angan kenang-kenangan
KEMBALI SADAR
Dahulu!
Suaramu tidak didengar
Lantaran, dosa melimbubuhi badan jalang
Jelas tampak di mata lawan menghapus ambisi
Dan melemahkan kepiawaian
Dahulu!
Langkahmu bukan jalan
Tidak berarah walau kaku terlampaui
Dengan peluh serta keringat
Hanya umpama dalam majas yang kau tebas bersuara
Dahulu!
Ide-ide itu adalah teori lama
Tak penting membuat rumusan peradaban
Mati tak diperankan dalam sumber pembaharuan
Keruh dan berakhir menjadi air mata
Sesudahnya!
Menjadi gurauan
Buat kita yang mekar tanpa dipandang
Maka jangan coba berharap
Jika dosa-dosa itu belum diampuni dengan maaf
Mereka kembali bertanya
Mana aksi nyata-nyata itu
Diripun pergi
Berbohong untuk kembali
KERTAS CORETAN LAMA
Debu-debu jalan
Mengingatkan kita pada masa lalu
Saat itu
Udara begitu dingin
Mesra merayu kita di hujan yang mulai turun
Membawa suara, dengan desau udara di siang malam
Sampai ketinggalan kereta untuk pulang
Tiba di simpang
Bekal tadi sudah remuk oleh air
Genangannya meninggalkan kelam
Dimakamkan dalam masa depan
Yang bertandang di kesendirian
Menjelma cerita
Mengandung kerinduan
Tentang perasaan
Dia tumbuh tanpa disiram ketulusan
Kecuali untuk diceritakan sebagai pengalaman
2024
- BACA puisi-puisi tatkala.co yang lain