Sastra Jawa Kuna memiliki peluang besar dijadikan inspirasi dalam proses kreatif mencipta karya sastra modern. Hal itu disampaikan sastrawan peraih Hadiah Sastra Rancage yang juga pengelola Majalah Suara Saking Bali, I Putu Supartika dalam kegiatan Sabawarasa (Bincang Alih Wahana Sastra Jawa Kuna ke Sastra Modern) yang digelar di Ruang Ir. Soekarno, Gedung Poerbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Kamis (9/11).
Sabawarasa merupakan salah satu mata acara Pekan Sastra Jawa Kuna yang digelar serangkaian HUT ke-65 Program Studi (Prodi) Sastra Jawa Kuna, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana (FIB Unud) dan HUT ke-13 Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Jawa Kuna (Himawan). Pada tahun 2023, Prodi Sastra Jawa Kuna mengusung tema HUT “Sastra Nitya Rupa: Sastra Jawa Kuna Melintasi Ruang dan Masa”. Tema itu digagas sebagai bentuk pembumian nilai-nilai sastra Jawa Kuna di kehidupan masyarakat.
Supartika menilai bahwa di balik teks tradisional dapat digali banyak ide yang bisa digarap sebagai sumber kreativitas. “Di dalam kakawin misalnya, ada banyak ide, tapi tidak ada yang menggarap idenya. Orang yang tahu isinya belum tentu mengaplikasikannya ke sastra modern. Beberapa lain yang mengaplikasikannya justru bukan orang penekun sastra tradisional,” ukatanya.
Menurutnya, tidak ada ide yang benar-benar baru. Maka, teks-teks klasik itu dapat dijadikan referensi menunjang proses kreatif. Ide dapat dicari dari teks lain namun dikemas menjadi yang menarik dan tetap tidak melakukan penjiplakan. Kejujuran seorang penulis dituntut ketika menyampaikan karyanya adalah sebuah bentuk terjemahan, saduran atau mungkin terinspirasi teks lain.
Menurut sastrawan kelahiran Selumbung, Karangasem tersebut, karya sastra muncul dari adaptasi, semua yang dibuat awalnya berasal dari adaptasi. Namun, adaptasi sastra Jawa Kuna ke sastra Bali modern masih sedikit, sehingga perlu untuk dikembangkan. Ia menyarankan penulis agar terus mencoba menulis dan tidak cepat menyerah, sebab menulis adalah membiasakan diri dan latihan untuk kesabaran.
“Tantangan dalam mengadaptasi karya sastra klasik adalah memuaskan ekspektasi orang yang membaca. Membongkar sebuah teks sebenarnya masih sah dilakukan, sepanjang tidak mengklaim karya sastra orang lain sebagai karyanya sendiri, namun bisa disebut saduran atau ada teks aslinya, sejenis disclamer,” kata dia.
Koordinator Program Studi Sastra Jawa Kuna, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum mengatakan bahwa “Sabawasara” yang dilaksanakan sebagai bentuk mentransmisikan nilai-nilai sastra Jawa Kuna ke ruang yang lebih populer. Saat ini kearifan sastra Jawa Kuna tengah mendapat panggung positif pada generasi muda.
Apabila diperhatikan, di tengah masa modern seperti sekarang, khalayak kembali menggunakan narasi-narasi dari sastra-sastra klasik, seperti Jawa Kuna. Ia berharap kegiatan ini bisa memantik naluri para peserta untuk melakukan cipta sastra modern berbasis sastra Jawa Kuna.
“Teks adalah mozaik kehidupan, penting untuk mengungkapkan kembali sebuah teks Jawa Kuna yang diperlakukan dalam sastra modern. Dari segi teori sastra, kita pahami teks yang baik adalah teks yang diresepsi berbagai kalangan dengan berbagai versi,” kata guru besar Sastra Jawa Kuna itu. [T][Ado/*]