TAHUN LALU, tepatnya 26 Juli 2022, Chairil Anwar genap seabad; dan pada 3 Juli 2022, Perguruan Tamansiswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara juga genap seabad. Jika perayaan Chairil Anwar menggunakan waktu wafatnya (28 April 1949) sebagai momentum hari Puisi Nasional, maka perayaan Ki Hadjar Dewantara menggunakan tanggal kelahirannya (2 Mei 1889) sebagai Hari Pendidikan Nasional. Empat hari setelah perayaan hari wafatnya Chairil Anwar adalah hari Pendidikan Nasional.
Paling tidak ada tiga makna penting dari fenomena yang tampak saling bertolak belakang itu. Pertama, wafatnya Chairil dirayakan karena sedih mendalam ternyata menggedor-gedor rasa haru dan rindu untuk menghadirkan dan menghidupkan semangatnya. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”.
Sementara itu, kelahiran Ki Hadjar Dewantara dirayakan sebagai hari Pendidikan Nasional untuk mengetuk hati dan kesadaran anak bangsa untuk belajar sepanjang hayat. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan sabar untuk memerdekakan hidup lahir batinnya manusia, sebagai pembelajar.
Kedua, paradoksal juga tampak dari usia keduanya. Chairil wafat dalam usia muda, 26 tahun 9 bulan, sedangkan Ki Hadjar Dewantara wafat dalam usia relatif panjang 69 tahun (26 April 1959). Usia Chairil yang pendek, dikenang oleh dunia pendidikan dengan melakukan tabur bunga dan mengapresiasi karya-karyanya, dari dulu hingga kini, entah sampai kapan.
Sementara itu, usia Ki Hadjar Dewantara yang relatif panjang menyediakan kesempatan baginya untuk menjadikan puisi-puisi Chairil sebagai bahan ajar dan itu berlangsung sejak Indonesia merdeka sampai kini, walaupun rezim datang silih berganti.
Nilai puisi Chairil sejajar dengan Proklamasi yang dibacakan Bung Karno, sehingga terus berulang muncul dalam buku-buku pelajaran sekolah/kampus. Apresiasi dan pengkajian serius terhadap puisi Chairil juga terus hidup sepanjang zaman.
Hal ini tidak terlepas dari sepak terjangnya Chairil sebagai saksi sejarah yang mencatat Bung Karno dan kawan-kawan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Lahirnya puisi Persetujuan dengan Bung Karno dan Krawang Bekasi adalah contoh real kesaksian dan keberhasilan Chairil menangkap suasana kebatinan para tokoh bangsa di lingkar utama kekuasaan.
Ketiga, banyak puisi Chairil yang ditujukan kepada seseorang, antara lain Affandi, Darmawidjaya, Karinah Moorjono, Sri Ajati, Sri yang selalu sangsi, Bung Karno, Diponegoro. Tidak ada satu pun puisinya ditujukan kepada Ki Hadjar Dewantara.
Akan tetapi, dalam buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api, Seri Buku Saku Tempo (2017) disebutkan gairah nasionalisme Chairil terasah di Gedung Joang dengan empat mahaguru kemerdekaan, Sukarno, Mohammad Hatta, Amir Syarifudin, dan Ki Hadjar Dewantara.
Di dalam puisi Krawang Bekasi pun, yang dijaga hanya Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir. Sebagai seorang guru bangsa, Ki Hadjar Dewantara tampaknya lepas bebas merdeka tak peduli muridnya, mengingat atau tidak.
Akan tetapi, Ki Hadjar Dewantara dipuja sebagai Teratai oleh Sanusi Pane. “…Teruslah, o Teratai Bahagia/Berseri di kebun Indonesia/Biar sedikit penjaga taman…”
Sampai memasuki seabad Tamansiswa pada 3 Juli 2022, Chairil Anwar tampaknya menyiapkan api semangat untuk Pendidikan yang memerdekakan, seperti tersurat dalam puisi Diponegoro: “Bagimu negeri/menyediakan api”.
Bahkan dalam puisi berjudul Merdeka ia tulis, “Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida…” Jelaslah, bahwa sampai seabad Chairil, relevansi puisinya masih aktual dijadikan referensi pada Program Sekolah Penggerak dengan Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka.
Semangat Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka yang sedang digencarkan kini adalah bentuk penghormatan kepada Ki Hadjar Dewantara di Perguruan Tamansiswa dan Chairil Anwar di kancah perpuisian Indonesia yang menyediakan api semangat untuk bergerak serentak.
Di sinilah gagasan pendidikan yang memerdekakan dari Ki Hadjar Dewantara bertemu dengan puisi-puisi Chairil Anwar yang mendobrak. Bertemunya semangat nasionalisme melalui jalur yang berbeda untuk tujuan yang sama, mencerahkan dan mencerdaskan.
Ditilik dari tatatulis, penulisan Tamansiswa—yang serangkai bukan “Taman Siswa”—tanda bersatunya siswa dengan taman sebagai tempat belajar yang menyenangkan dan membahagiakan melalui sentuhan kasih sayang dari guru.
Bagi guru, puisi-puisi Chairil Anwar adalah taman literasi yang menjanjikan untuk diapresiasi sesuai dengan tuntutan pembelajaran abad ke-21: berpikir kritis, komunikatif, kolaboratif, dan kreatif.
Demikianlah, kehadiran Chairil Anwar dan Ki Hadjar Dewantara dalam kancah gelora perjuangan kemerdekaan berkolaborasi saling melengkapi. Api semangatnya layak dikobarkan kembali ketika kita melaksanakan Kurikulum Merdeka—untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila untuk maju bersama hebat semua.
Walaupun Chairil Anwar dan Ki Hadjar Dewantara tidak saling sapa dalam karya-karyanya, jelas keduanya memiliki naluri seni yang tinggi, literat dengan bacaan bermutu kelas dunia. Keduanya sosok pejuang pemikir, pemikir pejuang yang larut dan tenggelam dalam hati Nurani bangsanya.
Chairil Anwar abadi karena puisi-puisinya mendobrak dengan Bahasa Indonesia yang menggetarkan. Ki Hadjar Dewantara abadi karena jasanya di bidang Pendidikan yang berkepribadian bangsa digali dari sumur peradaban Nusantara. Inilah yang disebut berkepribadian dalam kebudayaan menurut ajaran Tri Sakti Bung Karno.[T]