2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dek Cita: Aktivis ‘98, Politisi, dan Politik Keseimbangan

JaswantobyJaswanto
September 16, 2023
inPersona
Dek Cita: Aktivis ‘98, Politisi, dan Politik Keseimbangan

Kadek Cita Ardana Yudi (Dek Cita)

SEJAK INDONESIA mengalami hyperinflasi pada 1967, saat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita hanya senilai $53; saat negara ini begitu melarat dan menjadi negara paling miskin di Asia; saat itulah, MPRS mencabut mandat Soekarno (Orde Lama) sebagai presiden dan menunjuk Soeharto (Orde Baru) sebagai pejabat presiden.

Pada tahun setelah goro-goro G30S-PKI itu, menurut data yang dirilis oleh World Bank, Indonesia berada di peringkat ke-3 sebagai negara termiskin di dunia (peringkat 1 di Asia), tepat satu tingkat di bawah Mali dan sejajar dengan negara-negara Afrika.

Kita lebih miskin dari India, Vietnam, bahkan negeri konflik macam Afghanistan. Gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan membuat rezim Orde Lama dipaksa mundur dan diganti dengan rezim Orde Baru.

Namun, memiliki pemimpin baru nyatanya juga tidak membawa Indonesia menjadi lebih baik. Jatuhnya Seokarno dan didapuknya Seoharto menjadi presiden harus dibayar mahal dengan mengorbankan demokrasi. Pada 15 Januari 1974, saat mahasiswa melakukan demonstrasi yang berujung kerusuhan besar, Orde Baru mulai menampakkan wajah aslinya.

Peristiwa yang dikenal dengan istilah Malari—malapetaka 15 Januari—itu berawal dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia dan juga kisruh investasi asing saat itu. Jumlah korban peristiwa Malari adalah 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, dan 750 orang ditangkap.

Setahun setelah peristiwa tersebut, jauh di Desa Bila, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, tepatnya pada 15 November 1975, bersamaan dengan para pemimpin Perancis, Jerman Barat, Jepang, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat memulai pertemuan puncak ekonomi mereka di sebuah kastil 30 mil dari Paris dan Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) kembali menggunakan nama Korps Marinir, Dek Cita dilahirkan.

Dek Cita memiliki nama lengkap Kadek Cita Ardana Yudi. Ia lahir dari pasangan Ketut Pasar dan Nyoman Ranis. Ketut Pasar, bapaknya, selain sebagai petani, pada 1962 juga terpilih menjadi Kelian Subak—orang yang memimpin sistem pengairan sawah (irigasi) untuk bercocok tanam padi di Bali—di Desa Bila.

(Pada tahun itu, Indonesia sedang mengalami inflasi sampai 100% (year-on-year). Pemerintah secara serampangan mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek megah seperti Monas di Jakarta.)

“Saya lahir dari keluarga petani yang sederhana dan lumayan cukup pada masa itu. Pada tahun 1986-1994, bapak terpilih menjadi Kepada Desa Bila,” ujar Dek Cita, saat diwawancarai tatkala.co, Jumat (8/9/2023) sore.

Dek Cita adalah seorang advokat sekaligus politisi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Jauh sebelum menjadi ahli hukum dan terjun di dunia politik, dulu Dek Cita adalah seorang aktivis mahasiswa yang berpengaruh di Bali.

Pria lulusan S1 Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana itu mengaku mulai tertarik menjadi aktivis mahasiswa sejak terpilih menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Biologi pada 1994 dan setelah membaca buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. “Rasanya belum menjadi aktivis mahasiswa kalau belum membaca buku itu,” katanya, sembari tertawa.

Catatan Seorang Demonstran (1983) merupakan buku harian Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan ’66 yang menjunjung tinggi idealismenya sampai wafat. Gie—sebagaimana judul film karya Riri Riza tahun 2005—menulis buku harian sejak duduk di bangku SMP. Saat itu dia baru berumur 15 tahun.

Gie menulis sampai dengan tanggal 10 Desember 1969, atau 6 hari sebelum kematiannya. (Daniel Dhakidae, yang ikut menyiapkan buku ini saat pra cetak mengatakan bahwa dalam buku ini catatan harian terakhir yang termuat adalah pada tanggal 8 Desember 1969.)

“Membaca buku itu membuat saya sadar, terkadang apa yang kita lakukan sekarang mungkin akan berdampak besar di kemudian hari, entah untuk diri sendiri, maupun untuk orang-orang di sekitar kita,” terang alumni SMA Negeri 3 Singaraja itu.

Karier Dek Cita sebagai aktivis mahasiswa tidak berhenti sampai di situ, pada tahun yang sama, ia juga dipercaya sebagai penanggung jawab Majalah Leucopsar, majalah mahasiswa jurusan Biologi UNUD. Dan berkat kesuksesannya memimpin mahasiswa di jurusannya, pada 1995 ia terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa FMIPA UNUD.

Selain aktif sebagai aktivis mahasiswa non-agama, Dek Cita juga aktif di organisasi mahasiswa keagamaan. Pada tahun 1994–1997, ia tercatat sebagai anggota FPMHD (Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma) UNUD dan pada 1995–1998 sebagai kader KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) Bali.

Pada 1998, saat menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, Dek Cita ikut terlibat dalam memperjuangkan demokrasi. Pada saat itu, demonstrasi terus berlangsung setelah Presiden Soeharto turun dan menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Mahasiswa di Bali menuntut agar jejaring politik lokal yang saat itu berkuasa untuk mengundurkan diri. Salah satunya aksi puluhan ribu massa di gedung DPRD Bali yang berakhir dengan adanya pernyataan mundur dari Ketua DPRD Bali saat itu, Ketut Sundria.

“Kita tahu di masa Orde Baru demokrasi ‘dikebiri’. Kebebasan berserikat dan berpendapat diatur oleh negara. Dan sebagai seorang insan akademis, pada saat itu, kami beramai-ramai turun ke jalan menuntut hak-hak warga negara yang dibatasi,” kenang Dek Cita.

Pada tahun 2002, setelah melewati jalan terjal menjadi mahasiswa pergerakan, Dek Cita akhirnya lulus dan meraih gelar sarjana S1-nya. Sejalan dengan itu, ia bekerja sebagai Unit Manager Divisi Executive Asuransi Bumi Putra. Selesai di Bumi Putra, sampai tahun 2003 Dek Cita bekerja di Finansial Consultant pada Aliianz Life Insurance.

Terlibat Langsung dalam Politik

Tak terbayangkan oleh siapa pun bahwa Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur—sebagaimana ia lebih umum dikenal—dapat mengumpulkan cukup suara untuk dapat terpilih sebagai presiden pada tahun 1999.

Bagaimanapun, dalam pemilihan umum bulan Juni, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati memenangkan lebih dari sepertiga suara. Partai Gus Dur sendiri—Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—memperoleh kurang dari 13 persen suara, separo lebih sedikit dari yang diperoleh partai milik Habibie, Partai Golkar.

Narasi di atas ditulis oleh Greg Barton dalam prolognya di buku Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, buku yang ditulisnya dan terjemahannya diterbitkan LKiS tahun 2003.

Selang beberapa menit setelah voting pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 1999 selesai disiarkan langsung dari Jakarta Pusat, dengan kemenangan Gus Dur, masyarakat pendukung PDI-P di Bali, khususnya di Buleleng, mulai bereaksi negatif, seperti—meminjam istilah Prof. I Made Pageh—”Raja Singa” yang selama ini ”tertidur nyenyak” terbangun dan ngamuk, membumi-hanguskan berbagai fasilitas umum di Buleleng.

Di tengah sisa riak kerusuhan politik tersebut, menjelang Pemilu 2004, Dek Cita mendaftar dan lolos sebagai anggota KPU Kota Denpasar periode 2003–2008. Ini adalah awal ia terlibat dalam dunia politik secara langsung.

Tahun itu, sebagai anggota penyelenggara pemilu, Dek Cita termasuk orang yang berani. Mengingat, kondisi politik di Bali tahun itu memang sedang mencekam. Namun, berkat pengalaman dan pengetahuannya tentang politik dan sebagai seorang mantan aktivis mahasiswa, ia sudah tak heran dan kaget dengan kondisi demikian.

“Sebagai penyelenggara pemilu kami harus siap dengan kondisi apa pun. Dan benar, tahun 2000-an kondisi politik di Bali memang mencekam,” kenang Dek Cita.

Empat tahun setelah Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan Pemilu 2004 dan terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia—setelah mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi; Wiranto dan Salahuddin Wahid; Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo—Dek Cita terpilih sebagai Ketua KPU Kabupaten Buleleng periode 2008-2013. Dan setelah menamatkan kariernya di KPU, dari 2013 sampai 2018, selama lima tahun, ia dipercaya sebagai tenaga ahli Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Tak ingin hanya terlibat sebagai penyelenggara pemilu, setelah menjadi tim ahli DPR RI, pada tahun 2018 Dek Cita bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)—partai yang dirintis oleh Jend. TNI (Purn) Wiranto bersama para tokoh nasional seperti Dr. Fuad Bawazier, Yus Usman Sumanegara, dan beberapa pensiunan TNI, yang menggelar pertemuan di Jakarta pada tanggal 13 November 2006.

Selama berkarier di Hanura, Dek Cita pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua DPD Hanura Bali. Namun, pada tahun 2022, setelah menjadi bagian dari Hanura, ia memilih hijrah ke Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan menjadi Sekretaris Pimpinan Daerah PKN Bali.

Tetapi, selain aktif di dunia politik, Dek Cita juga melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Hukum Ngurah Rai Denpasar dan meraih gelar magister hukum pada tahun 2020. Atas gelar yang didapatnya tersebut, saat ini ia menjadi seorang advokat/Office Manager Berdikari Law Office.

Politik Keseimbangan

Seorang politisi idealnya juga sekaligus seorang pemikir—atau setidaknya memiliki pemikiran. Seperti zaman dulu, nyaris tak ada politisi yang tidak memiliki pemikiran. Nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir, Tan, Aidit, dll, semua memiliki pemikiran-pemikiran terkait bangsa dan negara—terlepas pro-kontra atasnya.

Begitu pula dengan Dek Cita, sebagai seorang politisi, ia memiliki pemikiran dan memandang bahwa politik adalah keseimbangan.  Maksudnya, bahwa semua harus diatur sesuai porsinya masing-masing, seimbang, tidak berat-sebelah.

Ia mengaku, pikiran itu terinspirasi dari sosok Ketut Pasar, bapaknya, saat menjabat sebagai Kepala Desa Bila. Saat itu, katanya, bapaknya sering mendapat serangan dari lawan politik yang tidak suka dengan kebijakannya. Namun, alih-alih tersinggung, marah, atau balas menyerang, sikap bapaknya justru membuatnya kaget.

“Mendapat perlakuan seperti itu, bapak malah menjadikannya sebagai bahan pertimbangan. Dia malah mencoba mencari titik tengah atas apa yang dipersoalkan. Jadi, selama menjabat, bapak selalu menempatkan diri di tengah—benar-benar di tengah—menjadi penyeimbang,” jelasnya.

Dek Cita bercerita, politik di Bali tahun 80an, khususnya di Bila, terkesan sangat kaku. Persaingan atau pertarungan politik—untuk tidak mengatakan permusuhan—dipelihara secara turun-temurun.

“Pada saat bapak terpilih sebagai kepada desa, beberapa orang menuduhnya memiliki ilmu nyethik, bisa meracun,” ungkap Dek Cita. Dari bapaknya, ia mendapat pengalaman dan pelajaran tentang bagaimana sikap menjadi seorang politisi. Ia bahkan sampai mengerti bagaimana gestur orang-orang yang mendatangi rumahnya, dulu.

“Tapi bapak menganggap itu semua sebagai bentuk keseimbangan. Artinya, seberapa banyak orang yang menyukai kita, segitu juga orang yang tidak suka dengan kita,” imbuhnya, menjelaskan.

Puncak dari kesadarannya atas politik keseimbangan itu setelah mendengar cerita tentang bagaimana bapaknya terpilih sebagai kepala desa tahun ‘86 dengan kemenangan yang tipis. Bapaknya berkata, “Pemimpin itu tidak harus menang secara mutlak. Karena kalau mutlak ia bisa sombong dan semena-mena menggunakan kekuasaannya.” Kata-kata itu yang memantik dirinya untuk menjadi seorang politisi.

Pada akhirnya, Dek Cita menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah bentuk keseimbangan. Dalam demokrasi, misalnya, adanya koalisi dan oposisi adalah bentuk kewajaran, keniscayaan, sebagaimana ada kanan dan kiri, hitam dan putih, panas dan dingin, pro dan kontra. Maka, demokrasi yang seragam baginya adalah bentuk kemunduran. Sebab, demokrasi hadir bukan untuk menyeragamkan , tapi untuk memberi kebebasan dalam kehidupan yang beragam.[T]

Baca juga artikel terkait TOKOH atau tulisan menarik lainnya JASWANTO

Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana

Tags: baliPartai Politikpolitisitokoh
Previous Post

“Sawidji Comes Home”, Ruang Kolektif, Dari Ubud ke Jantung Kota Denpasar

Next Post

Dialog Dini Hari dan Single Terbarunya, Miles Away

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Dialog Dini Hari dan Single Terbarunya, Miles Away

Dialog Dini Hari dan Single Terbarunya, Miles Away

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co