BALI UTARA punya problem klasik jika bicara pariwisata. Daerah ini seakan selalu dibayang-bayangi kebesaran dan kemegahan pariwisata di Bali Selatan.
Tentu saja. Imaji dominan yang muncul ketika berbicara tentang pariwisata Bali selalu berputar pada kawasan-kawasan Bali Selatan. Jatiluwih dengan persawahannya, Ubud dengan rice terraces-nya, atau Kuta dengan night club-nya.
Sekilas memang tidak ada yang salah dari hal itu, namun apabila imaji ini kerap menjadi top of mind dari wisatawan yang akan melancong ke Bali, bagaimana kabarnya daerah Bali yang lain? Dalam kasus ini khususnya daerah Bali Utara?
Pertanyaan yang paling sering dilemparkan ketika mendengar tawaran kunjungan ke daerah Bali Utara, “Ada apa di sana?”
Atau jikapun wisatawan mengetahui Bali Utara, paling banyak imaji yang akan muncul di benak mereka, “Oh Lovina ya? Yang nonton lumba-lumba?”
Pandangan-pandangan ini mungkin merujuk pada satu hal. Pertama, apakah berarti Bali Utara sebagai satu destinasi wisata masih kurang mendapat spotlight? Atau istilahnya, masih under-represented? Mungkin saja.
Namun fenomena ini juga membawa pada satu refleksi, kalau-kalau pendefinisian dan pemahaman umum soal pariwisata masih sangat sempit dan terbatas. Pandangan-pandangan di atas menunjukkan imaji pariwisata yang dominan masih berputar soal “tempat main”.
Pengalaman, rasa, dan imaji lian
Suatu hari di bulan Agustus 2023 saya punya imaji lian ketika berkunjung ke beberapa tempat yang bisa disebut sebagai destinasi pariwisata di Bali Utara.
Berbekal hobi jalan-jalan, saya dan rekan saya memilih mengunjungi satu studio arsitektur di Bali Utara. Lokasi tepatnya di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Hanya perlu waktu tempuh perjalanan sekitar 20-40 menit dari pusat kota Singaraja, kami sudah sampai di tempat itu. Orang mengenal tempat ini dengan nama Rumah Intaran. Ya, namanya memang Rumah Intaran. Rumah adalah rumah, intaran adalah nama pohon. Pohon intaran biasa disebut pohon mimba dengan nama latin Azadirachta indica
Di tempat itu, kami disambut oleh seorang laki-laki untuk diajak naik ke kompleks bagian atas. Sembari berjalan saya melihat kerindangan yang mengelilingi Rumah Intaran hingga seorang laki-laki yang lain ikut menyapa kami dari dalam sebuah ruangan kecil.
Tak lama, laki-laki itu datang dengan memakai topi caping dari anyaman janur sembari menyalami kami.
Gede Kresna, begitu namanya. Ia adalah penggagas, pengelola, sekaligus pemilik Rumah Intaran.
Kami duduk di halaman tengah kompleks. Suasana saat itu memang amat sejuk oleh rindang beragam jenis pepohonan, dan tentu satu pohon yang paling ikonik, adalah rindangnya pohon Intaran.
Ya, pohon intaran memang menjadi inspirasi nama dari tempat ini.
Anjing-anjing peliharaan di rumah ini ikut juga menyambut, meramaikan suasana. Pula ayam dan burung yang dilepas bebas, menambah suasana alami di Rumah Intaran.
Pak Gede, begitu kami memanggilnya, membuka obrolan tentang apa sebenarnya yang menjadi ide dasar dibentuknya Rumah Intaran,
Ruang pengalaman dan belajar
“Rumah Intaran ini dibangun sebagai tempat belajar. Sesuatu yang tidak kita dapatkan di sekolah itu diajarkan disini,” papar Gede Kresna ringan.
Fungsi Rumah Intaran sebagai tempat belajar memiliki arti yang cukup mendalam. Pada dasarnya, Rumah Intaran tidak hanya berdiri sebagai tempat atau lokasi yang ditujukan untuk pariwisata dalam arti sempit yang mana kerap dimaknai sebagai “pelesiran” semata. Namun ada hal yang ingin ditawarkan di Rumah Intaran. Yakni, dapat digaris bawahi, pengalaman.
Di dalam ruang ini, tamu diajak untuk mengalami langsung paparan kultural yang diusung oleh Rumah Intaran.
“Pernah nggak kalian memasak dengan kayu bakar?” kata Gede Kresna.
Kami hanya tersenyum.
“Dan itu salah satu yang diajarkan di sini. Memasak dengan kayu bakar,” katanya.
Bagi Gede Kresna, aktivitas memasak dengan kayu bakar ini menjadi salah satu nilai kunci dari Rumah Intaran secara keseluruhan.
“Sekarang banyak remaja putri dan ibu-ibu meninggalkan praktik ini, padahal gerakan jongkok dalam keseharian memasak ini salah satunya bisa melancarkan peredaran darah yang sangat penting dalam proses ketika perempuan melahirkan nantinya,” kata Gede Kresna.
Pengalaman dan praktek semacam itu memang menjadi satu contoh nilai yang dianut Rumah Intaran dari sekian proses di baliknya. Sehingga penekanan perlu diberikan pada Rumah Intaran sebagai laboratorium pembelajaran, alih-alih destinasi wisata yang berfokus semata pada komersil.
Susunan dinding salah satu bangunan di paviliun tengah Rumah Intaran : Foto: Dok KemBali Becik
Tampak paviliun tengah Rumah Intaran | Foto: Dok KemBali Becik
Berwisata itu tentang experience
Obrolan-obrolan asyik dengan Gede Kresna membawa saya pada ingatan beberapa waktu lalu saat saya berkunjung ke Pagi Motley, sebuah usaha kerajinan di bidang tekstil di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng.
Saat itu sore-sore kami duduk di dalam ruangan galeri Pagi Motley berbincang dengan pengelola serta pelaku pariwisata dari Tejakula tentang apa yang menjadi kendala utama kepariwisataan di Bali Utara.
“Berwisata di Bali Utara itu tentang experience,” sahut Nyoman Nadiana atau yang akrab dipanggil Don Rare, pelaku pariwisata dengan inisiatif Tour de Les sekaligus pengembangan produk UMKM di Buleleng.
Di saat yang sama ia juga membagikan keresahannya sebagai pelaku pariwisata di Buleleng. Banyak problem klasik yang ia temukan.
“Pertama, keluhan tentang jarak tempuh yang cukup jauh dari ibukota provinsi. Kedua, imajinasi dominan yang masih membawa gambaran pariwisata di Bali Selatan sebagai tolak ukur pendefinisian pariwisata di Bali selama bertahun-tahun,” ujar Nyoman Nadiana dengan menggebu-gebu.
Ia menceritakan pengalamannya beberapa kali berbincang dengan pemandu wisata dan turis-turis yang ingin berwisata ke Bali Utara. Pertanyaan yang paling sering dilemparkan padanya selalu berputar pada “Apa yang bisa dikunjungi di Bali Utara?” Atau anjuran-anjuran untuk membuat set seperti destinasi-destinasi wisata yang ada di Bali Selatan.
“Hal-hal seperti itu ‘kan susah dilakukan di sini. Kemampuan sumber daya pelaku pariwisata di Bali Utara ‘kan bisa saja berbeda dengan apa yang ada di Selatan,” katanya.
Saya mendengar sembari mengangguk-angguk setuju.
“Lagipula, kalaupun sekarang kita buat seperti apa yang ada di Selatan, jadinya ‘kan tidak ada pembeda juga. Masih banyak hal yang bisa dieksplorasi di Buleleng ini,” katanya lagi.
Bagi Nyoman Nadiana, potensi wisata di Buleleng justru bisa memiliki model tersendiri yang khas dan tidak harus melulu tentang tempat-tempat ramai dengan konsumsi tinggi seperti model mass-tourism yang belakangan juga menunjukkan dampaknya pada lingkungan dan komunitas setempat.
Kekhasan daerah ini, kata dia, menjadi titik tolak bentuk pariwisata di Bali Utara yang menitikberatkan pada experience. Dengan kata lain, dapat dimaknai juga sebagai suatu proses masuk ke pendalaman substansi kelokalan.
Saya tentu saja setuju dengan kata-kata Nyoman Nadiana ini.
Penawaran pengalaman atau experience ini menjurus pada bagaimana pariwisata dimaknai sebagai ruang belajar persis seperti apa yang juga di-visi-kan oleh Gede Kresna dalam tata kelola pariwisata di Rumah Intaran sekaligus Pengalaman Rasa.
Gede Kresna, penggagas dan pengelola Rumah Intaran | Foto: Dok. KemBali Becik
Memposisikan gerak slow-tourism
Rumah Intaran sebagai sebuah studio arsitektur juga bisa dikatakan sebagai upaya pendokumentasian nilai-nilai kelokalan dalam suatu desain bangunan.
Gede Kresna menjelaskan bagaimana tata letak hingga benda-benda yang menjadi bagian dari bangunan di Rumah Intaran semuanya adalah hasil riset pada desa-desa di Buleleng. “Kalian pernah tahu hal itu nggak?” kata Gede Kresna kepada kami di sela-sela perbincangan,
Ia menunjuk ke sebuah benda kayu memanjang yang digantung di dinding salah satu bangunan.
“Itu topi lho, itu dipakai petani-petani untuk menutupi punggung mereka,” sahutnya.
Melalui perbincangan itu ia hendak menunjukkan bagaimana Rumah Intaran berusaha untuk menghadirkan kembali spirit atau nilai yang ada pada satu kesatuan proses kebudayaan yang holistik hingga pada unit terkecil.
“Kalau kita bicara sustainable itu kan beres di tiga hal pokoknya dulu. Boleh nggak kita lihat pangannya seperti apa? Lanjut ke sandangnya, lalu ke papan?” katanya.
Dengan pendalaman yang dilakukan pada setiap rantai prosesnya, Rumah Intaran menawarkan satu pengalaman pada salah satu unik kerjanya di bidang pangan. Menggunakan konsep gastronomy, Gede Kresna menamai inisiatif ini sebagai Pengalaman Rasa.
Pada awalnya Pengalaman Rasa disebut sebagai culinary lab sebelum akhirnya diubah menjadi gastronomy.
“Ya simpelnya sebenarnya gastronomy itu urusan perut, tapi di sana kita ceritakan narasi kulturalnya,” katanya.
Antropolog Marcel Mauss menyebut gastronomy sebagai suatu ‘praktik ketubuhan’ yang di dalamnya terdapat gestur, gerakan, dan posisi yang mendefinisikan diri kita sebagai individu dan juga sebagai bagian dari suatu komunitas.
Singkatnya, secara keutuhan dari awal proses produksi hingga konsumsi, persoalan pangan dalam gastronomy tidak hanya soal ingredients tapi juga mengandung aspek performatif yang mencirikan suatu ekspresi kebudayaan. Hal itulah yang muncul dalam proses yang dilalui Pengalaman Rasa.
“Proses memasaknya melalui kurasi bahan pangannya dulu, alat memasaknya, contoh juga bahan-bahan makanan yang digunakan kita ambil sendiri seperti ayam kita menggunakan ayam yang memang sudah ada di sini,” kata Gede kresna.
Foto: Dokumentasi KemBali Becik
Kuliner dari Pengalaman Rasa | Foto: Dokumentasi KemBali Becik
Proses ketat itulah yang sekaligus menjadi alasan produksi pangan di Pengalaman Rasa tidak sebentar. Ada proses kurasi dan companion yang dilakukan langsung oleh Gede Kresna,
“Maka dari itu kita tekankan disini Pengalaman Rasa sebagai dining room dan bukan restoran yang buka setiap hari dan orang bisa datang kapan saja,” ujarnya.
Pengalaman Rasa dalam hal ini menaruh penghormatan pada setiap proses yang dilalui, karena baginya di dalam proses produksi tersebut diperlukan waktu juga untuk belajar. Penghormatan itu ditunjukkan melalui adanya pembatasan yang dilakukan dalam penerimaan tamu di Pengalaman Rasa.
“Jumlah reservasi di Pengalaman Rasa kami batasi maksimal delapan kali dalam sebulan,” imbuhnya.
Pengalaman Rasa baru salah satu dari aspek pengalaman yang ditawarkan pada pengunjung di Rumah Intaran. Selebihnya ada Pengalaman Raga dan Pengalaman Jiwa, ketiganya ini menjadi satu kesatuan yang diberikan pada setiap kunjungan ke Rumah Intaran dan Pengalaman Rasa.
Satu kesatuan itulah yang disebut oleh Gede Kresna sebagai holistic well-being. Baginya, jiwa dari sustainable tourism ada pada hal tersebut dan praktik-praktik itu bukan sesuatu yang diperoleh secara instan, diperlukan adanya kontinuitas dalam menekuninya.
Pada akhirnya aspek performativitas menjadi poin penting dalam memahami kedalaman makna pariwisata yang menitikberatkan pada pengalaman.
Tuak manis yang diproduksi langsung dari lab Pengalaman Rasa | Foto: Dokumentasi KemBali Becik
Lalu, bagaimana pemosisiannya terhadap bentuk pariwisata di Bali Utara? Mungkin seperti yang ditulis pada tajuk di awal: slow-tourism.
Slow-tourism di sini tidak diartikan sebagai ‘perlambatan’melainkan merujuk pada ke-perhatian-an (atau kalau kita bisa gunakan bahasa yang paling sering didengungkan sekarang, mindfulness). Menjadi lebih mindful pada lingkungan dan komunitas dalam berwisata.
Hal itu tentu saja menjadi hal yang mungkin dalam pembacaan ruang berwisata di Bali Utara jika kita berkaca pada praktik yang dilakukan oleh beberapa lab inisiatif lokal seperti Rumah Intaran di Desa Bengkala dan Pagi Motley di Desa Sembiran.
Persoalan sustainability atau keberlanjutan dalam pariwisata memang telah belakangan menjadi isu yang cukup dipersoalkan, lebih-lebih di Bali.
Sebuah inisiatif pariwisata Bali yang berkelanjutan: KemBali Becik
Sebagai respon dari permasalahan pariwisata di Bali, inisiatif lebih lanjut datang dari Kembali Becik, sebuah platform kolaboratif yang bertujuan pada pemulihan pariwisata Bali pasca-pandemi secara lebih sadar lingkungan. Kembali Becik memposisikan diri dalam hal ini juga sebagai wadah ide kolektif dalam merumuskan desain ekosistem pariwisata Bali yang lebih menaruh perhatian pada lingkungan hidup dan sosial.
Salah satu program utama yang diluncurkan KemBali Becik adalah Green Pages. Sebuah direktori yang tersedia pada website kembalibecik.com guna memunculkan daftar bisnis atau pelaku usaha di sektor pariwisata yang telah melalui proses survey dan asesmen untuk berkomitmen pada nilai-nilai praktik keberlanjutan. Direktori ini terbuka untuk semua pelaku usaha sektor pariwisata di Bali, termasuk Bali Utara, contohnya Pagi Motley yang telah terdaftar dalam direktori KemBali Becik.
Inisiatif Green Pages ini dimaksudkan untuk langkah awal menyeimbangkan supply dan demand dalam pariwisata berkelanjutan. Dengan adanya kesadaran berwisata untuk lebih memperhatikan lingkungan dan sosial, platform Green Pages berfungsi untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dari wisatawan dengan pelaku usaha yang memiliki kesamaan visi. Dalam hal ini bisa dikatakan, secara fungsional KemBali Becik berupaya menjadi go-to platform bagi wisatawan di Bali.
Disamping hal-hal yang bersifat teknikal, penting untuk menekankan salah satu nilai yang diposisikan penting oleh Kembali Becik, yaitu komunitas. Dalam bingkai pariwisata berkelanjutan, memposisikan aspek komunitas berarti mengembalikan ruang gerak pariwisata kembali pada aspek kelokalan. Bagaimana agar aktor-aktor dalam sektor pariwisata dimainkan langsung oleh komunitas lokal. Singkatnya, membentuk ekosistem dari warga untuk warga.
Terkait hal itu jika kembali melihat di Bali Utara, sebenarnya kolaborasi antar pelaku pariwisata telah cukup terbentuk.
“Kita di sini juga terhubung dengan Rumah Intaran, dengan Tatkala juga sebagai media,” jelas Nyoman Nadiana saat berbincang di Pagi Motley.
Selaras dengan itu, “Soal kolaborasi antar komunitas lokal selalu mengajak pak Nyoman juga,” lanjut Andika, pemilik sekaligus pengelola Pagi Motley.
Proses pewarnaan tekstil di Pagi Motley | Foto: dokumentasi pribadi
Proses pembuatan kain lukis di Pagi Motley | Foto: dokumentasi pribadi
Ketika berbincang bersama di ruang galeri Pagi Motley, keduanya—Nyoman Nadiana dan Andika—sepakat bahwa masalah utama terbukanya keran pariwisata ke Bali Utara bukan lagi soal “Ada apa di Bali Utara” melainkan bagaimana perpindahan wisatawan itu benar-benar terjadi di Bali Utara.
Sebagai sebuah wadah kolektif sekaligus platform informasi pariwisata Bali, concern terhadap pemerataan pariwisata di Bali turut menjadi satu perhatian Kembali Becik. Beberapa waktu lalu melalui Sustainable Trip, sebuah tur singkat selama dua hari didesain untuk mengajak wisatawan mengeksplorasi Bali Utara.
Tur singkat ini menjadi satu langkah Kembali Becik untuk membawa wisatawan mengenal dan “mengalami” Bali Utara secara langsung. Rumah Intaran menjadi destinasi kunjungannya. Pemilihan Rumah Intaran juga didasarkan pada misi yang diusung oleh Kembali Becik tentang ide pariwisata berkelanjutan. Spesifiknya, membuka kesempatan bagi wisatawan melihat dan mengalami langsung proses holistik yang ditawarkan oleh Rumah Intaran.
Proyeksinya kemudian, adanya aktivasi kegiatan sejenis Sustainable Trip oleh Kembali Becik mampu menjadi stimulasi pergerakan wisatawan ke Bali Utara dengan tentu saja tetap membawa spirit slow-tourism seperti yang ditawarkan pada pembacaan ini.
Tampilan ikon KemBali Becik | Sumber: kembalibecik.com
Untuk itu selaras dengan misi yang diusung oleh Kembali Becik untuk pariwisata yang lebih sustainable, Bali Utara sangat mungkin untuk bisa memenuhi branding model slow-tourism di Bali.
Sebelum ditutup, izinkan saya mengutip kembali obrolan dengan Nyoman Nadiana. “Buleleng itu banyak sekali yang bisa dieksplorasi!” [T]
Reporter: Putu Dinda Ayudia
Penulis: Putu Dinda Ayudia
Editor: Made Adnyana
- Artikel ini ditulis dan disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan KemBali Becik