SEORANG MAHASISWA Universitas Jember ingin membeli kabel data baru karena yang ia miliki sudah tidak layak lagi. Mahasiswa ini menelusuri barang yang hendak dibelinya di semua marketplace yang terinstal di gawainya: Shopee, Tokopedia, Facebook marketplace, dan semacamnya.
Ia menelusuri dan membandingkan merek, kualitas, harga, reputasi toko, penilaian para pembeli, biaya pengiriman, promo, dan apapun demi mendapatkan barang yang sesuai dengan keinginannya dan tentu saja yang sesuai dengan kantong mahasiswa-nya.
Tidak hanya itu, mungkin karena tidak puas, tidak ada yang benar-benar cocok, biaya pengiriman yang terlalu mahal, atau ragu-ragu dengan originalitas dan kualitas produk yang tersedia di dalam online shop tadi, si mahasiswa juga menelusuri toko-toko fisik yang ada di sekitar kampusnya.
Apa yang ia lakukan ketika berada di toko-toko fisik tersebut? Ya, sama saja, menelusuri dan membandingkan. Meskipun pada akhirnya ia belum tentu memilih produk yang tersedia di toko-toko fisik, secara ekstrem ia mendapatkan pengalaman yang lebih indrawi terhadap produk yang ia cari daripada melalui online shop.
Dengan mendatangi toko fisik—Bitcom, Rudy Cell, Grand Celluler, dan semacamnya—iya mendapatkan perbandingan yang lebih signifikan, yaitu secara digital dan secara fisik.
***
Pada era Society 5.0, pengalaman berbelanja yang demikian pada kenyataannya bukan hanya terjadi pada mahasiswa tadi, melainkan juga pada masyarakat umum di berbagai belahan dunia.
Kecenderungan cara berbelanja seperti ini membuat para ahli digital marketing mengatakan bahwa ada sebuah era yang berbeda yang hendak atau sudah datang yang disebut sebagai era Figital.
Figital (Phygital) adalah akronim dari Physical dan Digital. Merujuk pada Veta (2021) dalam State of Phygital, Figitaldapat diartikan sebagai filosofi tatanan dunia baru, di mana Figital pada dasarnya memungkinkan integrasi yang erat dari lingkungan virtual (digital) ke dalam fisik kehidupan manusia yang nyata.
Saat ini memang diterima secara luas bahwa sejak 1975 kita berada pada Revolusi Industri Ketiga atau Revolusi Informasi,yaitu peralihan dari dunia elektronik analog ke digital. Namun demikian, banyak ahli mempercayai bahwa sebenarnya kita sudah melampaui era itu dan sedang berdiri di ambang pintu gerbang selanjutnya, yaitu Figital.
Apabila diurutkan, seperti inilah urutan revolusi teknologi dari agrikultural hingga Figital: Agrikultural (1965), Industrial (1780), Steam Engine (1810), Heavy Engineering (1875), Automobile (1900), Science (1940), Information (1975), Phygital (2021).
Hadirnya Era Figital tampak dianggap serius oleh perusahaan-perusahaan teknologi kelas dunia. Misalnya, Facebook Inc,yang saat ini berubah nama menjadi Meta, perusahaan ini sudah mengenalkan inovasi bernama Metaverse yang disebut sebagai dunia baru yang menggabungkan antara pengalaman fisik dan digital.
Di berbagai belahan dunia, berbagai perusahaan sudah menjalankan strategi menghadapi Era Figital, misalnya dengan pemanfaatan AR dan XR pada bidang konstruksi bangunan, layanan kesehatan, fashion, retail, travel, pendidikan, dan sebagainya.
***
Sampai di sini, mari kita kembali ke pengalaman figital yang dialami mahasiswa tadi. Jika kemudian kebanyakan masyarakat melakukan hal yang sama saat hendak membeli sesuatu, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap toko-toko yang hanya berjualan secara digital (marketplace).
Seperti kita ketahui, tidak sedikit pedagang yang hanya memiliki toko digital, tidak memiliki toko fisik. Misalnya, UMKM-UMKM yang hanya berjualan dari dalam rumah dan melayani pembeli melalui fitur chat di gawainya.
Pembeli yang ingin mendapatkan pengalaman fisik terhadap sesuatu yang ingin dibelinya tentu tidak dapat dilayani oleh UMKM tersebut. Karena itulah, para ahli mengatakan bahwa memiliki toko fisik di era figital adalah wajib ketika tidak ingin tergerus oleh toko-toko yang memberikan pengalaman fisik sekaligus digital.
Sebenarnya, masalah ini tidak sesederhana membuka toko fisik untuk memberi pengalaman fisik pada konsumen. UMKM akan berhadapan lagi dengan modal usaha, tempat usaha, strategi penjualan, karyawan, manajemen waktu, dan sebagainya, termasuk, tentu saja, penguasaan keterampilan berkomunikasi secara bertatap muka dengan konsumen.
Seseorang yang mahir berjualan secara digital (melalui tulisan/chat atau siaran langsung) belum tentu mahir juga berjualan secara fisik. Masing-masing ada pada ragam bahasa yang berbeda sehingga perlu penguasaan keterampilan berbahasa yang berbeda. Kehadiran lawan bicara, kebutuhan untuk menjawab dan menawarkan secara cepat, gestur tubuh, mimik wajah, intonasi, dan faktor-faktor lain perlu dipelajari.
Kompetensi bahasa Indonesia yang mumpuni dapat menjadi pendorong pemberdayaan UMKM dalam Era Figital. UMKM dapat memanfaatkan bahasa Indonesia untuk memperluas jangkauan pasar, menjalin kemitraan yang saling menguntungkan, membangun kepercayaan konsumen, serta membangun citra bisnis yang kuat melalui komunikasi yang jelas dan efektif.
Memperluas jangkauan pasar
UMKM dapat memanfaatkan bahasa Indonesia untuk memperluas jangkauan pasar mereka.
Dengan terampil berbahasa Indonesia, baik pada toko fisik maupun digital, UMKM dapat menjangkau pelanggan lokal yang lebih luas, memahami kebutuhan dan preferensi mereka, dan menyampaikan pesan pemasaran yang sesuai.
Bahasa Indonesia yang digunakan secara efektif dalam pemasaran dan komunikasi dapat membantu UMKM mencapai target pasar yang lebih besar dan meningkatkan daya saing bisnis mereka.
Menjalin kemitraan yang saling menguntungkan
Kemampuan bahasa Indonesia pada konteks fisik dan digital juga memungkinkan UMKM untuk menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan mitra bisnis.
Dalam menjalin hubungan kerja sama, komunikasi yang jelas dan efektif merupakan kunci utama.
UMKM yang mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Indonesia dapat membangun kepercayaan, memahami kebutuhan mitra bisnis, dan menjalin kerja sama yang saling menguntungkan.
Membangun kepercayaan konsumen
Bahasa Indonesia yang digunakan dengan baik secara fisik dan digital dapat membantu UMKM membangun kepercayaan konsumen.
Komunikasi yang jelas, akurat, dan sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal dapat menciptakan hubungan yang kuat antara UMKM dan konsumen.
Dengan memahami kebutuhan konsumen dan menyampaikan informasi dengan tepat, UMKM dapat membangun reputasi yang baik dan mendapatkan kepercayaan dari konsumen potensial.
Berkomunikasi dengan jelas dan efektif
Komunikasi yang jelas dan efektif memainkan peran penting dalam membangun citra bisnis yang kuat.
UMKM yang mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Indonesia dapat mengomunikasikan pesan, nilai, dan keunikan bisnis mereka dengan tepat kepada konsumen.
Komunikasi yang jelas juga membantu menghindari kesalahpahaman dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Dengan membangun citra bisnis yang kuat melalui komunikasi yang baik, UMKM dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan meningkatkan kesuksesan jangka panjang.
Melalui sedikit paparan di atas, dapat dikatakan bahwa pada Era Figital, keterampilan berbahasa Indonesia secara fisik dan digital penting dikuasai oleh pelaku UMKM untuk memperluas jangkauan pasar, menjalin kemitraan yang saling menguntungkan, membangun kepercayaan konsumen, serta berkomunikasi yang jelas dan efektif dalam rangka membangun citra bisnis yang kuat.
Bahasa Indonesia menjadi alat yang penting dalam menjalankan kegiatan bisnis dan mencapai kesuksesan dalam lingkungan bisnis yang semakin figital.[T]