SAAT INI KESEHATAN MENTAL seseorang memang sangat penting untuk diberi perhatian khusus. Sebab, sudah banyak kasus percobaan bunuh diri yang terjadi akibat beban pikiran yang dirasakan oleh seseorang, khususnya remaja.
Kita ketahui bahwa kekuatan mental masing-masing individu tidak semuanya sama. Sehingga, kemungkinannya, mereka yang memutuskan untuk mengakhiri atau melukai diri sendiri, merupakan orang-orang yang membutuhkan perhatian lebih.
Orang-orang tersebut beberapa di antaranya bisa jadi terjebak dalam permasalahan hidup yang seolah tidak bisa ditemukan jalan keluarnya. Atau mungkin saja, mereka tidak memiliki seseorang untuk sekadar berbagi cerita, kemudian memendam semua masalah sendirian, lalu berakhir dengan mengakhiri hidupnya.
Gangguan kesehatan mental atau dalam bahasa kerennya kerap disebut mental illness ini, sudah mendapatkan perhatian dari lembaga kesehatan dunia, World Federation of Mental Health (WFMH), dan diperingati setiap tanggal 10 Oktober sejak tahun 1992.
Mental illness (mental disorder), dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, disebut juga dengan gangguan mental atau jiwa, adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama (kronis).
Meski rumit, gangguan kesehatan mental termasuk penyakit yang dapat diobati. Bahkan, sebagian besar penderita mental disorder masih dapat menjalani kehidupan sehari-hari selayaknya orang normal.
Namun, pada kondisi yang lebih buruk, seseorang mungkin perlu mendapat perawatan intensif di rumah sakit untuk menangani kondisinya. Tak jarang, kondisi ini pun dapat memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri atau mengakhiri kehidupannya.
Walaupun kesadaran tentang kesehatan mental sudah ada sejak lama, tidak menutup kemungkinan, banyak orang yang masih terperangkap dalam mental illness. Sebenarnya sangat disayangkan, jika para remaja saat ini banyak yang mengalami mental illness, karena secara tidak langsung, hal ini akan mempengaruhi aktifitas—bahkan masa depannya.
Pemicu mental illnesss pada remaja
Kondisi masa kecil bisa menjadi pemicu mental illness. Masa kecil memang hal paling mengesankan bagi kebanyakan orang. Sebab, pada masa ini, seseorang mendapatkan perhatian dan kasih sayang oleh orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga dan kerabat terdekat.
Akan tetapi, tidak semua orang bisa merasakan hal tersebut, beberapa orang justru mendapat suatu kenyataan pahit, broken home, misalnya. Anak yang mengalaminya akan merasakan kepedihan dan beban tekanan mental yang sangat besar dalam dirinya.
Apalagi, jika rumah yang mereka jadikan sebagai tempat pulang sudah tidak tertata dengan lengkap. Dan ketika beranjak remaja, mereka melihat teman-teman seusianya yang masih dapat merasakan kehangatan bersama keluarga, tentu perasaan sedih akan semakin berkecamuk dalam dirinya.
Hal di atas termasuk menjadi salah satu faktor seseorang mengalami mental illness saat remaja—karena trauma masa lalu yang dihadapi.
Saat anak mulai beranjak ke masa remaja, yang merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, berbagai macam permasalahan baru mulai berdatangan. Berbeda halnya ketika masih kecil yang mungkin hanya memikirkan besok sekolah dan bermain, pada masa remaj, orang-orang cenderung sudah mulai memikirkan hal yang lebih dari itu.
Banyak remaja saat ini mengalami mental illness, karena mereka tidak mampu untuk mengatasi permasalahannya sendiri, baik itu dalam lingkungan perkuliahan, keluarga, hubungan pertemanan, maupun hubungan asmara.
Bagaimana hal-hal tersebut dapat memicu terjadinya mental illness pada remaja?
Kita mulai dari dunia perkuliahan. Tekanan yang terjadi pada masa perkuliahan tidak bisa dianggap remeh. Beban tugas yang didapatkan di kampus, kegiatan-kegiatan yang mewajibkan mahasiswa untuk selalu ikut berpartisipasi, deadline skripsi, salah jurusan, dosen killer, circle pertemanan yang buruk, rencana karir setelah lulus, ekspektasi dan realita yang tidak konkret, mungkin, hal ini menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang pada masa transisi anak-anak menuju dewasa ini.
Kemudian, dalam hubungan keluarga, dukungan dan motivasi sangat diperlukan ketika para remaja sedang menghadapi masa-masa yang sulit. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, keluarga seharusnya adalah tempat pulang yang nyaman untuk bercerita, berkeluh kesah dan sandaran yang dapat dipercaya.
Lalu, bagaimana jika keluarga sendiri tidak bisa memberikan tempat pulang yang nyaman tersebut? Orang tua yang tidak memiliki waktu untuk anak-anaknya, saudara yang tidak peduli satu sama lain, kemudian, ke mana tempat pulang untuk remaja-remaja tersebut? Alhasil, mereka akan mencari tempat pulangnya sendiri pada orang lain yang menurut mereka dapat mengerti dan mampu memahami kondisinya.
Hubungan asmara, tak jarang digunakan sebagai peralihan terakhir oleh orang-orang yang mengalami mental illness untuk tempat pulang dan mendapatkan motivasinya kembali. Mungkin saja, mereka merasa jauh lebih baik ketika menemukan seseorang yang tepat untuk berbagi, di tengah semrawutnya permasalahan yang sedang dihadapi.
Memiliki seseorang untuk berbagi cerita atau someone to talk merupakan hal yang dapat memberikan pengaruh baik terhadap suasana hati seseorang. Akan tetapi, tidak sedikit remaja juga mendapatkan permasalaahan dalam hubungan asmaranya.
Ketika mereka mempercayai seseorang sebagai tempat pulang, ternyata, pada akhirnya dipatahkan kembali oleh keadaan. Tidak bisa dimungkiri lagi, hal ini dapat menambah rasa putus asa bagi para remaja—karena tempat pulang terakhir yang mereka anggap paling nyaman tidak sesuai dengan harapannya.
Cara menghindari mental illness
Berdasarkan keterangan dari Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, sebanyak 2,45 juta remaja mengalami gangguan mental dan 15,5 juta remaja Indonesia lainnya mengalami masalah mental.
Sementara itu, dalam data yang dihimpun oleh World Bank, kasus bunuh diri mencapai 2,4 per 100 ribu penduduk di Indonesia. Ini tentu bukan angka yang sedikit. Siapapun perlu menanggapinya secara serius, mengingat, para remaja inilah yang akan menjadi tonggak terdepan dalam memajukan Indonesia di masa depan.
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Begitu kiranya pepatah yang sering digunakan oleh orang-orang. Artinya, ada baiknya jika kita dapat menghindari mental illness tersebut sebelum keadaan semakin sulit untuk dikendalikan dan angka penderitanya bertambah banyak.
Lalu, bagaimana caranya?
Aktifitas sederhana seperti olahraga ketika memiliki waktu luang atau memberikan waktu istirahat untuk diri sendiri bersama musik favorit, misalnya, merupakan aktifitas yang mampu memperbaiki suasana hati seseorang. Sehingga, masalah-masalah yang dihadapi sejenak dapat dilupakan, atau setidaknya aktifitas seperti itu dapat memulihkan energi yang telah terkuras sebelumnya. Begitu seterusnya.
Kita tidak perlu merasa selalu kuat dalam menghadapi masalah, ketika dirasa tubuh dan pikiran mulai kembali lelah, cara ini dapat dilakukan secara berulang. Dengan memberi me time atau waktu untuk diri sendiri, secara tidak langsung, seseorang akan lebih memahami jati dirinya, dan bagaimana pentingnya kehidupan yang sedang dijalani saat ini.
Selanjutnya, seseorang kadang terlalu memikirkan hal yang tidak penting atau hal yang bukan menjadi tugasnya. Sehingga overthinking tidak dapat dihindari lagi dan alhasil masalah akan semakin bertambah rumit.
Hal-hal yang tidak penting—dan bukan menjadi tugas kita—seperti memikirkan bagaimana orang lain menilai diri kita, apakah orang lain dapat bertindak koperatif terhadap apa yang akan kita lakukan, atau berpikir apakah orang lain akan menyukai kita, memang layak dibuang di keranjang sampah.
Hal-hal seperti ini terkadang membuat seseorang mengalami overthinking dan tentu jika terus menerus dibiarkan, akan berakibat buruk pada kondisi kesehatan. Oleh karena itu, cobalah berhenti membuang waktu dengan memberikan perhatian lebih terhadap pendapat atau hasil dari apa yang sedang kita lakukan saat ini.
Terkadang, kita perlu berani untuk tidak disukai. Sehingga, pikiran akan terhindar dari bagaimana ekspektasi orang lain terhadap diri sendiri, yang mungkin saja timbul dari overthinking tersebut.
Dan, saya rasa, kita tidak perlu memenuhi segala ekspektasi kehidupan yang ada—karena itu bukan tugas yang harus dilakukan. Berjalanlah sesuai dengan apa yang diinginkan dan lakukan dengan baik, tanpa bertumpu pada hasil yang akan didapatkan.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.