PINTU MASUK MONUMEN PERJUANGAN yang terletak di pinggir jalan itu, terlihat setengah tertutup. Warna pintu itu coklat usang, ditambah dengan rantai berkarat yang membentang pada gerbang kayu tua—seolah-olah memperlihatkan pintu itu tak pernah terjamah lagi oleh manusia.
Monumen itu dibangun 24 Desember 1997. Lokasi tepatnya di perbatasan wilayah Bantang Banua dan Desa Sangket,di Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali. Jika datang dari Denpasar menuju Singaraja, setelah memasuki gerbang kota, tiga patung pahlawan akan tampak menjulang di kiri jalan.
Monumen itu memang dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan. Tiga patung pahlawan yang menjulang tinggi dan menjadi ikon monumen perjuangan ini adalah pahlawan I Gusti Putu Wisnu, Mayor Nengah Metra dan Kapten I Gede Muka Pandan.
Pintu masuk Monumen Tri Yudha Sakti | Foto: Risma
Karena ada patung tiga pahlawan itulah maka monumen itu kerap disebut dengan nama Tugu Tiga. Nama resminya adalah Monumen Tri Yudha Sakti. Tri artinya tiga, yudha artinya perang, dan sakti artinya, ya, sakti.
I Gusti Putu Wisnu, adalah pahlawan yang turut berperang pada Puputan Margarana di Desa Maerga, Tabanan. Wisnu masuk pada daftar penting pasukan yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai.
Lalu, Mayor I Nengah Metra, seorang tokoh yang gugur dalam keikutsertaannya pada pertempuran di Banjar Gintungan, Desa Selat, Sukasada. Setelah itu ada Kapten I Gede Muka Pandan. Ia merupakan salah satu anggota PETA yang saat itu berperang di bawah tanah alias bergrilya, mengikuti komando I Gusti Ngurah Rai.
Tri Yuda Sakti, Riwayatmu Kini
Bagaimana kondisi monument itu saat ini? Dari pintu gerbang coklat yang tampak usang itu cobalah melangkah ke areal monumen, semakin ke dalam, semakin ke dalam, akan terasa semakin asing rasanya tempat itu. Sepi dan terasa sunyi.
Padahal dulu, tempat itu sering dituju orang, untuk menggelar acara, untuk jalan-jalan, atau sekadar duduk-duduk melepas lelah sembari menikmati asri pepohonan di sekitarnya. Kini keadaannya tidak lagi sama. Sunyi, lembab atau mungkin kering. Entahlah.
Halaman depan cukup luas, di depan patung tiga pahlawan itu, terhampar batu paving. Pada bagian sejumlah paving tumbuh dan berkembang lumut-lumut hijau. Tampak pula di sebelah kanan pintu masuk, pohon beringin menjulang tinggi dan lebat, menambah kesan betapa sunyi dan mistis tempat itu. Pohon beringin itu seakan seni sendiri.
Secara konsep, tempat ini tentu saja bagus. Lihat saja pada halaman tengah. Di situ terdapat dua balai kambang di tengah kolam. Sayangnya, balai kambang itu tidak lagi utuh. Balai di sebelah kanan, hanya menyisakan betonan tanpa atap. Sedangkan yang terdapat di sebelah kiri, keadaannya sudah rapuh, sepertinya beberapa waktu lagi akan ambruk, dan mungkin bahaya jika kita mencoba naik dan berteduh di sana.
Pohon beringin yang kesepian | Foto: Risma
Di tengah sepinya suasana monument itu, ditemukanlah Komang Edi. Ia adalah petugas keamanan di tempat itu.
“Kami masih tetap melakukan perawatan lingkungan. Tapi untuk bangunan, memang dari awal tidak pernah direnovasi,” kata Komang Edi tentang kondisi monument dan bangunan-bangunan yang ada di dalamnya.
Kata Komang Edi, Tri Yudha Sakti berada di bawah tanggung jawab Dinas Sosial, jadi jika hendak dilakukan perbaikan, maka pengajuan anggaran perbaikannya akan diteruskan dari Dinas Sosial ke Pemerintah Kabupaten Buleleng.
Tapi, sepertinya susah mendapatkan anggaran biaya perawatan. Padahal setiap tahun, kata Komang Edi, pihak Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tri Yudha Sakti sudah mengirim laporan ke Dinas Sosial. Laporan itu berupa hasil kerja tahunan serta laporan tentang bagaimana bagaimana kondisi-kondisi dari bangunan yang sudah rusak ke Dinas Sosial.
Balai kambang yang sudah roboh dan hanya tinggal lantainya saja | Foto: Risma
Kesan sunyi dan lembab di sebuah bangunan | Foto: Risma
Yang membuat miris adalah museum yang ada di monument itu. Museum itu seharusnya bisa dijadikan sebagai tempat belajar mengenai sejarah peperangan yang terjadi di Kapubaten Buleleng, namun tampaknya museum itu sudah kehilangan fungsi.
“Sudah keropos atasnya, setiap hujan selalu bocor jadi gak berani memberikan izin masuk” ujar Komang Edi tentang konsisi museum itu..
Alih-alih dibenahi, gedung museum ini malah dijadikan gudang dan dikunci. Terdapat barang-barang bekas robohan genteng dan kayu. Kondisi atap gedung itu juga sudah rapuh dan dindingnya berlumut. Bayangkan betapa lembab dan bau apek menyerang hidung ketika menghirup udara di areal gedung itu.
Dulu, areal monument itu sungguh asri. Pernah areal itu dilengkapi dengan satwa peliharaan untuk menarik pengunjung bisa datang ke monument itu. Lalu, bagaimana nasib satwa itu?
Komang Edi mengatakan, hewan kijang hanya masih tersisa jantannya saja. Awalnya terdapat sepasang kijang di tempat itu, namun belakangan betinanya sudah tiada, karena disruduk oleh sang jantan.
Jika dipikir-pikir, kandang hewan ini kurang luas untuk ukuran dua ekor kijang dewasa. Mungkin kandang yang kecil itu membatasi ruang gerak mereka, sehingga sepsang kijang itu saling berebut.
Satu-satunya yang tak berubah dari tempat ini, hanyalah jumlah anak tangga. Yaps, rasanya jumlahnya masih tetap sama ketika kaki perlahan-lahan melangkah menaiki tangga menuju tempat paling atas, tepat menuju patung tiga ikon pahlawan yang berdiri tegak dengan gagahnya.
…
Berdiri di bawah tiga patung itu memang tidak pernah mengecewakan. Mata dengan leluasa dapat melihat pemandangan laut yang jauh di utara, sembari menghirup udara segar yang berhembus dari sela-sela pepohonan besar di sekitar monumen. Memang tempat ini sesungguhnya juga menjadi spot favorite untuk menikmati matahari terbenam.
Namun itu dulu, lalu sekarang? Siapa yang berani berada di tempat ini hingga petang apalagi sampai malam hari? Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding.
Kalah Pamor dengan Taman Bung Karno
Nah, nasib monument Tri Yudha Sakti seakan-akan makin merana dan kesepian setelah dibangunnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Bung Karno (TBK). Monumen Tri Yudha Sakti dan Taman Bung Karno sama-sama berada di wilayah Sukasada, dan jaraknya cukup berdekatan.
Ketika Taman Bung Karno diresmikan sekitar setahun lalu, berbondong-bondonglah orang ke lokasi yang baru itu. Diimbangi dengan promosi besar-besaran, Taman Bung Karno menjadi destinasi favorit yang baru, dan di sisi lain Monumen Tri Yudha Sakti makin dilupakan.
Orang punya alasan baru untuk melenggang ke Taman Bung karno. Entah itu untuk berolahraga, menyaksikan pementasan atau hanya sekadar menghabiskan waktu bersama pasangan. Apalagi, hampir semua kegiatan pertunjukan dan acara-acara hiburan diarahkan ke Taman Bung Karno. Antara lain kegiatan Pekan Apresiasi Seni (PAS) yang digelar setaip minggu. Taman Bung Karno setiap malam terang benderang, dan setiap malam Monumen Tri Yudha Sakti disaputi kegelapan.
Seekor kijang di areal monumen | Foto: Risma
Dulu, areal Monumen Tri Yudha Sakti juga pernah merasakan bulan madu keramaian. Banyak kegiatan Pemkab, dulu, diarahkan ke areal monument itu. Tahun 2018, Siswa dan mahasiswa menggelar berbagai acara di monument itu. Acara-acara perpisahan dan hiburan taman kanak-kanak hampir dilakukan saban minggu di monumen itu.
Tahun 2018, Monumen Tri Yudha Sakti juga dijadikan tempat pagelaran GaSeBu (Gelar Seni Budaya) Kecamatan Sukasada. Warga desa-desa di Kecamatan Sukasada turut serta berpartisipasi untuk memeriahkan pagelaran yang dikemas dalam ajang festival itu. Monumen itu, sebagai tempat festival, disebut-sebut dalam media massa, media sosial dan jadi pembicaraan antarwarga.
Dan, riuh, hiruk pikuk keramaian itu seperti tak lagi ada. Pertunjukan seni budaya kini telah berpindah ke RTH Taman Bung Karno.
Tetap Dilakukan Perawatan
Kepala Dinas Sosial I Putu Kariaman Putra sepertinya tidak menampik jika Momnumen Tri Yudha Sakti kalah pamor dengan Taman Bung Karno. “Biasa itu, kalau ada hal baru,” katanya saat dimintai konfirmasi tentang kondiri Monumen Tri Yudha Sakti.
Kariman Putra mengakui sampai saat ini belum ada anggaran untuk memperbaiki bangunan-bangunan yang sudah keropos di areal monumen Tri Yudha Sakti itu. Namun, pihak Dinas Sosial sebagai penanggungjawab UPTD Tri Yudha Sakti tetap melakukan perawatan rutin.
“Tugas kami adalah melakukan perawatan dan mengeluarkan izin untuk penggunaan monumen itu,” katanya.
Bahkan, kata Kariaman Putra, saat bangunan balai kambang di areal monumen itu roboh, pihak Dinas Sosial melakukan pembersihan. Namun untuk pembangunan kembali, kata Kariaman, masih belum ada anggaran. “Anggaran kami saat ini lebih banyak untuk penanganan masalah-masalah sosial,” kata Kariaman Putra. [T]
- Reporter: Kadek Risma Widiantari dan Made Adnyana
- Penulis: Kadek Risma Widiantari, Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- Editor: Made Adnyana Ole