AKHIRNYA UPACARA yang ditunggu-tunggu (upacara ini dilakukan lima tahun sekali) itu terlaksana juga. Pagi-pagi sekali, seorang yang bertugas sebagai Balian Pengangkidan (pemuka agama yang mengantarkan upacara) harus segera menuju ke Pura Dalem—ia harus memohon izin untuk membuat bendungan di sungai.
Sementara itu, di tempat lain, nyaris bersamaan, seseorang sedang menulis lau-lau, semacam surat permohonan agar roh itu diterima di alam baka. “Lau-lau ini lengkap, ada nama serta permohonan untuk mendapatkan tempat di alam sana,” terang Wayan Sukrata, Dane Balian Pengangkidan, Desa Pedawa.
Ya, pada Senin pagi, 10 April 2023, di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, sedang berlangsung tradisi Ngangkid, salah satu tradisi sakral dan unik yang ada di Bali.
Ngangkid sendiri berasal dari kata angkid yang berarti angkat. Artinya, secara sederhana, Ngangkid bisa dikatakan sebagai upacara penyucian roh.
Dalam tradisi Ngangkid, ayam disimbolkan sebagai pengangkat roh. Ayam itu dihanyutkan ke air mengalir menuju bendungan untuk menjemput roh-roh orang yang sudah meninggal dengan disertai doa-doa. Sedangkan ayam yang digunakan, tentu saja, bukan sembarang ayam. Ia harus jenis Biing Gerungsang dan betina Bulu Lasan.
Ayam yang hendak dihanyutkan di air mengalir / Foto: Kardian Narayana
Di sanggah kemulan ada yang metanding (menata) banten sia pang sia (9×9). (Ada 9 sarana banten dalam tradisi Ngangkid.) Satu sarana banten itu dibuat menjadi 9 bagian. Tapi, ada juga yang menafsirkan sia pang sia itu menjadi 81. Namun, sebetulnya, 9 itu arah mata angin. Sebab banten ini digunakan sebagai petunjuk arah sang roh menuju ke alam baka.
Menurut keterangan Dane Balian Pengangkidan Desa Pedawa, 9 sarana banten itu memang agak sulit membuatnya. Sebab, beberapa isiannya sulit untuk didapatkan. “(Isinya) ada daging babi hutan (kalau tidak ada boleh diganti kulitnya), daging rusa atau kulitnya, ikan kuyuh (ikan ini harus dari danau. Dulu bisa dari Tamblingan kalau sekarang sudah di Batur), Nyalian dari danau, udang sungai, ikan teri, ikan asin sudang, telur itik dan daging babi peliharaan. Orang yang nanding juga tidak boleh sembarangan,” ujarnya.
Kunduh / Foto: Kadian Narayana
Upacara Ngangkid dilakukan berdasarkan Lontar Bima Swarga yang bercerita tentang Bima yang menyelamatkan roh orangtuanya: Pandu dan Dewi Madri. Bima mengangkat roh Pandu dan Dewi Madri dari alam neraka. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh Merdah dan Tualen.
“Saat meninggal manusia diyakini menuju alam neraka terlebih dahulu sebelum ia hidup bahagia di alam surga. Untuk menemukan jalan kebahagiaan di alam itu, roh mereka harus diangkat dari kawah sungai itu lewat upacara ngangkid yang dilakukan oleh keluarga masing-masing,” jelas Wayan Sukrata.
Ngangkid bukan Ngaben
Seringkali tradisi ini disetarakan (atau disamakan secara serampangan) dengan upacara Pitra Yadnya, Ngaben, di Bali. Padahal, upacara Ngangkid menempati tingkatan upacara yang lebih tinggi dari Ngaben.
Menurut Sukrata, penafsiran upacara Ngangkid yang disamakan dengan upacara Ngaben itu jelas keliru. Ngangkid bukan upacara Ngaben seperti yang orang pikirkan. Ngangkid di Pedawa setara dengan prosesi Nyekah. Yakni telah sampai pada level kedua.
“Ini bukan Ngaben. Ngangkid itu tingkatannya sama dengan Nyekah. Jadi, tingkatannya lebih tinggi. Kalau Ngaben di Pedawa setara dengan Mepegat. Bisa dibilang penyucian roh leluhur pada tingkat kedua. Tingkatan pertama adalah mepegat, tujuannya memisahkan badan jasmani dengan rohani. Kelanjutannya upacara yang kedua kalinya adalah prosesi penyucian roh,” tambahnya.
Dalam ritual Ngangkid, rangkaian pertama yang dilakukan adalah Pepegat. Ritual ini dilakukan seminggu sebelum hari H. Setelah itu baru ritual Ngangkid yang dilaksanakan di Tukad Pengangkidan.
Prosesi Ngangkid / Foto: Kardian Narayana
Terakhir, setelah prosesi Ngangkid usai, akan dilanjutkan dengan ritual Ngeluwer—ritual ini menggunakan media asap sebagai sarana utama. Ngeluwer dilakukan sehari setelah upacara Nagngkid. Percaya atau tidak ritual ini diyakini telah mengantarkan roh ke alam ketujuh atau surga.
Saat Ngeluwer akan dilakukan tahapan Ngabkabang Kunduh. Artinya, asap yang berasal dari perapian atau pengasapan diangin-anginkan pada kunduh atau simbolisasi dari roh tersebut. Kain pada kunduh itu dirobek tidak dibakar.
“Itu sebagai simbolisasi jiwa manusia yang dihantarkan melalui media asap. Kalau di desa lain ‘kan dibakar. Tapi, kalau di Pedawa, Kunduh itu dirobek, lalu diangin-anginkan di dekat perapian. Nah, tingkatan upacara Ngeluwer ini belum ada yang melakukannya di Bali, tapi kami sudah melakukannya sejak dulu,” terang Sukrata.[T]