— Catatan Harian Sugi Lanus, 20 Maret 2023
‘Kabung’ adalah “kain putih yang diikatkan di kepala sebagai tanda berduka cita”; ‘berkabung’ artinya “memakai kabung (sebagai tanda berduka cita karena ada keluarga yang meninggal)”; atau pertanda “berduka cita karena keluarga, kerabat, dan sebagainya meninggal” — silakan lihat KKBI.
Umumnya orang Indonesia tidak lagi mengenali arti kata ‘kabung’. Apalagi bendanya. Sebabnya mungkin karena sebagian orang Indonesia telah meninggalkan tradisi berkabung. Tinggal kata ‘berkabung’ sebagai peristilahan untuk berduka cita akibat kematian seseorang yang masih dipakai dalam bahasa Indonesia. Kata ‘berkabung’ terlupakan asal muasal katanya, hanya tertinggal maknanya.
Kabung, sepertinya hanya tertinggal dalam budaya Bali, dalam tradisi mengantar jenazah ke kubur.
Ikat kepala dari kain kasa putih kain kasa atau kain kafan — atau biasa disebut kain mori atau kain kaci, kain yang identik digunakan untuk membungkus mayat — kita kenal dengan nama ‘kabung’.
Ikat kepala putih itu bernama kabung
Menjelang mayat diantar ke kuburan, sisa kain pembungkus mayat itu sobekan atau guntingannya, menyerupai pita, dibagikan kepada masing-masing anggota keluarga, lalu diikatkan di kepala masing-masing untuk mengantar ke kubur sang berpulang.
Dalam selembar kabung ada pertautan yang berpulang dengan yang ditinggalkan. Sesampai para pengantar di kuburan, diadakan doa terakhir sebelum jasad dikubur atau dikremasi. Semua kain kabung dilepas, dikumpulkan oleh anggota keluarga, lalu dikubur atau dibakar bersama sang berpulang.
Mengenakan kabung itu sama dengan dukacita atau belasungkawa. Berbelasungkawa itulah berkabung (mengenakan kabung) secara metaforik dalam pertautan kain kafan dan kabung. Yang ditinggal dan yang berpulang.
Berkabung (mengenakan kabung) secara fisik buat orang Bali selesai ketika kain kabung dibakar atau dikubur di kuburan. Tetapi secara batiniah, tidak sama. Dianjurkan 12 hari selesai masa perkabungan bagi orang Bali, sebab dipercaya di hari ke 12 adalah berangkatnya jiwa sang berpulang ke alam lain. Pada saat inilah diharapkan bagi orang Bali perkabungannya dicukupkan. Kabung selesai dikenakan secara batiniah.
Melepas kabung batiniah ini dikenal dengan nama “ngrorasin” [upakara masa 12 hari] yang disakralkan. Pada masa lalu nama sang berpulang tidak lagi boleh disebut-sebut karena telah ‘meraga angin’ [bertubuh angin], dan berada di alam dimensi seberang yang tidak lagi tersambung langsung dengan dimensi kita.
Sang jiwa yang berpulang tidak lagi menoleh ke alam ini, ia berjalan memasuki alam seberang. Tidak lagi menoleh ke belakang. Kita yang di dunia ini pun juga diharapkan merela-lepaskan yang berangkat ke alam seberang.
Setelah 12 hari keluarga yang ditinggalkan diharapkan kembali menjalani ‘perjalanan dharma’ masing-masing, tidak lagi mengenakan kabung.[T]