NDUL, ada yang pernah berpesan begini, ‘Kalau bisa jangan posting makanan di sosial media’. Kenapa ya, Ndul, orang itu berpesan demikian.
Aku jadinya mikir begini, Ndul. Kalau ada orang jualannya makanan bagaimana ya, Ndul? Ya tentunya akan memposting makanan, barang yang dijual, media sosial sebagai sarana promosinya. Nah, itu bagaimana, Ndul?
Masa’ iya, mau melarang orang yang lagi promosi dagangannya, kan tidak mungkin.
Bukankah menjadi lumrah di era digital semacam sekarang ya, Ndul. Tidak hanya posting makanan, tapi aktifitas harian seringkali diberitakan lewat media sosial masing-masing. Bahkan, kalo kata temenku, “Paling tidak satu hari satu kali postingan, biar pada tahu kalo masih hidup.” Itu katanya sambil tertawa.
Agak sinting memang, temenku itu. Haha
Kalau menurut orang itu, begini, “Kita tidak tahu kondisi orang yang menonton postingan, bisa jadi mereka ingin merasakan makanan yang kita posting, tapi belum cukup mampu untuk memenuhinya, mungkin tidak punya uang, punya uang tapi untuk bertahan sampai waktu yang tidak ditentukan,” kata orang itu.
Bagaimana menurutmu, Ndul?
Dirimu pernah tidak, Ndul, di posisi orang yang melihat postingan makanan tapi dirimu tidak punya uang untuk beli makanan dan tidak ada makanan yang bisa dimakan, lantas apa yang dirimu lakukan, Ndul? Dirimu hanya bisa menelan ludah, ngiler, atau mengumpat dengan kata-kata kotor kan, Ndul?
Kalau dirimu melakukan itu, tidak menutup kemungkinan orang lain juga pernah merasakan dan melakukan demikian, Ndul. Tapi bagaimana ya, mainan hape biar lupa kalo lapar, eh, ini malah ketemu postingan makanan, menyedihkan banget ya, Ndul. Cuma bisa menghela nafas dan mengumpat, sambil berdoa ‘Tuhan, pengen kaya, biar bisa makan dan berbagi makanan’.
Bisa dikatakan hal lumrah tidak sih, Ndul, posting makanan tapi tidak untuk jualan? Atau memang pengguna sosial media yang harus membawa diri. Tapi itu muncul pas nyecroll di beranda atau di status whatsapp kan, Ndul? Otomatis aja gitu, diluar kendali, ya kan, Ndul.
Kalau kata orang itu, Ndul, pandai-pandai untuk saling menghormati. Orang itu menyarankan, “Kalau sekiranya tidak perlu dan bukan untuk jualan, baiknya mungkin tidak perlu diposting, karena bagaimana kondisi orang yang melihat, kita tidak bisa mengukur.
Apalagi ada ungkapan, seandainya sedang memasak dan tetangga mencium bau masakan, baiknya berbagi makanan ke tetangga. Nah, kalau di postingan, foto atau video lhoo, Ndul, taulah, bagaimana imajinasi orang yang menonton,” kata orang itu demikian, Ndul.
Tapi, orang itu tidak memaksa, hanya sekadar menyarankan. Betul begitu, Ndul? [T]