Saya berjanji pada I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra untuk ngobrol kurang lebih 30 menit, tapi pada 22 juli 2022 itu, ternyata Gus Bang, begitu ia biasa disapa, justru menawarkan obrolan yang menarik untuk saya simak dan tampaknya ia tak keberatan, dan jadilah obrolan kami berlanjut kurang lebih selama satu jam.
Kami duduk ngemper di sisi kanan ruang Gedung Wisata Mandala di depan Pura Samuan Tiga—yang pada saat itu, beberapa peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 masih berlatih, sesungguhnya Gus Bang termasuk salah satu peserta yang berlatih itu. Suasana cukup riuh, tapi kami tetap asik selama obrolan berlangsung.
Dosen Jurusan Seni Tari di ISI Denpasar ini terlahir pada keluarga yang memang merupakan pelaku seni. Sang kakek merupakan seniman topeng yang juga pembuat bade dan lembu, begitu pula kedua orang tuanya yang sama-sama merupakan penari tradisi.
Hal itulah yang membuatnya secara tidak langsung menjadi tertarik dan menekuni kesenian tari, khususnya tari tradisi. Ia mulai aktif belajar tari Bali sedari kecil di Sanggar Lokananta, lalu berlanjut proses sampai pada pendidikan S1 dan S2 di ISI Yogyakarta.
I Putu Bagus Bang Sada Graha dalam Sesi Sharing Method di Pura Gunung Kawi
Dalam proses belajarnya di ISI Yogyakarta, ia menjelaskan bahwa secara sadar memang menyelami ranah tari kontemporer dan menjadikannya mulai mengenal gagasan-gagasan terkait hal-hal yang ada di sekitarnya, pun tentang wacana kontemporer dan isu yang tengah berkembang.
Tari kontemporer memiliki begitu banyak potensi untuk diselami, misalnya bagaimana tubuh mengeksplorasi banyak hal tanpa harus terikat oleh pakem. Selain itu, wawasan, gagasan, dan narasi yang hadir pun dirasakan memiliki bentangan yang jauh lebih luas, dan akhirnya bisa mengantarkannya bertemu banyak orang yang walau memiliki disiplin yang berbeda, namun selalu bisa memberikan perspektif baru.
Barangkali, kebiasaan yang membesarkannya melekat begitu kuat dalam diri Gus Bang. Nyatanya, sumber-sumber gagasan yang menginspirasinya ternyata lebih banyak datang dari tempat kelahirannya. Ia menyebutkan bagaimana tradisi yang ada dan juga dampak pariwisata untuk ekologi Bali menjadi satu isu yang sedang menarik perhatiannya. Isu tersebut ia gali untuk menjadi satu gagasan, dan ide sebagai dasar dalam berkarya.
I Putu Bagus Bang Sada Graha (kiri) dan Ayu Anantha Putri (kanan) dalam sesi Sharing Method
“Di awal berproses, aku punya ketertarikan terhadap upacara ngaben di Bali,” kata Gus Bang. Tampaknya Gus Bang merasa perlu untuk menjelaskan lebih banyak hal, sehingga tanpa saya lontarkan pertanyaan lain, ia seolah sudah menebak rasa penasaran saya tentang keterkaitan tradisi Bali terhadap penggarapan karyanya.
Upacara kematian di Bali ia katakan sebagai sebuah perayaan yang begitu megah, baik dilihat dari banyaknya orang yang turut hadir, termasuk banten yang tidak sederhana. Dari upacara tersebut, ia menemukan satu hal yang menarik perhatiannya, yaitu “relasi kuasa tubuh”. Isu ini terkait dengan bagaimana orang lain bisa mengambil alih tubuh yang lain, dengan di baliknya diadakan narasi-narasi keagaaman.
Contohnya pada upacara ngaben —atau barangkali juga terjadi pada upacara kematian di seluruh Indonesia: tentang bagaimana tata cara tubuh manusia (tubuh aktif) memperlakukan tubuh jenasah (tubuh pasif) seolah-olah memiliki haknya atas tubuh pasif tersebut. Misal, pada prosesi upacara ngaben di Bali yang dimulai dari nyiramang sampai dengan mayasin. “Ada tubuh-tubuh lain yang berkuasa atas tubuh kita sendiri,” simpul Gus Bang.
Ada pun isu lain yang masih terkait dengan isu Relasi Kuasa Tubuh ini adalah karyanya pada tahun 2021, yaitu tentang keberadaan anjing Bang Bungkem.
Di Bali, anjing jenis ini adalah jenis anjing yang selalu dijadikan sarana upacara Guru Rsi Gana. Anjing yang memiliki dominasi bulu berwarna merah dengan moncong mulut, ekor, dan juga telapak kaki berwarna hitam ini, dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai jenis anjing yang tidak bisa tergantikan keberadaannya sebagai Caru dalam pelaksanaan upacara. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan tentang bagaimana anjing jenis Bang Bungkem tersebut memiliki kekuatan alam untuk menetralisir pekarangan yang dianggap kotor.
I Putu Bagus Bang Sada Graha dan peserta Temu Seni Tari lainnya presentasi hasil workshop kecak di Teges Kanginan, Ubud
Bila ditarik ulur pada waktu dekat ini, Gus Bang juga memiliki simpati terhadap kasus rabies yang tengah beredar di masyarakat. Populasi anjing di Bali yang cukup banyak, pada akhirnya juga membuat banyak anjing liar dibunuh karena adanya ketakutan dan semacamnya.
Begitulah pada akhirnya Ia menyadari keberadaan Isu Relasi Kuasa Tubuh memang ada, tidak hanya hubungan antara manusia dengan manusia, namun dalam hubungan hewan dan manusia juga terjadi hal serupa.
Kesempatan ngobrol di tengah-tengah kegiatan yang diadakan Kemendikbud ini berlangsung, saya tentunya tidak lupa menanyakan tentang metode yang biasa ia gunakan dalam proses berkaryarnya. Seperti seniman lainnya, Gus Bang juga tidak pelit ilmu sama sekali.
Ia bercerita banyak hal terkait metode ketubuhan yang sering ia terapkan. Inti sari yang saya tangkap adalah, tentang bagaimana mendekatkan tubuh terhadap peristiwa yang ingin dihadirkan.
I Putu Bagus Bang Sada Graha (kiri) dan Razan Wirjosandjojo (kanan) dalam pertunjukan tari di Teges Kanginan, Ubud
Metode yang ia pilih tidak melulu tentang latihan gerak, namun juga berusaha memberikan memori-memori ketubuhan. Semacam melatih tubuh di dalam air: berlari, kemudian bagaimana tubuh merespon tekanan yang datang. Latihan lainnya, ia pun sempat mengamati keadaan pasar yang di mana banyak orang berlalu lalang, bau yang beragam, dan segala aktivitas yang terjadi dalam waktu yang bersamaan, memberikan suatu gambaran bagaimana keadaan chaos itu terjadi dalam suatu waktu.
Latihan dengan metode semacam itu pada akhirnya menjadikan tubuh memiliki memori peristiwa dengan merekam kejadian yang ada, yang nantinya juga secara tidak langsung akan mampu merespon hal-hal yang terendap dalam memori ketubuhannya.
Pengalaman gerak tubuh inilah yang kemudian menjadi memori-memori yang sewaktu-waktu bisa hadir tanpa disadari. Seperti pada pengalamannya dalam menarikan tari-tari tradisi dari daerah lain, ternyata memori ketubuhan yang masih melekat kuat adalah napas-napas gerak tari Bali yang memang kerap hadir di setiap gerak-gerak yang dilakukan.
Bila bicara kembali tentang tari Bali, ketika sesi sharing methode, Gus Bang tergelitik oleh pertanyaan yang dilontarkan oleh Razan, salah seorang peserta asal Solo, sewaktu kegiatan napak tilas di Pura Gunung Kawi. Kenapa candi ini hanya terlihat pada sudut pandang 2 dimensi saja? Pertanyaan tersebut pada akhirnya memberikan kesadaran terhadap Gus Bang tentang tari-trai tradisi Bali, yang tidak jarang hanya menampilkan bagian depan tubuh saja. Bagian-bagian tubuh lain sebenarnya ada, namun tak tampak oleh mata penonton.
Hal tersebut membangkitkan ketertarikan untuk mempertanyakan kembali tentang pemahaman dimensi dalam tubuh manusia. Pendekatan dimensi memberikan sebuah pemahaman dan kesadaran bahwa sebanarnya ada hal-hal yang tak tampak, namun melekat di diri kita masing-masing.
Hal yang tak tampak ini tentu bisa dilihat dari perspektif lain seperti, kesejarahan, kehiduapn soisial, agama dan politik, yang pada akhirnya mengkontruksi tubuh sebagai manusia. Hal-hal yang tidak terlihat tersebutlah yang membentuk tubuh kita secara sadar dan tidak sadar.
Berangkat dari hal tersebut, pada kesempatannya melakukan pementasan kolaborasi bersama Razan di area luar Pura Khayangan Tiga, Desa Teges, Ubud, Bli, Gus Bang mencoba menawarkan gagasan terkait hal-hal yang tidak tampak dalam diri atau yang lebih mengkhususnya pada diri penari.
Contoh sederhana tentang hal yang tak tampak adalah bagaimana mata penonton hanya bisa melihat apa yang diperlihatkan oleh penari di atas panggung, di baliknya tentu ada proses yang sebenarnya lebih menarik untuk diketahui namun hal itulah yang tidak terlihat di sana.
Tak terhitung sudah berapa kali saya mengangguk-anggukan kepala karena merasa menemukan kesadaran yang lama tak saya sadari, tentang bagaimana tubuh kita terbentuk oleh sesuatu yang nampak dan tak nampak dari penglihatan orang lain. Begitupun ketika kita menilai orang lain dengan tanpa mengetahui orang tersebut secara lebih jauh. Barangkali saya tidak menatap orang itu dengan dimensi yang lebih luas.
I Putu Bagus Bang Sada Graha dalam pertunjukan tari di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Di penghujung obrolan, saya akhirnya menanyakan tentang apa yang ingin dicapai dalam waktu dekat atau panjang ini. Ayah dari seorang putri yang baru berusia 6 bulan ini menjelaskan tentang salah satu cita-citanya. Ia ingin membuat sebuah ruang: art space, yang bisa memberikan sebuah ruang diskusi dan saling menginspirasi dengan menggodok ide dari banyak seniman yang ada di Bali. Hal ini juga didasari oleh kurang banyaknya ruang fleksibel (dibandingkan dengan ruang tradisi) yang ada bagi para seniman, terkhusus seniman tari.
Sementara dalam waktu dekat ini, penari asal Singapadu, kecamatan Sukawati, Gianyar ini sedang fokus dalam garapan karya yang mengusung isu ekologi Bali sebagai salah satu daerah wisata yang cukup terkenal. Perubahan alih fungsi lahan persawahan yang semakin hari semakin dipenuhi oleh industri-industri kecil, juga pemukiman yang tak hanya mendatangkan dampak positif, namun juga banyak dampak negatif.
Isu inilah yang memunculkan sebuah kegelisahan dan kini sedang berusaha ia transformasi dalam bentuk garapan karya yang tengah ia persiapkan dalam rangka pentas di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, pada 17 Desember 2022.[T]