Hari keempat Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 dilalui dengan sharing metode sebagaimana hari-hari lain, tetapi pada hari keempat, sharing metode dijadwalkan lebih panjang. Dan, saya melakukan aktivitas seperti biasa: memantau para peserta—jika sewaktu-waktu mereka memerlukan bantuan atau kalau luang, saya bisa bercakap-cakap dengan salah satu peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur.
Siang itu, saya bermaksud untuk ngobrol dengan gadis mungil yang tinggal di Jakarta. Ia adalah Alisa Soelaeman—gadis cantik yang tahun ini berumur 29. Alisa mengiyakan ajakan saya. Kegiatan yang diadakan oleh Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan ini adalah momen penting bagi saya untuk dapat bercakap dengannya.
Alisa Soelaeman dan peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 dalam program Napak Tilas di Pura Gunung Kawi
Dalam percakapan siang itu, Alisa rupanya begitu bersemangat, dan ia mengisahkan bahwa dirinya terlahir dari keluarga seniman: ayahnya seorang pelukis, dan hal itu cukup membuktikan bahwa sedari kecil Alisa hidup berdampingan dengan dunia kesenian. Meskipun demikian, balet menjadi satu pintu masuknya ke dunia kesenian. Ia masuk ke akademi balet, Namarina Dance Company sejak umur empat tahun. Sampai sekarang, ia masih tetap aktif dalam balet. Balet rupanya cukup kuat untuk menjadi pijakan dalam dunia kesenian. Atas kesadaran tersebut, Alisa memperdalam ilmu dan pengetahuannya dalam bidang tari dengan kuliah di Institut Kesenian Jakarta, dan dari sana ia bertemu dengan tari-tari lainnya.
Ela Mutiara Jaya Waluya, Alisa Soelaeman, dan Krisna Satya (dari kiri ke kanan) dalam sesi Sharing Method
Dalam menciptakan karya, Alisa mengakatan bahwa dirinya kerap berangkat dari hal-hal yang dekat dengannya. Menurutnya hal yang dekat itu akan lebih ampuh untuk menggerakkan metode penciptaan. Ia menyadari opini tersebut bisa terlihat sebagai sebuah keegoisan dari seorang diri seniman. Namun, mesti disadari, terdapat tantangan dalam penggalian ide seperti ini—tidak semua hal yang dekat dengannya bisa berkaitan secara langsung dengan orang lain. Saya sepakat. Bisa saja orang lain akan mengalami atau memiliki sudut pandangnya sendiri terhadap suatu isu. Ini bisa kita analogikan seperti jatuh cinta, lalu menggambarkan perasaan jatuh cinta yang kita alami. Hal itu sangat dekat dengan kita, tapi belum tentu orang lain mengalami hal yang sama. Namun, pasti ada satu hal yang bisa menguhubungkan jatuh cinta satu orang dan lainnya, dan itulah yang mesti ditemukan.
Alisa Soelaeman dalam sesi Sharing Method di Pura Gunung Kawi
Cara Alisa menggali suatu gagasan yang dekat dengan dirinya saya umpamakan seperti akar. Akar begitu dekat dengan batang. Akar juga sebagai jalur segala nutrisi sampai ke batang. Nah begitu juga dengan Alisa. Cara dia menggali sesuatu yang dekat dengan dirinya, bisa jadi membukakan jalur informasi yang lebih dari yang ia tahu sebelumnya, serta bisa jadi sebagai pembacaan terhadap dirinya sendiri.
Salah satu karyanya yang bercermin pada dirinya sendiri adalah “Akar Air dan yang Jatuh”. Karya tersebut ia pentaskan pada tahun 2021, berangkat dari tanah kelahirannya yakni Sumedang. Ia menelusuri akar keturunan atau identitasnya, yang mempertemukannya dengan sebuah situs kuno dari kerajaan Sumedang Larang.
Eka Wahyuni (baju merah) dan Alisa Soelaeman (baju hitam) dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka, Ubud
Puri Senja (kiri) dan Alisa Soelaeman (kanan) dalam pertunjukan berjudul “Tanda Baca”
“Situs itu berupa bangunan dan juga makam-makam kuno yang sekarang sudah tenggelam karena pembangunan waduk,” paparnya. “Sedih kan ya! Padahal itu dekat banget dengan kita,” lanjutnya.
Saya bisa merasakan kesedihan itu dari raut wajahnya. Situs itu tenggelam karena pembuatan waduk yang dilakukan oleh pemerintah. Pembuatan waduk itu tidak hanya menenggelamkan desa, tetapi juga sejarah, dan menurutnya, juga menenggelamkan identitas orang Sumedang. Dari riset itulah Alisa kemudian membuat karya, yang kemudian ia pentaskan pada tahun 2021.
Pertunjukan tari tunggal oleh Alisa Soelaeman berjudul “Suara yang Lebih Pelan”
Dari percakapan itu, saya sebagai seorang koreografer melihat bahwa dalam berkarya, selain tubuh, pembacaan yang dekat dengan kita juga dapat memunculkan hal-hal yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Dari pembacaan tersebut pula saya pikir, kita bisa menemukan kaitan-kaitan dengan hal yang lain, seperti politik di balik suatu isu, pemahaman lingkungan, sosial, dan mungkin yang lainnya, seperti pengalaman Alisa. Saya pun merasa demikian—kadang hal yang dekat tidak secara serta merta kita sadari, sesekali kita perlu menelusuri akar, menumbuhkan batang proses. [T]