Jumat, 22 Juli 2022, rombongan peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur menuju Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Di bus itu terdengar samar suara Gusbang Sada sedang berbincang dengan kawan sebangkunya, terdengar tipis suara Puri Senja juga tengah mengobrol. Selebihnya sunyi lebih pekat dari biasanya, ditimpali mesin bus yang konstan hingga akhir perjalanan.
Dua pohon beringin menjulang tinggi, batangnya nampak terlihat jelas, akar-akar gantungnya hampir menyentuh tanah. Tegap menyambut bus berwarna biru, memasuki area Pura Samuan Tiga. Agus Wiratama sebagai stage manager sudah siaga menanti peserta, kemudian segera menginstruksikan untuk memakai kamen, serta mengumumkan beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan ketika mengunjungi pura. Peserta pun bergegas berjalan memasuki gerbang kuri.
“Bleeeeeeng, luaaaaaaaaas…” terdengar gumam peserta, tipis.
Foto: Dewa Gede Yadhu Basudewa, sedang menjelaskan Pura Samuan Tiga kepada peserta
Napak Tilas tersebut dipandu oleh Dewa Gede Yadhu Basudewa seorang arkeolog dan peneliti, serta I Putu Putra Kusuma Yudha dari Balai Pelestarian Nilai Budaya, Bali. Sebagai pembukaan Dewa Basudewa menjelaskan bahwa rombongan sedang berada di Mandala Penataran Agung. Biasanya struktur halaman pura di Bali hanya terdiri dari 3 struktur, sesuai dengan Tri Loka, yaitu Bhur, Bwah, Swah. Ada Jaba sisi, tengah, dan jeroan. Mekipun demikian ada juga beberapa pura yang hanya memiliki 2 halaman.
“Di Pura Samuan Tiga, ada 7 struktur halaman pura, disebut sapta loka,” ujar Bli Dewa
Sapta loka tersebut diberi nama susuai dengan istilah-istilah lokal, seperti Mandala Jaba, Mandala Duur Delod, Mandala Beten Kangin, Mandala Penataran Agung, Mandalan Batan Manggis, Mandala Semanggen, dan Mandala Jeroan.
Lebih jauh Dewa Basudewa menjelaskan, belum ditemukan data prasasti yang membahas tentang keberadaan Pura Samuan Tiga, namun secara tradisi lisan keberadaan pura tersebut selalu dikaitkan dengan tokoh Mpu Kuturan yang dipercayai melakukan pertemuan – samuan, untuk menyatukan sejumlah sekte yang berkembang di Bali pada sekitar abad XI masehi. Kendati demikian ada catatan lontar Tatwa Siwa Purana sempat menyebutkan keberadaan pura ini, khususnya pada halaman 11 :
“Semasa pemerintahan beliau prabu Candrasangka, membangun pura antara lain Penataran Sasih, Samuan Tiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng), pendet dan ada balai pegat penghapus ketidaksucian (leteh)”
Foto: Peninggalan Lingga Yono dari sekte Siwa Sidhanta di Mandala Jeroan
Setelah mendengar penjelasan singkat tersebut, rombongan peserta melakukan persembahyangan, untuk memohon keselamatan selama kunjungan dan selama proses latihan hingga menjelang waktu pentas.
Suara genta berdenting menyusur Mandala Jeroan, memantul bunyinya pada dinding-dinding pelinggih. Arca-arca yang kehilangan utuh, tetap terjaga di lorong-lorong suci, asap dupa harum, serta bunga-bunga usai sembahyang, jatuh di antara sela jarak duduk peserta.
Dua pemangku memercikan tirta, sejumlah bulir beras basah di kening peserta. Setelah cakup pamit terkahir, merekapun segera beranjak untuk melanjutkan napak tilas.
Dewa Basudewa menjelaskan keberadaan lingga yoni yang berada tidak jauh dari tempat sembahyang. Lingga Yoni tersebut berasal dari aliran kepercayaan Siwa Sidantha. Lingga Yoni ini merupakan simbol dari perempuan dan laki-laki, temuan ini juga banyak dijumpai di sekitar area pura, di rumah-rumah penduduk.
Foto: Serius mendengar penjelasan
Ada pelinggih Bathara Gangga yang di dalamnya terdapat sejumlah arca seperti Arca Dirga Mahisasuramardhini, arca Ganesha, lingga, Arca Catur Karya, Arca Garuda Wisnu dan fragmen-fragmen arca. Semua arca yang disebutkan tadi, rupa bentuknya sudah terkikis, rusak, atau hanya bongkahan kepala saja. Seolah meyakinkan kita, bahwa dalam tubuh arca itu tersimpan waktu yang lampau dan sekarang secara bersama-sama kita tengok kembali.
Tidak hanya arca, di Mandala Batan Manggis juga terdapat temuan arkeologi zaman prasejarah, berupa batu bertumpuk yang diasumsikan sebagai tempat persembahan. Ada pula pelinggih Penyimpenan yang didalamnya berupa arca-arca perunggu seperti Siwa dan Budha.
“Kenapa yang batu dibiarkan di luar, sementara yang perunggu disimpan tidak diperlihatkan?” tanya seorang peserta.
Dewa Basudewa menjawab ini terkait dengan bagaimana evolusi arca yang dulunya berupa batu besar yang diukir, namun menjadi batu kecil, kayu dan perunggu bahkan sekarang masyarakat Bali tidak lagi menggunakan bentuk arca, cukup dengan daksina linggih. Daksina Linggih inilah simbol dari arca-arca tersebut. Makanya yang perunggu disimpan, dan dikeluarkan pada saat upacara pujawali di Pura Samuan Tiga.
Peserta pun beranjak dari satu arca ke arca lainnya, dari satu kisah ke kisah berbeda, ada yang sibuk menautkan dengan sejarah kotanya masing-masing, ada pula yang sedang asik mendengarkan dengan khusyuk.
Foto: Di depan pelinggih yang menyimpan arca – arca
Bli Dewa Basudewa menjelaskan bahwa Pura Samuan Tiga digunakan untuk pertemuan tokoh-tokoh agama pada masa pemerintahan Sri Gunapriyadharmapatni dan Dharmordayana. Pertemuan ini berhasil menemukan satu formula bersama, dalam menyatukan sekte-sekta, kepercayaan Siwa dan kepercayaan Budha menjadi Tri Murti. Melalui terbentuknya Desa Pakraman dengan keberadaan Khayangan Tiga sebagai pengikat Desa Pakraman tersebut.
Sembilan sekte pernah tumbuh subur di Bali, seperti Sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing – masing sekte tersebut memuja dewa utama masing-masing.
Ah, mendengar penjelasan Dewa Basudewa saya teringat satu presentasi kelompok 1 yang terdiri dari Kurniadi Ilham, Komang Adi Pranata, Ayu Anantha, Alisa Soelaeman, dan Eka Wahyuni. Salah satu butir presentasinya adalah yang terlihat dan tidak terlihat. Tampak dan tidak tampak ini seperti melihat satu objek kemudian mencari apa yang ada di balik itu, entah sejarah, aspek sosial, aspek kultural, hingga aspek politisnya. Bahwa suatu fenomena juga memiliki narasi gerak di baliknya.
Sementara itu I Putu Putra Kusuma Yudha dari BPNB menjelaskan sejumlah tradisi yang berlangsung di Pura Samuan Tiga. Seperti kehadiran premas dan parekan. Premas adalah pengayah istri, sementara parekan adalah pengayah laki-laki. Biasanya kedudukan ini diperoleh karena keturunan, kaul, atau disucikan.
Ada pula prosesi Siat Sampian yang dilaksanakan dalam rangkaian Pujawali , yang berlangsung setahun sekali pada Purnama ning Sasih Kedasa nemu Pasah. Siat berarti perang dan sampian mengacu pada rangkaian janur sarana upacara. Sampian merupakan lambang senjata Dewa Wisnu dan senjata ini digunakan untuk memerangi kejahatan di muka bumi. Selain itu Siat Sampian juga bermakna untuk memohon keselamatan lahir batin, dan merayaan bersatunya berbagai sekte keagamaan hindu di Bali.
“Yang dapat melakukan Tradisi Siap Sampian adalah mereka yang sudah menjadi parekan,” tegas Kusuma Yudha.
Foto: Di sela tour, berfoto bersama Kurniadi Ilham (kiri) dan Priscilia R.E Rumbiak (kanan)
Napak Tilas hari ini diakhiri diskusi santai di wantilan. Setelahnya peserta dipersilahkan untuk latihan di sejumlah tempat untuk pertunjukan esok hari. Ada yang menggunakan tangga penonton, latihan berdua -intim, latihan bersama di kalangan luar, ada latihan yang menggunakan simulasi penonton, dan lain sebagainya.
Hari menjelang malam, Pura Samuan Tiga diselimuti dingin, beberapa lampu terlihat temaram dari kejauhan. Sesekali laju kendaraan terdengar melintas di depan pura. Ada panitia yang berjaga, mereka tengah mengobrol persiapan pementasan yang akan berlangsung pada Sabtu 23 Juli 2022. [T]
Foto: Peserta duduk melingkar
_____
KLIKuntuk baca laporanTemu Seni Tari – Indonesia Bertuturselengkapnya