Rabu, 29 Juni 2022, malam. Saya menonton lomba Cipta Lagu Cagar Budaya yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Dinas Lingkungan Hidup di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Bung Karno, Sukasada, Buleleng. Terus terang, saya menonton karena teman saya berpartisipasi dalam lomba itu.
Awalnya, saya mengira keadaan Taman Bung Karno akan menjadi sangat ramai, penuh motor dan mobil sehingga saya khawatir bakal sulit mendapat tempat parkir. Maklum, jika tidak salah, ini kali pertama garapan musik dilombakan lalu dipertontonkan kembali di khalayak ramai sejak pandemi dua tahun.
Berkaca dari lomba teater tingkat SMP dan Fragmen Tari tingkat SMA yang sebelumnya sudah lebih dulu diadakan, saya selalu dapat tempat parkir yang cukup jauh (terutama lomba teater tingkat SMP). Tak jarang saya harus menghabiskan 10 sampai 15 menit dari mulai mencari tempat parkir sampai akhirnya sampai panggung.
Namun, di luar dugaan, penonton untuk lomba musik ini jauh lebih sepi dari lomba yang digelar untuk siswa SMP dan SMA sebelumnya. Parkir di arela yang biasa saya parkir, masih tampak lengang padahal saya datang sekitar 30 menit lebih lambat. Tapi tak apalah, saya jadi mudah mendapat tempat parkir dan cepat sampai panggung.
Tak sampai 5 menit, saya sudah di depan panggung. Kursi penonton sudah banyak terisi namun banyak juga yang belum terisi. Terlihat kursi undangan juga masih banyak kosong. Mungkin sedang ke stand UMKM karena selain ada lomba, juga ada pameran dari UMKM Buleleng yang terletak di belakang panggung,
Sayangnya saya tak menyempatkan diri ke stand-stand tersebut jadi tak memiliki info soal apa saja yang dijajakan disana. Sekitar 15 menit kemudian, suara MC sudah terdengar menyapa penonton. Sesuai dengan apa yang saya rasakan sebelumnya, MC sempat berkata “Nanti semakin malam pasti semakin ramai”
Sepuluh peserta yang tampil merupakan finalis setelah mereka melewati babak penyisihan. Jumlah peserta awalnya, menurut informasi, lebih dari 30 peserta. Dewan juri memilih 10 finalis yang berhak tampil di atas panggung untuk kemudian dipilih juara satu, dua dan tiga.
Sepuluh peserta itu adalah Chemistry, Hikari, Kedung2 Aw, Rika Pramana, Purbangkara Ethnic, The Error Project, Asha Band, Decisive, Margarani, dan Chandra Gurnitha.
Wakil Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra membuka lomba cipta lagu cagar budaya itu sekitar pukul 18.30 wita. Saat memberi sambutan. Wabup Sutjidra mengatakan, kasus Covid-19 di Buleleng yang sudah semakin melandai sehingga kegiatan seperti sekarang ini sudah mulai bisa dilaksanakan.
“Dengan adanya lomba cipta lagu cagar budaya ini diharapkan mampu untuk melestarikan warisan seni dan kebudayaan khususnya di Buleleng,” kata Wabup Sutjidra.
Sebelum lomba dimulai, tentu para dewan juri diperkenalkan lebih dulu. Para dewan juri tersebut adalah Sugi Antara, Gde Kurniawan dan Adnyana Ole. Menurut biodata yang dibacakan MC, secara umum saya simpulkan dewan juri diambil dua dari kalangan pemusik dan satu dari kalangan seniman. Wajar saja, selain soal musik, tentu lirik juga adalah kriteria penting karena terdapat kata ‘cipta’ di sana.
Lomba dimulai, dan jujur, mungkin karena belum terbiasa, suara bass (dari drum barangkali?) terasa agak mengganggu. Dari tempat duduk saya yang bisa dibilang paling belakang, suara bass tersebut masih terasa kencang. Untungnya suara tersebut tidak sampai menutupi suara musik lain. Namun saya agak kesulitan menangkap beberapa kata dari lirik yang diucapkan oleh penyanyi.
Bahkan tak jarang saya hanya bisa menerka-nerka kata apa yang keluar karena tertutup suara musik. Disini saya simpulkan, barangkali kekuatan musikalitas adalah apa yang sangat ingin ditonjolkan. Terlebih lagi peserta tersebut memakai gong juga sebagai instrumen. Berlanjut ke peserta selanjutnya, juga senada dan setipe namun saya mendengar vokal lebih jelas dan selain itu, peserta ini memakai dua penyanyi.
Dari peserta nomor urut satu, hingga penampil nomor lima, tampaknya peserta terlalu fokus utama masih pada vokal dan musikalitas. Dari pengamatan saya tanpa bermaksud merasa lebih tahu, lirik sepertinya ada setelah nada. Atau lirik bisa berubah sesuai nada.
Peserta seperti sangat terikat oleh kata yang diminta diisi oleh panitia (“Kenali, jaga dan lestarikan cagar budaya untuk Buleleng) sehingga lirik hanya terasa memberi ajakan untuk mengenali, menjaga lalu melestarikan cagar budaya untuk Buleleng.
Sebuah pertanyaan lalu muncul. Jadi, cagar budaya mana yang harus saya kenali, jaga lalu lestarikan untuk Buleleng?
Selain itu, melihat lomba ini meminta menampilkan dua lagu, saya rasa ini adalah kesempatan bagus untuk menunjukkan karya pribadi. Jadi ada baiknya jika lagu kedua juga adalah karya pribadi dan tentu tidak jauh-jauh dari tema yang diberikan panitia.
Di tengah peralihan peserta, sambil bercanda MC juga menyinggung sedikit soal durasi penampilan. Kurang lebih MC berkata “Prosesnya lama, waktu penampilan juga lumayan, masa tampilnya singkat?” Masuk akal juga.
Pada peserta nomor 6, yakni Kedung_kedung Aw, barulah terasa ada perbedaan. Maksud perbedaan di sini adalah fokus garapan. Sangat terasa kekuatan lirik yang diutamakan. “Jika ingin melihat pura datanglah ke sini, jika ingin tempat foto yang bagus datanglah ke sini, jika ingin ini datang ke sini, jika ingin itu datang kesitu”. Semacam itu pesan dari liriknya yang diujarkan dalam bahasa Bali.
Itu gambaran umum lirik mereka. Jika disandingkan, musikalitas peserta ini tentu tidak sebaik peserta-peserta lain yang terasa megah. Peserta nomor 6 ini sangat fokus pada penyampaian pesan. Saya berani berkata peserta ini yang paling informatif soal cagar budaya. Sehingga saya sebagai penonton tahu cagar budaya apa yang ada di Buleleng.
Langsung ke peserta nomor 8, yakni Hikari. Mendengar liriknya, tampaknya peserta ini fokus pada ‘kenali’. Artinya, lirik yang mereka buat memang untuk mengenalkan cagar budaya, bukan sekadar mengajak untuk kenal, jaga, dan lestarikan.
‘Jadi cagar budaya itu adalah ini lho, definisinya ini, gunanya ini’. Semacam itu kesan yang disampaikan dalam lirik Hikari.
Memang lirik yang disampaikan masih terasa umum, tapi jika kita tahu apa definisi dan guna cagar budaya, tentu kita bisa mencari sendiri tempat atau lokasi cagar budaya yang ada di Buleleng bukan? Selain itu peserta ini juga menampilkan lagu kedua soal Buyan. Sehingga relasi lagu pertama dan kedua masih ada. Terasa juga musikalitas tidak ditinggalkan. Masih bisa disandingkan dengan peserta lain. Dengan dua gitar, tiga penyanyi dan sedikit musik EDM, masih terasa ada kemegahan.
Yang menarik dari kesepuluh peserta ini adalah keberagaman. Juri tampaknya sengaja memberi pertimbangan pada keberagaman jenis musik saat menentukan sepuluh finalis. Dari sepuluh peserta itu kita bisa dengarkan jenis musik fusion, reggae, ska, rock, pop Indonesia atau pop Bali, dan musik kolaboratif yang terkesan megah. Beberapa beberapa peserta mengguakan lirik dengan bahasa Bali, termasuk kelompok Kedung-Kedung Aw.
Dari lomba ini kita bisa melihat betapa Buleleng sesungguhnya sangat kaya dengan berbagai jenis musik. Dan secara kualitas, beragamnya jenis musik itu juga tak kalah dengan musik sejenis yang berkembang di Indonesia.
Margarani misalnya, sebagai peserta terakhir dalam lomba itu tampil sangat memukau dengan menunjukkan garapan musik dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan kolaborasi yang jarang dilakukan penggarap musik lain. Musiknya tak hanya terkesan megah, namun juga terasa cukup segar dan bergairah. Sayangnya, lirik dalam lagu cagar budaya amatlah pendek, seakan-akan diulang-ulang.
Sampai akhirnya pengumuman juara. Juri sempat menyinggung soal seberapa penting kejelasan vokal dan pemilihan lirik. Akhirnya ditetapkan juara ketiga adalah Margarani, juara kedua Candra Gurnita dan juara pertama adalah Hikari.
Juri juga memberi apresiasi khusus pada peserta nomor 6, Kedung-kedung Aw, karenatampil “berbeda”. Maaf, saya tidak mendengar jelas apa maksud dari penampilan berbeda tersebut karena saya sedang ada di belakang panggung. Selamat untuk para juara.[T]