Dari Denpasar saya menuju Pura Dalem Tegallinggah, Jalan Raya Semebaung, Gianyar. Walaupun saya sering melewati jalan-jalan Gianyar, namun hari itu Sabtu, 4 Juni 2022 lampu-lampu bulat dengan tiang merah meronanya nampak lebih indah dari biasanya.
Lampu bulat seperti bulan menggantung itu, seperti menyambut kedatangan saya dengan cahaya pendar yang menawan. Sebab sebelumnya seorang kawan penabuh mengundang saya untuk melihat garapan pentasnya. Ait…..! ini bukan sembarang pertunjukan! Ini dirancang untuk Pesta Kesenian Bali XLIV, tepatnya dipentaskan Kamis 16 Juni 2022.
Kawan saya bernama Yanta Adi, dialah yang merancang konsep pertunjukan secara keseluruhan. Ia tergabung dalam kelompok Gong Kebyar Dewasa, Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana, Desa Adat Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh-Gianyar. Kelompok ini akan membawakan pertunjukan berjudul Ki Tunjung Tutur.
Betapa senangnya saya, yang bukan siapa-siapa dapat melihat latihan mereka. Dulu sewaktu bekerja sebagai wartawan penuh waktu, kesempatan seperti ini sering saya dapatkan. Selain karena tuntutan pekerjaan yang harus menyetor hasil liputan, tapi juga kesenangan batin yang saya rasakan, melihat sebuah kelompok urun daya dalam satu pertunjukan seni.
Persis seperti malam itu di Pura Tegallinggah, anak-anak remaja menurunkan properti dari wantilan, para penabuh sudah siaga duduk berhadapan bersama instrumennya masing-masing, sesekali penabuh memainkan bagian-bagian yang perlu dilatih. Ibu-ibu membawa wadah semacam krat botol, namun isinya gelas dengan kopi hitam atau teh panas, mereka berkiling menjajakan kopi lengkap dengan jaje Bali.
Saya mengambil satu yang paling panas, untuk membangunkan saraf mata agar bekerja lebih teliti dan cermat. Mohon maaf kalau malam, saya suka ngelantur dan observasi kadang kurang memuaskan, karena dikalahkan oleh rasa kantuk.
Sambil menikmati kopi, Yanta Adi menjelaskan kepada saya bahwasannya Ki Tunjung Tutur merupakan cerita yang lekat hubungannya dengan Blahbatuh. Dahulu kisah ini sering dibicarakan atau diceritakan oleh orang tua. Tapi sekarang nampaknya kisah ini mulai luntur terkikis hiburan zaman sekarang, untuk itu melalui kesempatan PKB, dialah yang mengusulkan agar cerita sejarah Pura Tegalwangi dialihwahanakan menjadi pementasan serius.
Foto: Latihan untuk pertunjukan Ki Tunjung Tutur
Ki Tunjung Tutur merupakan nama sebuah senjata yang berupa bunga Teratai. Teratai akan tetap tumbuh indah, walaupun ia berada di tanah rawa, seorang pemimpin harus mampu berfikir jernih, bijak, dan bersih, untuk menciptakan lingkungan yang indah, walaupun ia sedang dalam keadaan kemelut sekalipun. Dari filosofi Ki Tunjung Tutur setiap pemimpin harus mampu bercermin kepada dirinya sendiri, agar tidak gegabah.
Pusaka ini dimiliki Ki Gusti Oka Djelantik (IX) seorang utusan Raja Buleleng Ki Gusti Panji Sakti. Ki Gusti Ngurah Jelantik ditugaskan untuk menjaga kesejahteraan dan keamanan di daerah Blahbatuh.
Kemudian singkat cerita Ki Gusti Oka DJelantik (IX) memiliki dua orang putra bernama Ki Ngurah Cekug dan Ki Gusti Gede Geso. Setelah kedua putranya dewasa, diutuslah Ki Gusti Gede Geso untuk menjaga wilayah Blahbatuh bagian utara. Perjalanan itu melewati Bona, Desa Ceruk (sekarang Celuk), lalu Wana Giri (Sekarang Desa Marga Sengkala), Tegal Gora hingga terakhir daerah Tegallinggah.
Menurut penuturan Yanta, kisah perjalanan Ki Gusti Gede Geso inilah yang menjadi sudut pandang pementasannya. Mulai dari titah Ki Gusti Ngurah Jelantik kepada Ki Gusti Gede Geso, lalu pertengkaran dengan seorang asing ditengah jalan bernama Gusti Ngurah Pacung. Pertengkaran itu terjadi di Tegal Gora.
Pertengkaran tersebut terjadi karena jalan yang mereka lewati terlampau sempit, namun keduanya membawa pasukan, sehingga terjadilah gesekan. Hingga mereka bertengkar, akhirnya pertengkaran diselesaikan setelah mereka berdua mengetahui identitas masing-masing. Alhasil rupanya mereka bersaudara.
Perjalanan Ki Gusti Gede Geso berhenti sejenak, karena pasukannya mengalami kelelahan. Gusti Geso memilih untuk membangun tapa , memuja Bhatara di Pura Masceti, dalam tapa tersebut keluarlah kepulan asap wangi. Asap Wangi itu mempengaruhi tubuh para prajurit hingga mereka segar.
Atas dasar itu dibangunlah pura bernama Pura Tegalwangi, daerah itulah yang dijaga oleh Ki Gusti Geso. Masyarakatnya rajin bekerja di sawah, hasil panen berlimpah dan memberi kesejahteraan kepada warga yang menempati Tegalwangi.
Tapi tidak berselang lama, terjadilah wabah. Wabah belalang, wereng, ulat yang membuat sawah tidak baik-baik saja. Begitu juga dengan kehidupan warganya yang bergantung pada kehidupan di sawah. Mereka kebingungan lalu meminta pertolongan dan bimbingan kepada Ki Gusti Gede Geso.
Akhirnya Ki Gusti Gede Geso bertapa untuk medapatkan wahyu, untuk menghilangkan wabah dari desa. Singkat cerita wabah berhasil dimusnahkan, untuk mengenang hal itu ada pelinggih bernama Sedahan Merana di Pura Tegalwangi . Pura inilah merupakan sebuah bisama Ki Gusti Gede Geso kepada sang pemberi selamat.
Hari pertama saya datang, saya menikmati pementasan dengan khusyuk di jajaran penonton. Ada banyak yang datang, para tetua desa, keluarga pemain, anak-anak kecil yang memang ingin melihat kakak-kakaknya menari, para remaja tanggung yang terlihat asik bergerombol. Keseluruhan pementasan terdiri dari beberapa bagian, seperti tari kreasi berjudul Ki Pasung Grigis, Tabuh kreasi, dan Fragmen Cerita.
Tiba-tiba hujan turun. Dari gerimis, menjadi bulir besar, lalu deras. Semua setting yang awalnya di depan kuri, langsung bubar dengan penuh tanggung jawab. Setiap penabuh menyelamatkan instrumennya. Menggotong dengan kecepatan kilat, seperti seorang ibu yang merapikan jemuran baju saat hujan turun. Setiap orang juga bergerak, sound sistem diselamatkan lebih dulu, anak-anak membawa properti ukuran kecil naik ke wantilan, bapak-bapak membawa properti ukuran besar ke wantilan, pemudanya menggulung karpet kemudian digelar di wantilan. Tidak menunggu lama, semua gamelan sudah disetting sedemikian rupa, properti pada tempat seharusnya, dan penari sudah bersiap lagi untuk latihan.
“Kalau hujan, memang biasa begini, setting ulang ke wantilan” ujar Gusbang salah seorang kawan saya yang ikut menari .
Semua diam…. Gamelan bertalu dari awal, latihan berjalan. Hujan nampaknya masih terjaga, sempat deras, sempat hilang, tapi deras lagi. Sementara saya keliling-keliling mencari sudut pandang menonton agar tampak jelas secara keseluruhan.
Foto: Latihan untuk pertunjukan Ki Tunjung Tutur
Entah pukul berapa mereka selesai latihan, yang saya ingat para ibu-ibu (lagi) membagikan nasi jingo untuk makan malam. Saya diberi satu, plus segelas air mineral, saya dan beberapa kawan makan bersama sambil diskusi santai.
Bagi saya, jika dilihat dari keputusan pengambilan cerita, Ki Tunjung Tutur menjadi cukup penting, sebab kisah-kisah seperti ini perlu diceritakan ulang berkali-kali, kepada generasi muda selanjutnya. Ditengah gempuran banyaknya cerita yang dapat diakses melalui game online, Netflix, youtube, ataupun platform lainnya.
Kisah-kisah babad seperti Ki Tunjung Tutur akan berhenti di babad, hanya diingat jika babad itu dibaca. Ia akan membeku oleh waktu, kemudian menunggu untuk dilupakan. Anak-anak muda seperti Yanta Adi dan Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana menggunakan kesempatan PKB dengan sangat cermat.
Mereka kembali mengulik sejarah, meminjam ingatan para tetua, membuka lembar babad, meminta bimbingan kepada senior, untuk mengalihwahanakan cerita menjadi pertunjukan. Yang lebih menarik lagi, dari Yanta saya tahu pementasan ini rupanya sudah pernah dimainkan saat mendapat undangan pentas dari Angkatan Laut di Denpasar. Barulah kemudian bentuk cerita ini disempurnakan baik secara pengadeganan dan sinkronisasi terhadap gamelan untuk kebutuhan PKB.
Artinya begini, tanpa PKB sekalipun, kawan-kawan muda tetap bergerak demi keseniannya masing-masing. Ada kepentingan lain dalam kesadaran mereka berkolektif untuk menggali potensi desa, sikap-sikap semacan ini, tentu akan mewujudkan satu rasa etnosentrisme terhadap kebudayaan. Kalau etnosentris tidak berlebihan itu hal yang baik, lebih bagus daripada tidak sama sekali.
Saya sendiri memiliki pemahaman, jika kisah-kisah yang kental dengan tradisi – sebutlah itu arsip tradisi , tidak beradaptasi dengan zaman, pastilah ia tidak mampu berkembang dan ilmu pengetahuan akan berhenti. Oke, tahun 2022 Ki Tunjung Tutur jadi pertunjukan, selanjutnya mungkin materi drama radio, atau film, atau lebih menarik lagi jadi game online berbasis cerita rakyat.
Saya beberapa hari lalu mengikuti satu diskusi publik tentang seni pertunjukan, film dan game online yang diadakan oleh Teater Garasi melalui platform Zoom. Satu paparan menarik moderator, diskusi tersebut sedang mencari irisan-irisan dari ketiga cabang disiplin ilmu, kemudian diharapkan menghasilkan satu cara kerja, cara pandang, yang memungkinkan perpanjang tangan dari setiap cabang untuk saling menengok, atas metode yang diterapkan. Metode inilah yang berusaha dikejar, kemudian disandingkan, atau langsung dicoba dengan cara pandang sendiri-sendiri.
Misalnya orang seni pertunjukan menggunakan cara pandang film, orang film menggunakan cara pandang game online dan begitu seterusnya. Atau ketiganya jadi satu dalam satu presentasi bentuk. Entah sebutannya apa, tak jadi masalah. Yang jelas kerja-kerja interdipliner sedang menggedor tembok dan bertamu dengan senang.
Dalam perjalanan pulang, saya terniang kecepatan tangan penabuh gangsa, ia tampak menikmati setiap pukulannya. Seperti orang trance yang sedang mempersembahkan lantunan gamelannya kepada dimensi lain. Saya juga mengingat, banyak properti yang menggunakan warna-warna bumi, tidak mekrenyep seperti emas prada. Untuk satu bahasan properti, saya berencana akan menjadikannya satu tulisan.
Aspal basah, lampu bulan Kota Gianyar tampak berpendar di atas genang. Saya melintasi jalan dengan keciprak air, sesekali orang mengebut – menyalip saya. Saya berpikir, seberapa kecepatan kebudayaan atas laku manusia hari ini yah? [T]