Malam-malam di emperan toko di Tokyo adalah malam serupa bir Sapporo Yebisu—ia tak pernah berhenti meletup dan mendidih di kepalaku. Jika hari esok adalah kecipak mulut, rasa yang ditinggalkan Tokyo adalah kenangan-kenangan sebelum meminumnya. Saat itu pukul sembilan malam, aku berdiri di sebelah pintu masuk FamilyMart Kandaeki Higasiguchi (begitu seingatku namanya). Sebagai orang yang tinggal di desa yang dihuni tak lebih dari sembilan puluh lima kepala keluarga, melihat Tokyo dan orang-orang yang lalu lalang, dengan terburu-buru, dan mendecak mulutnya ketika orang di depannya lelet, membuat isi kepalaku meleleh berhamburan—serupa bir Sapporo Yebisu yang dikocok tanpa botol penutupnya.
Tokyo tampak seperti biasanya—maksudku, tampak memang seperti apa-apa yang kalian lihat di internet. Lampu-lampu, orang-orang yang jalan kaki menenteng tas dan hal-hal jamak lainnya tentang Tokyo, memang begitu yang ada di depan mataku. Tak ada keramaian yang dibuat-buat semacam gerak jalan, parade agustusan dan lain sebagainnya; aku tahu ini tempat yang berbeda, tapi ketahuilah, tak ditemukan hal semacam itu di depan mataku di sini. Hari ini aku ada janji bertemu dengan Dazai Osamu. Aku pikir beruntung adalah kata yang paling tepat untuk menjelaskan hal ini. Bertemu dengan orang yang lebih menyukai menghabiskan waktu membaca buku di kamarnya seharian penuh dan menolak mekanisme hidup alami manusia—kata apalagi yang paling tepat untuk menggambarkan ketika dia mau bertemu denganku? Aku pikir ini berkat Horiki juga.
Horiki adalah teman lama Osamu yang dia temui di bengkel lukis di Tokyo. Temanku juga, dulu kami tak sengaja bertemu di Facebook, berteman setelah aku mengunggah satu komentar kecil dengan foto, tentang buku yang kubaca dan yang aku pikir bagus. Kalau tak salah ingat, itu buku yang berhubungan dengan komunisme. Dulu, aku lupa kapan tepatnya—aku pikir tidaklah terlalu lama, Osamu sempat menceritakan padaku soal Horiki ini. Dia mengatakan kalau Horiki adalah orang yang suka bersolek dengan modernitas kosong, yang senang ikut diskusi bawah tanah kelompok sayap kiri di Tokyo. Meskipun dia sejatinya tak mengerti-mengerti amat apa yang sejatinya didiskusikan kelompok itu. Jika penganut marxisme sungguhan mengetahui hal ini, bisa dipastikan mereka akan dengan seketika menendang Horiki terlebih dahulu.
Mungkin kalian merasa aneh, kenapa Osamu begitu terbuka denganku, tapi ketahuilah—apakah kalian pernah curiga; kenapa buaya bisa berbicara dengan kancil dalam sebuah dongeng tentang kancil yang ingin menyeberangi sungai? Serupa pendongeng itu, aku tak menjelaskan dari awal kenapa mereka bisa berbicara. Oleh karena itulah tujuanku. Aku ingin mempersingkat ceritanya, selain memang karena aku pikir pertemuanku tak terlalu spesial karena Osamu adalah teman dari temanku. Jadi, kalau tak ada Horiki, sudah pasti aku tak mengenal Osamu.
Osamu dan Horiki datang. Langkah kaki Horiki lebih cepat dari Osamu. Dia melambaikan tangan ke arahku diikuti gegas lari seolah tak ingin membuatku menunggu lebih lama lagi.
“Sampai kapan di Tokyo?” Horiki mengawali sembari menepuk-nepuk lenganku.
“Mungkin seminggu kedepan,” jawabku sembari tersenyum.
“Akhirnya kita bertemu secara langsung ya,” ungkapnya.
Aku pikir soal muka Horiki yang jelek diikuti sarannya perihal tak penting bersekolah karena pathos guru adalah alam, yang aku dapat dari Osamu, aku pikir hanya karang-karangannya sebelum kita bertemu. Ternyata benar. Apa yang dikatakannya benar.
Osamu mendekat dan kini kita sama-sama berdiri.
“Apa tidak sebaiknya kita membeli bir dulu? Sehingga bisa ngobrol dengan ringan dan kemana-mana?” bujuknya.
“Iya, boleh, kamu mau bir?” tanyaku pada Osamu sembari menunjuknya.
Dia menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Bah! Bakal susah ngobrol kalau begini, pikirku dalam hati.
“Kolekan beberapa yen dong,” perintah Horiki menengadahkan tangannya.
Tak butuh waktu lama, Osamu dan aku memberi apa yang diminta Horiki. Seperti tak ingin membuang waktu sedikit pun, ia bergegas masuk.
Kini hanya aku dan Osamu yang menunggu di luar.
“Aku sempat membaca bukumu, nyaris keseluruhan,” kataku mencoba membuka percakapan.
“Hai! Arigatōgozaimashita, Juli.”
Aku menyesal mengatakan nyaris keseluruhan. Aku pikir itu sikap awal yang congkak yang aku tunjukkan.
“Gagal Menjadi Manusia adalah buku pertamamu yang aku baca. Buku itu pula yang membuatku kemudian selalu membaca tulisanmu. Eh bukan yang pertama sekali, pernah dalam bahasa Inggrisnya.”
Osamu kembali tersenyum sembari sesekali menatapku. “Kamu tampak suka memuji orang lain,” simpulnya.
Bah! Bisa-bisanya dia berpikiran begitu.
“Hei! Kamerad,” teriak Horiki keluar dari toko menenteng tiga botol bir.
Memang benar, Horiki ini sungguh ajaib. Dia memiliki kemampuan menikmati sesuatu dengan maksimal, dengan jumlah uang yang minimal!
“Apa kita akan memantapkan malam ini dengan sambil mengunyah sushi?” harapnya.
Osamu terdiam, dia tampak menunggu kalimat yang keluar dari mulutku.
Aku tertawa mengingat tak ada yang menjawab. “Apa kita mau makan sushi di belakang Gazi?” usulku. Uangku tak banyak, aku mesti memilih tempat yang paling memungkinkan untuk ditolak sehingga rencana itu batal. Aku pernah mendengar satu dari mereka berkomentar kalau sushi yang aku usulkan rasanya tak enak, potongannya terlalu besar melebihi jempol ibu jari orang dewasa. Selain itu, kepala penjualnya botak pula tak ubahnya ular pemakan tikus.
“Kalau di sana, mungkin kita kapan-kapan saja. Apa duduk dulu di sini?” saran Horiki.
“Aku pikir juga begitu!” timbrungku.
Osamu tampak mengangguk-anggukan kepalanya tampak sepakat.
“Ini bir kalian,” terang Horiki sembari membagikan birnya. “Kalian sudah saling baca tulisan belum sih?” tanya Horiki menoleh ke arahku lalu menyusul ke arah Osamu.
“Sudah. Aku pikir membaca keseluruhan karya-karyanya adalah serupa menonton sirkus masygul. Kisah-kisah yang dia tunjukkan pepat oleh rentetan kesengsaraan. Aku menyukainya, terlebih sikap sinisnya—pada penulis lain, orang-orang yang tak dia sukai, atau bahkan pada hidupnya sendiri.”
“Apa memang kalau penulis ketemu penulis itu saling puji ya?” sindir Horiki memotong.
Aku sontak tertawa dan hampir menyemburkan bir di mulutku ke wajahnya. Ini manusia memang ngeselinnya ampun-ampunan!
“Tidak juga. Maksudku, tidak tentu. Kamu pasti belum membacanya?” terkaku.
“Ingin, cuma belum sempat. Aku dengar anak kalem ini meledekku dalam bukunya ya?”
Aku kembali tertawa.
“Iya, cuma di pertengahan saja. Itu buku sedih. Kamu bisa tanya dia. Aku pikir ini INovel. Satu istilah yang dipilih beberapa orang untuk menggambarkan jenisnya. Novel yang ditulis penulis tentang kisahnya sendiri. I-novel (私小説, Shishōsetsu, Watakushi Shōsetsu) adalah genre sastra dalam sastra Jepang yang digunakan untuk menggambarkan jenis sastra pengakuan di mana peristiwa dalam cerita sesuai dengan peristiwa dalam kehidupan penulis. Genre ini didirikan berdasarkan penerimaan naturalisme Jepang selama periode Meiji, dan kemudian mempengaruhi sastra di negara-negara Asia lainnya juga. Genre sastra ini mencerminkan individualitas yang lebih besar dan metode penulisan yang tidak terlalu dibatasi. Sejak awal, I-novel telah menjadi genre yang juga dimaksudkan untuk mengekspos aspek masyarakat atau kehidupan penulis,” terangku.
“Lengkap ya!” candanya.
“Wikipedia juga banyak bilang begitu,” seruku.
“Ya terus terus?” timpal Horiki.
“Ya Osamu tidak menggunakan namanya langsung di sana. Dia menggunakan nama Oba Yozo. Karena kuat dugaanku kamu belum membacanya, aku tak akan menjelaskannya begitu detail, tapi semoga informasi ini sedikit membantumu. Bentar, boleh pinjam korekmu?” mohonku.
“Walah, oke oke” jawabnya sembari merogoh korek dari sakunya dan memberinya padaku.
Aku menerimanya, melihatnya. Ada juga korek cricket di sini ya. Lalu menyalakan rokokku.
“Boleh satu?” tanya Horiki menjulurkan tangan menyerupai capit kepiting ke bungkus rokokku.
“Boleh dong,” timpalku sembari menyodorkan rokoknya.
“Ya lalu bagaimana?” tanya Horiki yang kini menjepitkan rokok pada kedua mulutnya.
“Gagal Menjadi Manusia ini dibagi dalam tiga bagian kisah. Dimulai dari masa kecil Obo Yozo, lalu tumbuh dewasa dan dihadapkan dengan masalah-masalah pelik yang menyertainya. Aku kadang takut kini melihat orang-orang yang dihadapan banyak orang tampak lucu, menggemaskan dan tertawa terbahak-bahak. Kita tak pernah tahu apa yang ada di balik tawanya. Bisa saja sakit dan luka dalam dirinya perlahan menggerogoti, dan orang-orang ini menyembunyikan di balik senyumnya dan tawanya. Itu yang dilakukan Obo Yozo dalam ceritanya. Obo Yozo itu seorang pria muda depresi yang merasa dibedakan secara negatif oleh konsep dirinya, kecemasan sosial, dan pengalaman dengan pelecehan seksual, kemiskinan, kecanduan, dan bunuh diri. Pengantar buku itu menyarankan untuk membacanya secara perlahan, dan aku sangat setuju dengan hal itu. Semakin kamu membaca, semakin dekat perasaan memalukan Obo Yozo pada dirinya,” jelasku.
Horiki mengangguk-angguk tampak mengerti. “Kamu gimana? Kok diam saja!” komentar Horiki sembari mencolek Osamu yang ada di sebelahnya. Osamu tersenyum, menenggak birnya, mengerucutkan mulutnya tampak merasakan kecut. “Jawaban apa yang kamu harapkan dari mulutku?” candanya.
“Apa ajalah. Ngomong kek, apa gitu!” omel Horiki.
“Menurutku lagi,” potongku. “Menurutku novel ini detail banget mengungkapkan perasaan yang carut marut mengaduk-aduk perasaan.” Kini aku tampak cukup berlebihan. “Kamu menceritakan hidupmu dengan cara yang paling tidak membosankan. Dan aku pikir, sesekali waktu orang lain penting membaca karyamu,” terangku sembari menatapnya.
Aku menenggak birku di tangan lalu menginjak puntung rokokku. [T]
- Bersambung