Perjalananku menuju Bali seperti salmon yang jauh berpindah melawan arus dari satu habitat asalnya menuju rumah baru. Di mana ia bisa mulai mencari penghidupan, menghidupi dirinya, lalu hidup bersama-sama. Tampak menyenangkan, bukan? Menonton aksi si salmon yang mengambil ancang-ancang dari sungai yang lebih rendah, melompat melawan arus sungai di atasnya. Sekali dua kali gagal, mungkin ia terus berdo’a agar segera sampai dengan masih hidup.
Ketika berenang pada arus yang lurus, aku menjadi salah satu mahasiswi angkatan corona yang ternyata tak seburuk itu setelah dipikir-pikir. Sambil kuliah online, biasanya aku juga mengerjakan hal lainnya seperti jadi panitia acara kampus tingkat jurusan ataupun fakultas. Walaupun acara yang diadakan juga online, tapi entah kenapa kami panitianya seperti harus banyak bertemu secara offline.
BACA JUGA:
Tapi saat acara berlangsung juga sebagian besar dikerjakan di rumah masing-masing. Selain itu juga, kegiatan kampus yang masih online ini juga jadi bisa disambi dengan bekerja, bertemu teman, atau pacaran dan teateran bahkan. Nanti kalau ditanya mengenai bagaimana kehidupan kuliah pasti bingung jawab karena rasanya seperti kurang belajar. Ya, begitulah realitanya, bestie.
Aku masih sangat suka mengecap beragam rasa yang hadir dalam keseharianku. Seperti datang dan bermain peran pada acara teater kampus dan beberapa kali berkolaborasi dengan Teater Kalangan pula. Dulu rasanya sangat cukup menjadi seorang aktor dan performer amatir yang kalau disuruh apa juga bisa, menurutku. Salah besar ketika aku harus hanya mengikuti arus air yang membawaku.
Dari sana kucoba lawan arus. Apa yang tak menjadi biasaku kupaksakan supaya ada sesuatu yang kiranya keluar dari dalam diriku, dan beruntungnya aku bertemu kawan-kawan di Teater Kalangan. Kawan-kawan di dalamnya sangat cukup untuk membuatku merasa sangat kecil berada di antara mereka sehingga intensitas volume suaraku ketika berbicara pun mengecil.
Hal tersebut kusadari ketika ada komunikasi-komunikasi kecil yang terjadi antara aku dan kawan-kawan Kalangan. Selain pada volume suaraku yang berubah, terdapat kesenjangan yang kurasa ternyata juga mempengaruhi caraku berbicara, intensitasku untuk berpendapat, dan gesture yang kugunakan.
BACA JUGA:
Seperti ketika berbicara pada guru di kelas, yang mana harus sangat sopan dan berhati-hati. Akupun melakukan hal yang sama, kemudian akan menjadi diriku yang seperti biasanya ketika keluar dari lingkaran tersebut. Namun kesenjangan ini tak semata-mata terjadi karena aku orang baru dalam lingkarannya saja, namun juga karena pengetahuan yang masing-masing dari kami memang berbeda sesuai praktik artistik yang dilakukan. Maka darinya berbagi satu sama lain walau kadang juga meleyot otaknya, tetap harus, setidaknya tau. Maka peranku di sini – kalau orang Jawa bilang “pupuk bawang” – saja. Ikut-ikutan dulu, maksudnya.
Lalu tersadarlah aku dan memikirkan apa yang telah kukerjakan selama ini, sejak di teater SMA hingga memasuki kepala dua kini. Overthink terhadap diri sendiri dan masih kebingungan yang sebenarnya telah kutau bagaimana cara untuk menjawabnya. Menuliskan apa saja yang ada di kepala sehingga terlihat segalanya di depan mata.
Kini kumulai kembali dengan menulis, siapa tau bisa membawaku bertemu sungai yang dengan rasa basa seperti yang ingin kucecap habis. Sejauh ini aku masih berdo’a semoga masih diberi hidup karena jadi perantau juga tak semudah dan semenyenangkan yang orang lihat. [T]
BACA JUGA: