Oleh: Ni Made Dea Krisna Dewi
- Judul : Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite
- Penulis : I Putu Supartika
- Penerbit: Pustaka Ekspresi
- Cetakan : Januari 2018
- Tebal : 110 halaman
- ISBN 978-602-5408-19-9
Sebuah buku dikarang oleh seorang pengarang yang lahir di Desa Selumbung, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, pada hari Rabu wuku Matal, tanggal 16 Juni 1994. Beliau bernama I Putu Supartika. Ketertarikan beliau pada dunia menulis diawali sejak beliau masih duduk di bangku SMA. Beliau sudah banyak menciptakan karya sastra berbahasa Bali yang sudah banyak beredar di Balin Orti (Bali Post), Mediaswari (Pos Bali), Majalah Ekspresi, dan Majalah Satua. Buku kumpulan cerpen berbahasa Bali ini dikemas dengan menarik yang kemudian diberi judul Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite.
Dalam buku kumpulan cerpen berbahasa Bali karangan I Putu Supartika ini terdapat 16 judul cerpen dengan tema yang berbeda-beda disetiap judulnya. Adapun judul dari masing- masing cerpen tersebut yaitu, Api Ane Ngabar-abar di Umahne Wayan Dana, Munyi Sangihan di Beten Bulane, Alih Tiang Rikala Bulane Ngenter lan Bintange Makacakan di Langite, Ujan ane Malakar Aji Yeh Paningalan, Rarincikan Tiange di Tengah Basang Memene, Luh Sekar, Sakit Ati, lan Isin Keneh Tiange ane Tusing Dadi Tambakin, Indik Bojog di Desane Dini ane Ngaenang Wargane Takut, Tiang Lakar Satia Ngantiang Dini Yadiastun Sing Ada Semengan Wiadin Sanja, Dina Anu Ane Paling Bagia di Idup Tiange, Luh Sekar lan Satuane Rikala Ujane Bales, Tusing Dadi Tanggehang, Di Beten Langite Galang I Luh Setata Maplisahan, Anak Muani ane Bangun Jam Dua Semengan, Apa ane Makada Langite Kelangan Bulan?, Anak Luh ane Majujuk di Duur Abinge, Sekaa Joged ane Malajah Apang Sekaane Setata Laku, dan Isin Kenehne Wayan Japa Nglawan Krama Banjar.
Buku ini sangat menarik untuk diulas karena cerita pendek yang terdapat didalamnya sangatlah mudah dipahami dan setiap judul cerpen mampu membuat pembaca menikmati tiap tuangan buah pikir penulis di dalamnya. Selain itu yang membuat saya tertarik mengulas buku ini yaitu cover atau sampul buku cerpen ini. Buku ini dikemas dengan menggunakan cover yang mampu membuat pembaca tertarik untuk membaca isi cerita yang terdapat didalamnya. Cover dari buku karangan I Putu Supartika ini berlatar biru dan kuning disertai dengan gambar seorang wanita yang tengah duduk dibawah sinar bulan yang menerangi bumi dengan mengenakan kostum pementasan Tari Joged dan seekor monyet perempuan atau dalam bahasa Balinya sering disebut bojog lua, dengan mengenakan pita berwarna merah muda diatas kepalanya.
Saat membaca judul buku karangan ini, yang terlintas di benak saya adalah bahwa buku ini menceritakan bagaimana seorang penari Joged yang ditemani dengan seekor monyet perempuan yang setiap malam hari duduk berdampingan dan selalu menunggu bulan jatuh disaat banyaknya bintang yang bertebaran di langit. Dari segi bahasa, penulis menggunakan bahasa Bali sebagai media pengantarnya. Bahasa dan kata-kata dari setiap ceritanya menggunakan kata-kata dan bahasa Bali yang lumrah atau andap sehingga pembaca dapat mudah memahami maksud dari setiap judul cerita yang terdapat dalam buku ini.
Setiap buku tentu saja memiliki judul cerita yang mampu membuat sebuah buku dikatakan berhasil dan booming di kalangan masyarakat. Sama seperti buku karangan dari I Putu Supartika dengan judul Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite terdapat beberapa cerpen yang dapat menarik minat seseorang untuk membacanya karena makna yang terdapat didalamnya yaitu cerpen dengan judul, Munyi Sangihan di Beten Bulane, dan Alih Tiang Rikala Bulane Ngenter lan Bintange Makacakan di Langite.
Memasuki cerpen pertama yang diberi judul Munyi Sangihan di Beten Bulane. Dalam cerpen ini diceritakan bahwa tokoh yang bernama Wayan Ranten yang masih balita melihat bagaimana kejamnya Bapa Jenek menginjak, menyeret dan memikul ayah Wayan Ranten. Bapa Jenek merupakan saudara dari ayah Wayan Ranten. Diceritakan bahwa saat itu di Bali sedang maraknya masyarakat yang mengikuti partai merah yang ditangkap, dan dibunuh karena dianggap sebagai penjahat negara pada masa itu. Kembali ke Wayan Ranten dan Bapa Jenek, saat itu ayah dari Wayan Ranten tidak ikut berpartisipasi sedikitpun dalam partai tersebut. Kemudian Wayan Ranten bertanya-tanya kepada ibunya, mengapa ayahnya dibunuh, padahal tidak mengikuti partai tersebut, ibu Wayan Ranten hanya menjawab “Ibu tidak tahu”. Sampai Wayan Ranten menginjak dewasa, ia sudah mengetahui penyebab ayahnya di bunuh. Bapa Jenek dendam terhadap ayah Wayan Ranten karena Bapa Jenek tidak mendapatkan sehektar carik (sawah) dari kakek Wayan Ranten. Seiring berjalannya waktu, Wayan Ranten pun menikah, dia merasa bahwa hidupnya kurang dari kata cukup. Ia merasa bahwa ia lah yang seharusnya mendapatkan kekayaan itu. Anak Bapa Jenek pun juga sudah menikah, tetapi hidupnya lebih bahagia dan mapan dibandingkan Wayan Ranten. Dari sinilah Wayan Ranten merasa bahwa ia lah yang seharusnya mendapatkan warisan tanah tersebut.
Selanjutnya cerita dengan judul Alih Tiang Rikala Bulane Ngenter lan Bintange Makacakan di Langite. Pada saat awal membaca cerpen ini, tersbesit di pikiran saya bahwa cerpen ini menceritakan tentang peristiwa kemalingan, karena awal ceritanya seolah-olah menceritakan betapa takutknya seorang pencuri yang hendak ditangkap dan dikejar masa. Bisa
dilihat dari kutipan dalam cerpen tersebut yaitu “Maling… maling… maling.” “Anake ane nglanting di temboke totonan ngenggalang makecos lantas malaib.” Namun setelah saya membaca hingga akhir cerita ternyata cerpen ini berbeda dengan cerpen sebelumnya. Pada cerpen ini diceritakan sepasang anak muda yang sedang menjalin kisah asmara yang berawal semenjak duduk di bangku SMA. Diceritakan kembali, wanita yang telah dicintainya dari SMA, akan dinikahkan dengan laki-laki lain yang ternyata laki-laki itu merupakan saudara wanita ini, tetapi wanita yang diberi nama “Luh” ini tidak mau dinikahkan dengan saudara laki- lakinya karena ia masih sangat mencintai pasangannya. Mereka berjanji akan bertemu ketika dini hari dimana bulan bersinar terang, dan bulan bertaburan di langit. Namun pada saat waktunya tiba, tidak nampak bulan yang sedang bersinar ataupun bintang yang bertaburan di langit. Betapa naasnya nasib laki-laki ini, sang kekasih tidak kunjung datang dan kemudian laki-laki ini menaiki tembok rumah sang kekasih berharap sang kekasih datang menghampirinya sebelum wanita yang dicintainya menjadi milik lelaki lain. Yang membuat cerita ini menjadi menarik yaitu terdapat makna yang tersirat didalamnya yang berisikan kesetiaan seorang laki-laki yang tidak ingin kehilangan sang kekasih yang sangat dicintainya.
Selain cerita pendek diatas, terdapat satu cerita pendek yang membuat saya tertarik untuk membaca dan mengulasnya yaitu Ujan ane Malakar Aji Yeh Paningalan. Cerpen dengan judul Ujan ane Malakar Aji Yeh Paningalan ini menceritakan sosok seorang cucu yang tidak tahu keberadaan orang tuanya, ia diasuh oleh neneknya mulai dari ia masih bayi hingga ia beranjak dewasa. Sejak ia masih balita, neneknya lah yang memberi makan, mencarikan ia makanan agar perutnya tidak kosong, membelikan ia baju, membuatkan ia mainan, memberikan ia petuah hidup, dan bercerita sebelum ia tidur. Rasa sayang neneknya terhadap dirinya melebihi dengan rasa sayang matahari terhadap bumi, dan melebihi rasa sayang ombak terhadap pesisir.
Saat ia menanyakan keberadaan orang tuanya kepada sang nenek, tetapi sang nenek tidak menjawab, dan hanya air matanya saja yang mengalir seolah-olah air mata itulah yang menjawab pertanyaan cucunya. Pada suatu ketika, si cucu ini bertanya kepada sang nenek “Dong, apa lakar yeh ujane ento?” kemudian sang nenek menjawab “Yeh ujane ento malkar aji yeh paningalan.” Lalu sang cucu menjawab “Yeh paningalan anake ane ngeling, Dong?” “Ae, Cu, anake ane ngeling ento ngranaang ada ujan. Yen liu anake asne ngeling sinah ujane masih lakar bales. Sakewala yen anake ngeling tuah abedik di gumine dini, ujane masih tuune ngribis. Keto masih yen sing ada anak ngeling, sinah gumine lakar panes tur aine ngenter langite.” Maka dari itu, sang nenek berpesan kepada cucunya bahwa ia tidak boleh setiap hari menangis, karena jika ia terus-terusan menangis maka akan terjadi banjir besar yang membuat semua orang menjadi kesusahan.
Semenjak neneknya berpesan seperti itu kepadanya, ia berjanji tidak akan menangis, karena kasihan terhadap orang lain. Kalau ia sering menangis bahwa akan turun hujan, dan hujan tersebut bisa membuat banjir besar dan membuat orang yang terkena banjir tersebut menjadi susah, maka akan besar kesalahannya. Menurut saya yang membuat cerita ini menjadi menarik yaitu dapat dilihat dari segi cerita yang berisikan sebuah pesan seorang nenek terhadap cucunya yang sudah diasuh dari sejak kecil hingga dewasa yang tidak boleh menangis, karena jika ia menangis baginya akan turun hujan yang mengakibatkan terjadinya banjir yang dapat menyebabkan orang lain menjadi kesusahan. Selain itu, yang dapat saya tangkap dari judul cerita pendek Ujan ane Malakar Aji Yeh Paningalan ini yaitu sebuah persepsi atau pandangan seorang nenek dan cucunya yang menganggap bahwa air hujan itu berasal dari air mata dari tangisan seseorang.
Dalam setiap cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite, terdapat satu cerpen yang kurang menarik yaitu cerpen yang berjudul Api Ane Ngabar-abar di Umahne Wayan Dana. Cerpen ini menceritakan tentang tokoh yang bernama Wayan Dana yang dikejar masyarakat desa adat karena ia berhasil merebut tanah milik desa Adat yang kemudian diubah menjadi miliknya pribadi. Made Sudi datang menghampiri Wayan Dana dan istrinya, ia memberitahu Wayan Dana dan istrinya untuk segera melarikan diri dari rumahnya, tetapi Wayan Dana kukuh dengan egonya, ia tetap ingin diam dirumah dan menyelamatkan sertifikat rumahnya. Masyarakat desa Adat pun datang berbondong-bondong kerumah Wayan Dana, tetapi pada saat itu Wayan Dana bersembunyi adi atas genteng rumahnya, merasa tidak terima dengan hal tersebut kemudian rumah Wayan Dana dilempari batu, dan seluruh ruangan yang ada di rumahnya hangus dibakar oleh warga desa.
Cerpen dengan judul tersebut diatas dikatakan kurang menarik karena pembaca akan merasa kesusahan dalam memahami maksud dari cerita tersebut dan tidak jelasnya cikal bakal konflik atau permasalahan yang dituliskan pengarang dalam cerita ini. Pengarang juga kurang dalam mengembangkan konfliknya. Pada awal pengenalan cerita, pengarang langsung menjelaskan konflik tanpa adanya pengenalan tokoh terlebih dahulu sehingga membuat pembaca menjadi bingung, bagaimana alur ceritanya. Dalam cerpen ini pengarang juga langsung menjelaskan permasalahan yang membuat Wayan Dana dikepung warga. Penggunaan kata-kata bahasa Bali dalam cerpen ini bisa dikatakan masih sangat kurang dari segi penyampaian makna dari setiap katanya.
Buku kumpulan cerpen Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite yang didalamnya terdapat 16 judul cerpen berbahasa Bali yang hampir seluruh cerpen mengandung nilai Kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang dimaksudkan disini yaitu nilai yang terdiri dari kebenaran, kasih sayang, dan tanpa kekerasan. Tetapi dalam cerpen yang di karang oleh I Putu Supartika ini, terdapat satu cerpen yang berisikan tentang kekerasan yang dilakukan kepada sesama manusia yaitu cerpen dengan judul Munyi Sangihan di Beten Bulane.
Dalam setiap cerpen, tentu saja terdapat tokoh dan penokohan yang mendukung jalannya cerita. Dalam buku ini pengarang memggunakan tokoh manusia dan binatang yaitu seekor Monyet. Penggambaran setiap tokohnya memiliki watak yang berbeda-beda. Pengarang mengemas tokoh dan penokohan dalam buku kumpulan cerpen ini sudah sangat seimbang. Maksud seimbang disini yaitu ada tokoh yang menggambarkan sepasang anak muda yang sedang menjalin asmara, tokoh Nenek dengan Cucunya, dan tokoh suami, istri beserta anaknya. Pengarang sudah berhasil menggambarkan tokoh dengan penokohan dengan baik dalam setiap cerpennya.
Sesuatu yang menarik dalam buku kumpulan cerpen ini adalah adanya nilai kemanusiaan yang dilakukan setiap tokohnya. Buku ini sudah berhasil membuat para pembacanya termasuk saya sendiri untuk ikut masuk ke alam imajinasi seorang pengarang sehingga dapat benar-benar merasakan suasana yang terjadi dalam setiap ceritanya. Dalam setiap cerpen yang terdapat dalam buku ini terdapat makna yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung sehingga pembaca dapat menyimpulkan apa makna yang harus diambil dalam setiap cerita. Pengarang sudah berhasil membuat tokoh penokohan, alur, latar dan konflik dalam setiap cerpen menjadi menarik sehingga tidak menyebabkan rasa bosan dan menumbuhkan rasa penasaran untuk membaca setiap cerpennya.[T]
- Ni Made Dea Krisna Dewi, mahasiswa Prodi Sastra BaliFakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana