Salah satu senyawa kimia dengan struktur sangat sederhana adalah oksigen, O2. Jauh lebih sederhana ketimbang NaCl misalnya, natrium klorida atau garam dapur. Jika dicocok-cocokkan dengan angka, tentu saja O paling mirip dengan angka 0 atau nol. Sederhana namun vital dan fatal.
Tanpa oksigen, semua makhluk hidup akan musnah atau nol. Mungkin hanya virus yang takkan musnah karena virus diyakini bukanlah makhluk hidup. Oksigenlah yang diperlukan untuk memastikan zat gula dalam tubuh kita bisa diubah menjadi energi. Metabolisme dalam tubuh memerlukan energi, begitu pula energi diperlukan makhluk hidup untuk beraktivitas, terutama hewan dan manusia.
Energilah yang juga digunakan umat manusia untuk berperang dan saling memusnahkan. Sebuah antitesis yang sedemikian vulgar dari maksud awal tersedianya oksigen. Atas niat manusia yang suka berperang itu, hari ini virus corona meladeni kita berperang secara kontekstual, memperebutkan oksigen.
Jadi, tokoh kita hari-hari ini adalah oksigen.
Kesederhanaan oksigen, tergambar dari sifat fisiknya yang tak berwarna, tak berbau dan tak berasa. Alam menyediakannya gratis untuk siapa saja di bumi ini. Yang mengagumkan adalah satu fakta, pepohonan telah ikut menjaga kecukupan oksigen di alam ini. Dalam satu proses alami yang disebut fotosintesis, tumbuhan menyerap gas karbondioksida (CO2), gas produk manusia yang beracun, bersama air kemudian diubah menjadi glukosa dan oksigen dengan bantuan sinar matahari.
Jika diperhatikan dengan teliti, oksigen, air, sinar matahari yang kesemuanya benda mati ini adalah penentu kehidupan makhluk hidup. Hanya tetumbuhanlah yang telah bersekutu dalam untaian proses menjaga kehidupan ini dan asal tahu saja, tetumbuhanlah yang paling sedikit memakai energi.
Mereka tak bergerak jauh, tak berpikir, apalagi marah atau membenci. Catatan sangat mendasar bagi kita semua dari fenomena ini adalah, hanya dari yang tak punya hasrat dan ambisilah yang bakal dapat menjaga kehidupan, seperti tetumbuhan.
Kenapa hari ini kita ribut-ribut soal oksigen? Karena tubuh manusia yang kian jauh darinya. Tubuh kita yang tak lagi bisa menghirupnya dari persediaan alam apa adanya. Tubuh meminta kemasan yang lebih padat, sebuah kemewahan yang menyakitkan. Tatkala peparu manusia mengalami kerusakan akibat infeksi atau radang, oksigen alam menjadi tak cukup memenuhi kebutuhan tubuhnya.
Ia butuh oksigen lebih tinggi konsentrasinya yang dikumpulkan dalam sebuah tabung atau sirkuit penghantar. Sumber alami telah menuntut kecerdasan manusia untuk menjadikannya lebih bernilai. Sumber oksigen alam yang selalu ada dan takkan pernah habis, sudah seharusnya memberi peluang besar untuk dimanfaatkan secara mudah. Bukan sulit seperti yang terjadi di saat pandemi ini.
Tak keliru jika Bill Gates melemparkan satu kritik pedas kepada negara-negara di dunia, “Kita tak pernah siap menghadapi wabah.” Boleh saja orang-orang berang dan menuduh sang milioner berada di belakang konspirasi ini, namun tetap saja kita semua harus menelan pahit kenyataan wabah global ini.
Dengan stok alam yang melimpah, pemerintah sudah seharusnya punya skema untuk mengamankan kebutuhan oksigen di saat bencana seperti ini. Bukankah oksigen adalah kepentingan hajat semua orang? Bukan lagi sekadar hajat orang banyak, namun hajat hidup semua orang. Meski itu baru diterapkan saat dibutuhkan, seperti di saat wabah seperti ini, minimal format teknologi dan infrastruktur sudah selalu siap sedia. Jika tidak, sudah dipastikan akan terjadi situasi seperti saat ini.
Kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 400 % akibat ledakan pasien covid-19 telah membuat kita semua kalang kabut. Apalagi dikelola oleh produsen dengan kecenderungan sistem monopoli. Bahkan dengan sudah mengurangi secara ekstrim jatah gas untuk industri, pasokan oksigen oksigen untuk rumah sakit belum betul-betul aman. Jelas ini satu bukti kebenaran ucapan Gates.
Bali misalnya, dengan sedemikian banyak rumah sakit yang ada, saat ini pasokan gas medis sepenuhnya masih datang dari pulau Jawa. Seharusnya ini momen penting bagi pemangku kepentingan untuk menyiapkan sebuah skema yang selalu dapat mengamankan situasi Bali, apalagi sebagai pulau tujuan wisata utama dunia. Sigap mengadopsi teknologi mutakhir sudah menjadi syarat sebuah komunitas modern.
Seperti Singapura misalnya, mereka maju dan modern bukanlah berkat sumber daya alamnya. Mereka disegani karena kecerdikannya memanfaatkan sains dan teknologi, meniru apa yang telah dilakukan Jepang. Bahkan saat ini negara-negara Timur Tengah yang risau cadangan minyaknya suatu saat akan pasti habis pun telah banyak belajar mengembangkan teknologi. Maka, satu hal penting yang selalu diajarkan oleh sejarah adalah umat manusia harus dapat memetik buah manis dari sebuah penderitaan.
Seperti tubuh kita yang kemudian kebal seusai didera infeksi covid-19 sebagai seorang penyintas. Seseorang yang dapat menyelamatkan sesamanya dengan mendonorkan plasma kovalesennya. [T]
___
BacaKOLOMlainnya dariDOKTER ARYA