Setelah melakukan perjalanan begitu panjangnya dari timur Jawa menuju timur Bali, Brahmana Keling akhirnya tiba di Besakih. Maksud baik untuk ikut membantu jalannya Upacara Eka Dasa Ludra, Sang Brahmana bukannya diberikan tempat layak, malah disangka orang gila lantaran penampilannya yang kotor. Ia bahkan dianggap lancang karena telah berani mengaku diri sebagai saudara Raja Dalem Waturenggong, sang mpunya yadnya. Brahmana Keling pun diusir dari upacara.
Sepeninggal Brahmana, yadnya yang diharapkan mendatangkan kebahagian, justru menjadi bencana tak terkira. Wabah yang datang dari mana entah, membuat alam jadi kering kerontang. Segenap warga Gelgel jatuh sakit. Sang Dalem Waturenggong cemas kebingungan. Adakah yang salah dari jalannya upacara yang dilakukan?
Demikianlah, Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar menampilkan sendratari bertajuk ‘Brahmana Keling’ dalam serangkaian acara Pesta Kesenian Bali, Senin (28/6). Tak tanggung-tanggung, sebanyak 48 mahasiswa dilibatkan menjadi sekaa tabuh, penari dan dalang dalam pertunjukan. Meski menerapkan sistem protokol kesehatan Covid-19 yang ketat, pertunjukan tetap mampu menawarkan daya pikatnya di atas panggung Ksirarnawa Art Centre. Hampir selama 2 jam secara laring dan daring, penonton diajak hanyut menyelami kisah perjalanan Brahmana Keling.
Kisah Brahmana Keling sendiri bukanlah cerita yang asing bagi masyarakat Bali. Brahmana Keling dikenal sebagai cikal bakal hadirnya topeng Sidakarya yang menjadi tari pemuput upacara di Bali. Brahmana Keling adalah putra dari Dang Hyang Kayu Manis dari desa Keling Jawa Timur. Sebagai seorang pendeta, Brahmana Keling dikenal menguasai ‘Ilmu Kelepasan Jiwa’. Bukannya merasa tinggi dengan pengetahuan yang dimiliki, sang Brahmana menjadi tokoh yang bijak dan sederhana. Sifat ini berbanding terbalik dengan Dalem Waturenggong sang Raja Gelgel yang menggelar upacara dengan jumawa.
Menurut Ida Bagus Gede Candrawan, yang menjabat sebagai Wakil Rektor III di kampus berbasis agama hindu ini, pertunjukan bermaksud untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang arti penting upacara yadnya. “Ada sebuah makna yang bisa dipetik dari cerita ini. Upacara harus dilakukan secara tulus ikhlas. Tapa, Yasa Kerthi benar-benar harus ditonjolkan. Tidak boleh marah, menghujat, menghina kepada siapapun, baik sesama manusia maupun dengan alam yang nanti akan mengurangi makna dari upacara itu,” ujarnya.
Kisah Brahmana Keling menjadi cerminan kuat untuk merefleksikan bagaimana semestinya manusia mengelola kebajikan dalam diri mereka. Yadnya tak hanya soal gemerlap upacara. Lebih penting dari itu, yadnya mesti didasarkan pada kesucian dan sikap rendah hati. Manusia mungkin bisa takabur membedakan mana yadnya yang tulus, mana yadnya yang pamrih. Namun tak demikian dengan semesta. Meski tak mampu bicara, pohonan dan alam adalah yang paling tanggap mencecap kejujuran.
Melihat tingkah Raja Waturenggong dan masyarakatnya, alam pun kecewa. Maka merebaklah wabah di mana-mana. Pada situasi ini, cerita tampak terhubung dengan konteks Purna Jiwa Prananing Wana Kerthi, sebagai tema yang diusung PKB tahun ini atas respon terhadap kondisi pandemi. Wabah covid-19 tak boleh membuat masyarakat hanyut terpuruk dalam keadaan. Dalam pertunjukan, kehadiran wabah membuka ruang Raja Waturenggong untuk menyepi dari kerumunan. Ia bersemedi, mengevaluasi kembali dirinya untuk menjadi raja yang lebih baik.
Sejalan dengan kenyataan masyarakat hari ini, pandemi yang merebak pun tak boleh menjadi halangan. Kehadiran pandemi boleh jadi juga dapat menjadi ruang baca masyarakat untuk membangun kembali nilai diri dalam hubungannya dengan alam, lingkungan dan kehidupan. Lebih jauh, kisah Brahmana Keling, dapat menginspirasi masyarakat Bali untuk terus menjalankan ajaran agama dengan tulus ikhlas meski dalam situasi apapun. “Pertunjukan ini menjadi sebuah wahana bagi mahasiswa kami untuk turut serta dalam upaya pengabdian kepada masyarakat, sehingga mereka bisa memberikan kontribusi kepada pembangunan mental masyarakat luas. Selain itu, garapan ini juga menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 tidak menghentikan para seniman di Bali untuk selalu berkreativitas,” ungkap Ida Bagus Gede Candrawan lebih lanjut.
Brahmana Keling, meski dihujat dan dicemooh oleh raja dan masyarakat kerajaan, tak serta merta menjadi kalap, benci dan marah. Raja dan segenap masyarakat kerajaan yang menyadari kesalahannya, kemudian memohon pengampunan Brahmana Keling. Pada akhir cerita, Brahmana Keling menggunakan ilmu pengetahuannya untuk mentralisir wabah yang merajalela. Semua berubah jadi sedia kala. Upacara Eka Dasa Rudra pun dapat dilaksanakan dengan penuh sukacita. Atas upaya yang dilakukan, mulai saat itu, Brahmana Keling Mabiseka Dalem Sida Karya. Sampai hari ini, kemuliaan dan rasa bakti tulus ikhlas Brahmana Keling tertanam dalam setiap pelaksaan upacara melalui tari Topeng Sidakarya. Satu tari ritual yang menjadi simbol pemuliaan manusia kepada Tuhan, alam dan kehidupan. [T]
Denpasar, 2021