Salah satu faktor yang membuat pedagang berhenti berjualan adalah modal yang habis entah karena banyak yang ngutang atau karena jualannya tak laku dan berakhir di kandang babi atau tong sampah. Penulis pun mengalami hal yang sama seperti pedagang jika ia sedang buntu, ataupun tak punya ide. Ia tak akan bisa menulis lagi dan lebih baik mengencangkan sprei, ambil bantal lalu tidur.
Tapi itu tak berlaku bagi sosok penulis asal Klungkung peraih Hadiah Sastera Rancage tahun 2012 lalu lewat bukunya Metek Bintang, yakni I Komang Adnyana. Saat dirinya mau dibunuh oleh writer block, suatu kondisi ketika ia merasa tak bisa menulis apa pun, ia tak mau tinggal diam dan membunuh balik. Caranya dengan menerjemahkan sastra dunia ke dalam bahasa Bali.
Bak menyelam sambil membawa busur panah; mandi bisa, minum air jadi, memanah ikan pun oke. Dalam hal ini, selain membunuh writer block juga memperkaya khazah sastra Bali modern (SBM).
Walaupun ia selalu merendah dan mengatakan masih pemula dalam hal penerjemahan sastra berbahasa Inggris ke dalam bahasa Bali, namun tak banyak yang mau atau bisa melakukan hal ini di Bali. Bisa dihitung dengan jari tangan maupun jari kaki.
Yang saya tahu, Ketut Suwidja pernah menerjemahkan puisi Boris Pasternak maupun cerpen Edgar Allan Poe. Ataupun penerjemahan Hamlet untuk kebutuhan pementasan gambuh oleh Sanggar Putih.
Sisanya, saya belum tahu dan mungkin belum menemukannya, atau mungkin ada yang melakukannya dan memilih untuk menyembunyikannya dan pada suatu hari nanti, ketika sudah waktunya barulah ia akan memunculkannya yang kemudian membuat semua orang tercengang.
Jikapun memang ada selain Ketut Suwidja yang melakukan itu, namun nama Komang Adnyana akan tetap mendapat tempat. Karena bagi saya sendiri, tak banyak yang akan ataupun mau melakukannya dalam urusan sastra. Yang menguasai bahasa Inggris sekaligus bahasa Bali tentu banyak, tapi mereka memiliki frekuensi yang berbeda.
Dengan melakukan penerjemahan, Komang juga ingin menjajal penguasaan bahasa Balinya. Pasalnya ia mengaku langsung berpikir dalam bahasa Bali saat menerjemahkan dan hanya sesekali berpikir dalam bahasa Indonesia jika dirasa sulit mencari padanan katanya dalam bahasa Bali.
Ia mengakui dalam menerjemahkan, ada beberapa kendala yang dialaminya. Pertama terkait penempatan ‘derajat tokoh’. Misalkan saja, dalam bahasa Inggris untuk memanggil ayah atau ibu bisa menggunakan you dan jarang menyebut dad atau mom. Dan jika you untuk memanggil ayah maupun ibu diterjemahkan mentah-mentah ke bahasa Bali, mungkin saja akan menjadi cai, nyai, atau ragane, tentu tidak akan sesuai dengan adab ke-Bali-an.
Juga untuk menerjemahkan kata mereka atau dia perempuan maupun dia laki-laki. Dalam mensiasatinya, ia mengaku selalu menyesuaikan dengan konteks cerita. Seperti ajaka dadua, ajaka tatelu, dan seterusnya untuk mengganti kata mereka, anake luh totonan untuk padanan she, anake muani totonan untuk he.
Selain itu, ia juga memiliki masalah dengan bahasa sumber karya yang diterjemahkan, karena yang diterjemahkannya hanya dari bahasa Inggris saja, sementara begitu banyak bahasa yang ada di dunia ini. Misalkan saja, karya Haruki Murakami yang telah mengalami penerjemahan ke dalam bahasa Inggris dari Bahasa Jepang. Baginya, tanpa mengesampingkan kemampuan penerjemah dari bahasa Jepang ke Inggris, akan lebih baik jika bisa menerjemahkan langsung dari bahasa aslinya. Karena gaya, rasa, dan suasana cerpen akan lebih nyantol.
Dan yang paling penting selain hal yang penting itu, di Bali tak ada penilai, atau kritikus, atau setidaknya pembaca kritis yang menilai terjemahan yang ia lakukan. Sehingga ia tak tahu apa kekurangan maupun kelebihan terjemahannya.
Dalam menerjemahkan, Komang pun tak pernah tergesa-gesa. Baginya kegiatan itu adalah pengisi waktu dan baginya juga tak ada urgensi yang sangat-sangat urgen dalam penerjemahan ini. Tetapi, memang harus ada yang melakukannya dan SBM saat ini membutuhkan Komang Adnyana untuk melakukan itu.
Sampai saat ini, ia telah memiliki belasan karya terjemahan mulai dari karya Ernest Hemingway, Haruki Murakami hingga Etgar Keret. Selain itu, ia juga tengah mencoba menerjemahkan sebuah novel. Mari doakan agar berhasil, sehingga Komang mencetak sejarah sebagai penerjemaha novel berbahasa Inggris ke bahasa Bali yang pertama di Bali. [T]
- Catatan:Ini adalah rangkuman singkat dari obrolan dalam acara Usaha Membunuh Malam Minggu #3 yang digelar Suara Saking Bali pada Sabtu, 5 Juni 2021 malam bersama penulis dan penerjemah I Komang Adnyana.
BACA JUGA: