Perempuan juga berarti wanita. Wanita juga berarti ibu. Ibu bisa jadi akronim dari Insting Budi Utama. Yang berarti seorang perempuan memiliki insting yang sangat utama.
Dengan berkembangnya sosial media yang semakin marak saat ini, maka seiring itu pula banyak perempuan yang menggunakan sosial media untuk menonjolkan dan mencitrakan diri. Itu sah-sah saja. Namun, yang agaknya adalah perempuan menonjolkan dirinya dalam berpakaian, seakan-akan pakaian hal paling penting dalam hidup ini. Misalnya, banyak perempuan yang melihatkan dirinya dengan menggunakan pakaian serba mini dengan gaya kebarat-baratan.
Perempuan terlihat anggun atau tidak bukan hanya dilihat dari penampilan, tapi dari tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, perempuan dengan pakaian sopan pun bisa menarik perhatian. Kewajiaban menjadi seorang perempuan tidak hanya dalam hal penampilan. Ada hal lebih penting, misalnya perempuan mampu menjaga kesuciannya sebagai seorang perempuan.
Perempuan dalam Sastra
Mari kita lihat salah satu buku yang mungkin menjadi tolak ukur dalam keseharian seorang perempuan. Buku tersebut ialah kekawin Ramayana jilid II pada kakawin LAKṢMĪWATĪ. Yang berbunyi:
Kěmbang jěnūttama wěḍihana malit marū,
Rangkang hěmās jamanika biddhanāga lén,
Molěs tilām wara taruni warāpsarī,
lakṣmīwatī mrědu paḍa paṇḍité siwo.
Terjemahan:
Bunga, pupur, kain sutra halus dan harum,
Balai emas, tirai serta sangkutanya berbentuk naga,
Kasur yang empuk serta para wanita muda remaja bagaikan bidadari yang utama,
Semuanya cantik-cantik, lemah lembut semuanya ahli dalam bercumbu.
(Tim Penyusun, 2001:376)
Melihat kutipan di atas diungkapkan bahwa wanita itu semuanya cantik dan mampu untuk berhias diri sesuai dengan kemampuanya. Di sana juga diungkapkan bahwa wanita itu bagaikan seorang bidadari yang mempunyai rupa yang cantik serta bagaikan seorang wanita yang utama. Akan tetapi, pikiran saya merasa terganggu dengan kata bercumbu. Bercumbu apakah yang dimaksud?
Untuk mamastikan hal itu saya mencoba untuk mencari di KBBI secara online dalam KBBI dungkapkan bahwa bercumbu merupakan bersenda gurau, berkelakar. Namun, saya tetap masih ambigu dengan maksud tersebut. Ataukah memang ia seperti itu, saya tidak dapat memastikanya secara pasti.
Jlantik, 1982:11, menjelaskan betapa beratnya menjadi seorang perempuan yang harus melakonin kehidupan sehari-hari dan berbakti kepada seorang laki-laki yang konon sebagai guru. Melihat hal seperti itu, dalam bukunya dijelaskan dalam bentuk sebuah Pupuh Sinom: XVI:4. Yang berbunyi:
Aketo masih sahimbang, beratan anake istri, duk bajang patut tan hima, muruk mangayahin laki, cara bakti ring sang aji, baktine ring kakung pungkur, aketo reko patutnya, reh lakine kaadanin, guru kakung, sangkan twara nyandang ampah.
[…Jika dilihat dari keseimbangannya, bahwa brata seorang perempuan, ketika masih muda tidak boleh melakukan hal yang hina, belajarlah untuk melayani seoarang laki-laki, sama dengan menghargai Sang Aji berbaktilah sampai akhir hayat, begitulah yang sebenarnya, yang seperti itu, laki-laki namanya, Guru Kakung, itulah sebabnya tidak boleh ragu…]
Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa sejatinya menjadi seorang perepuan itu sangatlah suasah karena harus melakukan berata. Selain melakukan berata, harus berbakti kepada sorang laki-laki karena laki-laki adalah seorang guru. Namun, guru yang seperti mana yang dimaksud belum dapat dipastikan. Itulah sebabnya ketika menjadi seorang perempuan harus berbakti serta mampu untuk melakukan berata untuk menjaga kesuciannya. Berata yang dimaksud adalah mampu untuk mengendalikan hawa nafsu dari sebuah rayuan yang berbau manis dan penuh nafsu.
Mode Pakaian yang Silih Berganti.
Dalam keseharian kita tidak terlepas dari adanya sebuah gaya pakian. Yang mana pakian dapat mempercantik dan dapat menarik perhatian orang-orang. Selain itu, dapat memikat suatu pandang lawan jenis ataupun sejenis. Dengan perkembangan zaman yang semakin marak yang dapat mengubah semua tatanan. Tidak hanya mengubah tatanan kehidupan, salah satu tatanan yang diubah adalah mode pakaian.
Dari foto-foto masa lalu dapat kita ketahui bahwa pada zaman dulu di 1970-an hanya menggunakan kain sebagai penutup badan. Di era globalisasi saat ini pakaian adat yang semestinya dipakai dengan benar dan patut untuk dikembangkan. Karena sejatinya pakaian adat Bali pada khususnya sudah diatur dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Mode pakaian adat pun mesti disesuaikan pada zaman sekarang. Pakaian yang digunakan dalam acara kundangan atau menghadiri resepsi tentu saja berbeda dengan pakaian yang dipergunakan ke Pura atau tempat suci. Jadi pakaian memang harus disesuaikan dengan ruang, waktu dan keadaaan, bukan semata-mata sesuai dengan keinginan [T]
Bibliography:
- Jlantik, Ida Ketut.1982.Geguritan Sucita II.Denpasar.Cv.Kayu Agung.
- https://kbbi.web.id/cumbu.html
- Tim Penyusun.2001.Kekawin Ramāyana Jilid II.Denpasar.Dapertemen Agama RI (Kanwil Dapertemen Agama Provinsi Bali)