Sedini pagi di Ubud, ketika kabut masih lembut bergerak di sekitar pokok pohon, seorang lelaki berjalan cepat dari arah Nyuh Kuning mengitari hutan kera yang masih sepi dari turis. Hutan kera itu kini dikenal sebagai Monkey Forest, salah satu obyek terkenal di wilayah Ubud.
Lelaki itu posturnya besar, tinggi. Lebih tinggi dari rata-rata orang Indonesia. Dia berjalan cepat, dengan langkah lebar, sepanjang jalan tanah menuju Padang Tegal. Melewati beberapa artshop berdinding gedek bambu, di tengah hamparan sawah.
Di sepanjang jalan, dengan riang dia menyapa para petani yang sedang menyabit rumput dan membersihkan pematang dari gulma.
Tiba-tiba dia berteriak, sambil berlari dan melambaikan tangan, ketika melihat seorang pemuda bersarung, berkaos oblong swan, “Jatiii…!”
Jati yang sedang membersihkan jalan di depan pekarangan rumahnya, sejenak tertegun. Sepagi itu, sambil mengusap keringat dengan handful kecil yang melilit lehernya, tanpa basa-basi si lelaki tinggi-besar itu meminta Jati untuk memperlihatkan lukisan-lukisan yang sedang dikerjakan.
Pak Jati pun mengajak lelaki itu ke dalam rumah. Di dinding telah berjajar lukisan-lukisan di atas kanvas beragam ukuran, dengan warna cerah. Ada satu dua, masih dalam skets. Pak Jati mengambil pensil menggambar latar flora dan fauna. Menukilkan kisah tantri.
Si tamu berdecak, dengan suara baritonnya melontarkan pujian. Dan bilang, akan membelinya bila lukisan-lukisan kelar nanti. Wajah Jati cerah.
Setelah itu, si tamu menanyakan kabar para pelukis di sekitar Padang Tegal, sambil menyeruput kopi dan menyantap pisang goreng. Dia bercerita tentang perlunya sebuah pameran seni lukis Bali di negeri manca, dan lain-lain.
Begitu banyak ide di kepalanya. Tapi tak sekadar melayang-layang dan memberi harapan hampa. Dia memulainya dengan menjalin persahabatan dengan pelukis tradisi di Bali, menghargai pencapaian gagasan estetik dengan mengorganisir gelaran pameran, menerbitkan buku seni untuk medan apresiasi seni bagi masyarakat, dan mengoleksi karya para seniman.
Sesungguhnya, sosok langka dalam budaya persona kita ini telah lebur dalam dunia seni itu sendiri. Dia bukan sekadar Menteri Pariwisata. Dia bukan tamu.
Dia adalah Joop Ave, yang wafat 5 Februari, tahun 2014.
***
Cerita itu ditulis Helmi Haska, seorang sastrawan dan wartawan yang kini tinggal di Auastralia. Suatu kali, Helmi Haska mengantar temannya ke pelukis Jati untuk membicarakan soal pameran seni rupa. Pada saat itulah Jati bercerita tentang Joop Ave, Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Menparpostel) pada zaman Orde Baru, yang sudah dianggap sebagai sahabat.
Jati, nama lengkapnya Dewa Nyoman Jati, memang pelukis yang lahir di Ubud, 1940, yang hingga kini masih disebut-sebut sebagai pelukis yang banyak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, yang menampilkan kehidupan nelayan dan petani.
Joop Ave, berdasar cerita yang didengar di lingkungan pelukis di Ubud dan sekitarnya, termasuk menteri yang suka jalan-jalan di desa-desa wilayah Ubud dan sekitarnya, dan kerap menemui sejumlah pelukis langsung ke rumahnya, termasuk Jati.
Meski tak berkantor secara resmi di Bali, Joop Ave punya hubungan yang sangat dekat dengan Bali, bukan karena ia Menteri Pariwisata dan Bali adalah destinasi andalan pariwisata Indonesia saat itu, melainkan juga karena ia mencintai Bali.
Saat meninggal, Joop Ave sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, namun karena surat wasiat dan kecintaannya terhadap Bali memilih untuk dikremasi di Bali. Joop Ave meninggal di Singapura, dan dari situ jenazahnya diberangkatkan ke Bali dikremasi pada Sabtu 8 Februari 2014 di Mumbul, Nusa Dua, Kabupaten Badung.
Guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra sebagaimana dikutip Antara mengatakan, setidaknya terdapat dua gagasan besar Joop Ave yang pantas dikenang di Bali. Pertama adalah pembangunan kompleks Garuda Wisnu Kecana (GWK) di Bukit Balangan Jimbaran. Kedua, pembangunan Puja Mandala.
Puja Mandala adalah kompleks lima rumah ibadah yang berjejer tanpa sekat, dalam satu kompleks di Nusa Dua, Kabupaten Badung. Ada mesjid, gereja Katolik, wihara Budha, gereja Protestan, dan pura Hindu.
Puja Mandala dihadirkan sebagai lambang toleransi umat beragama di Pulau Dewata, sebuah kondisi penting dalam menjaga pembangunan kepariwisataan. Gagasan Joop Ave mendirikan Puja Mandala muncul ketika kawasan Nusa Dua berkembang sebagai kawasan wisata dan ia mengamati bahwa para wisatawan dari berbagai agama yang berlibur atau berkonferensi di kawasan Nusa Dua membutuhkan tempat peribadatan. [T]
Editor: Adnyana Ole