“Pak, Buk… Sepertinya aku tidak mau menikah”
Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku. Suasana makan pagi yang biasanya hangat, tiba-tiba menjadi beku. Semua terdiam. Ucapan yang sederhana itu rasanya menusuk ulu hati mereka dalam sekali.
Saking bekunya suasana, tidak ada satu pun dari kami yang bicara lagi. Tidak ada jawaban, sahutan, omelan, apalagi kutukan yang terlontar dari mulut bapak dan ibuku. Semua hanya saling menatap dalam waktu yang panjang. Sepertinya ada tombol pause yang kepencet.
Aku cukup menyesali ucapan itu terlontar di waktu makan pagi. Aku merasa telah memilih waktu yang salah. Jika saja aku membuka percakapan itu di waktu makan malam, mungkin bapak dan ibu akan mau bertukar pikiran. Sebab, kami punya waktu luang sepanjang malam untuk bicara. Sebab, aku pun jadi punya waktu merenung hingga dini hari jika saja respons mereka tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan.
Setelah saling membeku dalam tatapan yang panjang, kami malah terburu-buru untuk pergi melanjutkan aktivitas kami. Ayah langsung lanjut berangkat kerja. Ibu langsung merapikan meja dan mencuci piring. Sementara aku, dengan berat hati harus berangkat pergi dari rumah untuk berkontemplasi.
***
“Memang apa salahnya sih dengan menikah?” tanya Nandia sambil menyodorkan kopi panas.
“Aku merasa menikah hanya tujuan hidup yang melahirkan masalah baru, Nan.” pungkasku sambil menyulut api geretan ke rokok kretekku.
“Lah? Menikah memang tujuan hidup orang sejak zaman purba, Lik! Kamu manusia itu takdirnya lahir, sekolah, dewasa, bekerja, menikah, punya anak, lalu menjadi jompo dan mati.”
“Lantas, tanpa melalui tahap menikah, toh kita tetap bisa menjadi jompo dan mati toh, Nan?”
“Betul, Lik. Tapi, jompo sendiri, mati sendiri. Mana enak, Nan?”
“Ya kamu berpikiran sempit kalau begitu. Memang dengan tidak menikah, orang tidak bisa hidup ditemani orang lain? Hayo?” aku menyanggah pandangan Nandia lalu menyeruput kopi pemberiannya yang kini sudah mulai suam-suam kuku.
“Konyol betul isi otakmu. Memang kamu pikir kita bisa kumpul kebo dengan aman di negeri ini? Ya tidak bisa lah! Mimpi kok pagi-pagi begini.” Nandia menghardikku sambil tersenyum sinis.
“Ah, kalau memang begitu ya sudah. Mati sendiri juga tidak menyedihkan. Ada panti jompo, Nan! Tinggal bayar perawat, hidup terawat dan tidak semerawut mikirin orang lain.”
“Duh, ngeyel betul anak ini. Memang kenapa sih anti sekali dengan pernikahan?”
“Aku merasa menikah itu hanya soal melegalkan seks, Nan! Banyak orang menikah hanya karena ingin bisa berhubungan seks secara legal, tanpa takut digerebek warga dan diarak telanjang ke kantor polisi.”
“Lantas apa salahnya, Malika? Kan bagus kalau begitu. Lebih baik menikah daripada pacaran kelamaan dan keburu macam-macam. Atau daripada tidak jelas pasangannya dan gonta-ganti akibat terjebak pergaulan bebas.”
“Ya itu dia salahnya, Nan. Itulah kalau isi otak hanya menganggap orang pacaran itu kalau sudah bersama pasti akan macam-macam. Orang berhubungan itu kan tak melulu karena ingin seks. Sama dengan menikah. Itu kan harusnya bukan soal seks semata. Kalau pandangan orang hanya sebatas pada itu, kita tidak beda dari binatang. Nanti menikah, kebutuhan seks harus selalu terpenuhi. Kurang seks sedikit, kurang puas sedikit, rumah tangga jadi tidak harmonis. Salah satu sedang tidak ingin, yang lainnya jadi ngambek, marah, atau lebih parahnya memaksa. Ketika seks tidak lagi memuaskan dalam pernikahan, akhirnya bercerai!”
Nandia geleng-geleng kepala mendengarkan ocehanku. “Nah, Lik. Itu artinya kan bukan salah pernikahannya. Tapi salah orangnya toh!”
Sebelum dia lanjut membantah, aku pun lanjut nyerocos.
“Ya pernikahan itu pada akhirnya melegalkan pemaksaan seks tersebut. Ketika suami sedang ngebet sekali misalnya, lalu si istri ternyata sedang letih. Akhirnya apa? Ada kejadian suami memaksa istrinya berhubungan badan. Hal itu kan sama saja dengan suami memperkosa istrinya. Namun, karena mereka sudah terikat pernikahan, maka pemerkosaan itu tidak dianggap serius di ranah hukum. Padahal, pemaksaan kehendak di mana-mana kan melanggar hak asasi manusia?”
“Oke, soal pemerkosaan dalam pernikahan, aku juga setuju bahwa itu nyata dan sering dianggap tidak serius”.
“Tunggu, aku belum selesai. Kemudian soal yang tadi kamu bilang bahwa lebih baik menikah daripada pacaran keburu macam-macam. Pandangan masyarakat yang seperti kamu ini yang akhirnya menjebak orang usia muda pada ikatan pernikahan dini. Padahal, mungkin secara mental pasangan ini belum siap menikah. Lantas, apa yang terjadi? Rumah tangga hancur sedini-dininya.”
“Hoi! Kenapa jadi kamu menyalahkan aku seperti ini sih, Lik. Sabar lah! Kita kan sedang berdiskusi. Kalau demikian, kan pernikahan itu soal siap dan tidak siap. Ketika kamu siap, kamu ya silakan menikah. Masa iya sih ada orang yang seumur hidupnya tidak siap? Ngapain saja dia sepanjang hidup? Kok tidak ada kemajuan?”
“Aduh, Nan. Aku rasa aku tidak siap menjadi istri. Sebab, dalam pernikahan, status istri itu harus terjajah. Ya terjajah suami, ya terjajah mertuanya, ya terjajah masyarakatnya.”
“Maksudmu bagaimana toh bawa-bawa penjajahan. Memangnya kita sedang berperang?”
“Kita sedang berperang, Nan! Berperang melawan ketidakadilan. Apalagi sebagai perempuan, kehidupan pernikahan itu tidak pernah adil untuk kita!”
Nandia menghela nafas panjang. Ia sepertinya mulai lelah meladeniku yang semakin berapi-api.
“Hampir semua agama mengajarkan seorang suami harus menafkahi keluarga, karena itu seorang istri harus melayani sepenuh hati. Bahkan, meskipun sang suami tidak becus mencari nafkah, istri harus tetap melayani suami ketika minta jatah. Hal ini tidak pernah bisa dibantah, Nan. Sebab, kejadian seperti ini banyak sekali bisa kamu temukan, bahkan semudah membalikkan halaman koran”
“Pandangan masyarakat menambah kelanggengan ini. Ketika istri nakal di luar, yang disalahkan adalah dirinya yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Ketika suami melakukan hal yang sama, istri kembali ditunjuk sebagai empunya kesalahan. Istri dianggap tak mampu memuaskan suami sehingga akhirnya membuat suami jadi jajan di luar. Dibilang lah istri tak bisa tidak menjaga penampilan dengan baik serta kurang melayani sehingga akhirnya suami mencari kesempurnaan pada sosok lain. Kamu sering dengar kan orang berujar “makanya, jadi istri jangan pakai daster terus di rumah!” Nah lho, suami yang kurang bersyukur, kenapa istri yang salah?”
“Iya juga sih, Lik”
“Nah kan? Nan, kamu harus sadar. Menjadi istri itu juga berarti harus siap dengan segala ketidakadilan yang dilanggengkan masyarakat. Misalnya nih! Suami boleh bergaul di luar dan jarang di rumah. Semua memandang hal itu tidak masalah karena suami mencari nafkah dan harus memperluas jaringan pertemanan. Sementara ketika istri melakukan hal yang sama, eh semua mata langsung memandangnya sebagai istri yang tidak memperhatikan suami dan hanya suka hura-hura di luar rumah. Istri yang ndak bener!”
“Kamu mungkin sudah tahu, Nan, bahwa kewajiban suami adalah mengutamakan istri dan anaknya. Lucunya, ketika hal itu dilakukan, kadang orang tua sang suami mulai menganggap anaknya ini tak lagi sayang orang tuanya. Istri lagi yang disalahkan karena dianggap telah mengambil seorang anak dari keluarganya sendiri. Istri lah yang dikira mempengaruhi suaminya agar tidak lagi mengasihi ayah dan ibunya sepenuh hati. Ketika kemudian suami mencoba berdebat dengan ibunya karena memang dirinya benar, istri masih juga kena getahnya. Ibu mertua akhirnya akan menjadi sinis karena merasa si istri ini mengajari suami untuk kurang ajar pada ibunya. Sulit kan menjadi seorang istri? Apa-apa salah sendiri.”
“Aku rasa kamu kebanyakan nonton sinetron, Lik. Lihat yang buruk-buruknya saja. Banyak loh pernikahan yang bisa berjalan baik. Tidak semua pernikahan berujung mengerikan seperti dongengmu barusan. Lagipula, orang kan bisa memilih pasangannya. Pilihlah pasangan yang baik, jangan sembarang orang dinikahi.”, Nandia menyahutiku pelan lalu menyeruput teh hangatnya. “Ayo kamu minum dulu juga. Daritadi nyerocos terus apa tidak haus?”
“Ah, siapa yang berani menjamin mendapatkan pasangan yang baik juga otomatis menjadikan pernikahan berjalan mulus? Kamu harus ingat yang barusan kubicarakan. Ada mertua, ada masalah keluarga lain yang kamu tambahkan ke kehidupanmu. Menikah kan di sini bukan soal kawin dengan pasanganmu saja, tetapi juga dengan keluarganya dan berjuta-juta masalah mereka. Kalau kamu ternyata dapat pasangan baik tapi keluarganya blangsak? Bisa apa kamu?”, aku kembali nyerocos sambil terus sibuk mengaduk kopi pahitku dalam cangkir.
“Ya itu namanya risiko, Lik. Kan kamu bisa memilih toh!”
“Nah, itu dia kesimpulannya, Nan. Kamu benar. Menikah itu bukan tujuan tapi soal memilih. Orang boleh memilih mau menikah atau tidak. Bukan lagi orang tua, pasangan, teman, masyarakat, atau negara yang mengharuskan. Bukan takdir lagi yang menjadikan menikah sebagai tujuan hidup.”