Seorang bocah lelaki sepuluh tahun, mengirimi saya pesan suara melalui WA beberapa hari yang lalu. Suaranya serak, terbata-bata, seakan ia tak mampu menyelesaikan kalimatnya, “Om dokter, ini Aya, anaknya suster Ari… Ibu sudah seminggu karantina, boleh gak sekarang Aya bertemu ibu? Aya rindu sekali…”, kata hati saya meyakini, ada air mata yang telah berlinang membasahi pipi bocah penyayang itu.
Saya tak kuasa menjawabnya dengan pesan suara, saya hanya dapat mengirim pesan tertulis, “Oh ya Aya, kan bisa video call sama ibu. Sabar ya Aya, lagi tiga hari pasti bisa bertemu ibu lagi. Sabar ya Aya, biar ibu sehat dulu agar Aya dan keluarga juga sehat ya!” Berulang-ulang saya mendengarnya, dan setiap kali, air mata saya menggenang di kedua sudut mata saya yang pun sudah lelah menangani wabah dalam lima bulan ini.
Suara bocah itu bagai sebuah delusi yang telah menyeret-nyeret saya untuk segera pulang menemui ketiga anak saya di rumah. Seperti kalian semua, saya paham betul dan sangat mudah untuk dimengerti ini jelas cerita sedih. Namun, sejujurnya, di atas puing-puing kepedihan itu saya telah merasakan nikmat cinta insani yang telah bergejolak dalam kemurnian tanpa keraguan setitik pun.
Suster Ari, adalah salah seorang nakes yang telah tertular virus Corona, mungkin dari pasien yang dirawatnya di ruang isolasi. Merawat jiwa-jiwa yang lain dengan cintanya sebagai pelayan masyarakat di bidang kesehatan, meski harus mempertaruhkan jiwanya sendiri. Jiwa-jiwa itulah yang kini telah bersatu dengan Sang Pengasih dari ratusan nakes Covid-19 yang telah mempersembahkan cintanya untuk sesama pasien Covid-19 di seluruh pelosok negeri. Adakah cinta setinggi dan semulia itu? Saat raga-raga yang tak berdaya telah merelakan jiwanya yang telah murni untuk berpulang menuju pelukan Sang Pencipta.
Suster Ari masih ada bersama kita, namun kini ia harus mengisi 10 hari sendirian waktunya yang teramat asing dan merambat lambat namun berlimpah ruah rindu dan cinta. Kata hati saya pun meyakini, niscaya bayangan-bayangan akan anandanya adalah seutuhnya tentang kebaikan, kelucuan, kerajinan dan rasa sayang kepada ibundanya, tak segores pun bayangan buruk tentang ananandanya. Keterasingan dan jarak yang jauh akibat Covid-19, telah menumbuhkan cinta yang mungkin saja sempat menyusut di saat ironi kebahagian telah menyikapinya dengan abai. Sungguh mencengangkan, virus mengerikan ini yang telah meminta kita untuk pulang dan diam di rumah saja tak berbeda dengan sabda Sang Budha, “Jika engkau ingin memperbaiki dunia, pulang dan temuilah keluargamu!”
Suatu hari, sebelum berangkat untuk bertugas di ruang isolasi Covid-19, seorang ibu menelepon. Ia ingin berbagi makan siang untuk semua tim nakes yang bekerja pagi, siang dan malam tanpa terkecuali, beserta sopir ambulance, satpam dan petugas administrasi. Ia tak ingin kehilangan sedikitpun rasa bahagianya gara-gara ada yang tak kebagian cintanya. Saya sedemikian menikmati kisah mengharukan ini detik demi detik. Jangan sampai kehilangan drama kehidupan yang sangat mengesankan ini. Menjadi bagian dari peristiwanya adalah fusi energi positif yang melambungkan sistem imun siapa saja.
Dengan berbagi, ibu ini bagai telah mengisi untaian waktu dalam kepungan awan dengan cahaya mentari yang telah menghangtakan. Ia takkan menyia-nyiakan kesedihan teronggok begitu saja hingga senja menjelang, ia mendatanginya untuk menjaga cinta dalam jiwanya. Karena itulah saya pun senantiasa membalas setiap pesan WA dari sekian banyak nakes pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Mereka menanyakan satu hal yang saya yakin mereka sudah tahu persis jawabannya. Berapa lama mereka harus isolasi, obat apa yang harus mereka minum, dan lain sebagainya. Namun mereka tetap saja menanyakannya. Dan saat saya berikan jawaban yang mereka pun sebenarnya sudah tahu, mereka selalu senang dan lebih tenang. Begitulah ajaibnya cinta, ia sederhana dan kita pun semua sudah paham akan sederhananya, namun ia selalu meminta hati kita yang paling dalam.
Maka, sungguhlah sangat ganjil jika tetap saja ada kebencian di kala wabah menuntut kebersamaan kita untuk melawannya. Kebencian, seperti ungkapan yang sudah sangat terkenal, adalah racun yang telah kita minum namun berharap membunuh orang yang kita benci. Ia sifat aneh yang sangat sulit diterangkan dan dipahami karena jauh dengan akal sehat. Ia sepenuhnya persoalan diri sendiri yang harus selalu mencari orang lain sebagai korban semu. Kita pun pasti selalu ingat dengan kisah masyur Mahabhrata. Keluarga Bhrata jelas punah karena kebencian. Lalu akankah keluarga sapiens ini pun akan punah? Tidak, sebab jutaan cinta yang akan tercipta setiap hari di saat pandemi ini, akan mampu mengobati setiap luka akibat kebencian dan setiap radang karena virus.[T]