Suatu sore dalam rentang pananggal (bulan paro terang) Sasih Jiestha Isaka 1942, langkah saya bersama beberapa penjejak leluhur terhenti pada suatu titik di tengah hamparan lahar hitam di perut Kaldera Batur. Batuan berperawakan hitam legam nan tajam ini penyimpan masa lalu kami. Mereka pelaku dan saksi sejarah yang hanya diam sembari siap menyayat kaki bagi pengunjung yang tak sigap.
Di titik perhentian itu, pemimpin rombongan—seorang geolog jebolan universitas ternama di negeri ini—sibuk membolak-balik bidang gambar transparan. Bidang gambar ini dicetak dari potret-potret koleksi Negeri Kincir Angin yang berhasil diakses sejak sekitar dua windu belakangan. Ia mengarahkan gambar ke kiri dan ke kanan, disesuaikan dengan bentang alam yang masih berdiri dengan gagah.
Beberapa menit berselang, setelah memutar per sekian derajat gambar tersebut, ia merasa menemukan koordinat yang tepat. “Di sinilah kira-kira letak kori agung kita! Ya, kurang lebih di batu besar ini. Di sana meru tumpang solas [bangunan meru tingkat 11],” katanya sembari menunjuk ke suatu titik yang menurut perhitungannya adalah letak palinggih meru tumpang solas yang terkubur lahar Gunung Batur 94 tahun silam.
Rata-rata dari kami hanya melongo lantaran terpesona dengan penjelasan yang ia sampaikan. Saat itu kami melihat titik yang begitu presisi. Gambar hitam putih itu tampak menyatu dengan bentang alam sekitar yang masih selamat.
Ketika pemimpin rombongan menjelaskan, saya tenggelam dalam imajinasi yang liar. Saya membayangkan kelampiung saya yang hidup ratusan tahun lalu tengah ngopi asyik 100 meter dari titik saya berdiri saat ini. Saya bayangkan beliau sedang ngecel kurungan, sembari ngobrol dengan warga sedesa yang kala itu hidup sahaja tanpa perlu menggelar ajian “tapelisme” atau hidup “mecik manggis”. Mereka tak perlu gawai untuk berkomunikasi satu sama lain. Tak perlu menyaring informasi agar tak termakan kabar bohong yang menjamur, atau menyibukkan diri mengurusi tangan-tangan buzzer nakal yang bekerja menurut sumber uangnya tanpa melihat efek wacana yang ditimbulkan.
Demikian imajinasi itu terus berjalan. Tanpa sadar, saya telah beranjak menuju sebuah titik yang ditunjuk sebagai palinggih meru tumpang solas. Dari titik ini, saya duduk dan memandang bentang alam Tanah Leluhur Kami yang begitu indah. Dari sinilah, 94 tahun silam, almarhum kakek saya—Dewa Hyang Kaki Jair—yang masih berusia sekitar 7 tahun rarud (mengungsi). Pada bencana mahadahsyat itu, beliau ditugaskan membawa sebidang tikar untuk dibawa menuju punggungan Kaldera I Batur di bagian barat. Kisah itu yang selalu dituturkan saban malam, ketika saya tertidur dalam satu ranjang yang sama belasan tahun lalu.
Catatan Tercecer
Tanah Leluhur Kami adalah bentang kawasan yang mengitari sebagian besar tubuh Gunung Batur. Itulah kawasan Desa Batur Kuno yang mandala intinya berada di kaki Gunung Batur sebelah barat daya. Mandala inti Tanah Leluhur Kami kini telah menjadi kawasan konservasi negara. Karena wujudnya yang berupa lahar hitam, masyarakat milenial menyebutnya Black Lava Batur.
Peristiwa rarud terjadi pada Agustus 1926. Kala itu leluhur kami “dipaksa” meninggalkan Tanah Leluhur Kami akibat lahar yang keluar dari pusar Hyang Apuygiri. Guna menyelamatkan peradaban, kami menyingkir ke Desa Bayunggede. Setelah melewati pergulatan yang panjang, pada 1928 Pemerintah Hindia Belanda merelokasi kami ke tempat baru. Sempat disebut Kalanganyar, kawasan ini kini menjadi mandala inti Desa Batur Modern.
Tentang Tanah Leluhur Kami, tak banyak catatan yang dapat kami genggam untuk menghilangkan dahaga ingin tahu yang begitu besar. Kami sempat mengalami “era kegelapan”. Pada era itu tak banyak catatan tentang Tanah Leluhur Kmai yang sempat didokumentasikan oleh dua atau tiga generasi di atas generasi saya. Di masa-masa yang sulit pascarelokasi, pemenuhan kebutuhan dasar untuk mengisi perut yang kosong, tentu menjadi prioritas dibanding mengurusi narasi-narasi tentang masa lalu yang kelam. Konsekuensinya kemudian, kami harus berlapang dada kehilangan berbagai catatan penting dari saksi mata sejarah yang kini telah berpulang.
Namun, di tengah krisis catatan, kami merasa masih cukup beruntung karena ada segelintir orang yang suntuk mengumpulkan tebaran kata Tanah Leluhur Kami. Guru Wayan Sukadia salah satunya. Saya merasa perlu menyematkan kepadanya gelar guru—gelar khusus untuk para tetua (paduluan) yang telah melewati ritus munggah makraman—meski ia tak sampai pada titik posisi paduluan dalam sistem Ulu Apad yang kami miliki. Gelar guru pantas disematkan sebagai bentuk penghormatan atas ketekunannya mengabdi dalam jalan pengetahuan leluhur yang senyap. Ia telah mencandikan kata-kata yang tercecer dari sejumlah saksi sejarah Rarud Batur 1926. Buah kerjanya masih tersimpan cukup rapi, mulai dari catatan wawancara, daftar informan, hingga pertanyaan yang diajukan kepada setiap informan. Data-data itu menjadi data penting yang saya gunakan saat ini.
Menurut data yang didapatkannya, konon Tanah Leluhur Kami disokong oleh 11 banjar, beberapa diantaranya Banjar Kaja, Banjar Jero, Banjar Delod Batu Lompeh, Banjar Kodo, Banjar Asah, Banjar Alas Kenyeri, dan Banjar Kanginan. Sejumlah mata air utama yang dimanfaatkan penduduk Tanah Leluhur Kami juga ditemukan. Salah satunya bernama Yeh Keladian, sebuah mata air yang kini terletak di kaki Bukit Bubungkelambu.
Menurut informasi tersebut mandala inti desa kami begitu luas. Jarak Jero Agung (pusat pura panataran) dengan jabaan terbentang rumpun-rumpun rumput gelagah yang subur. Banjar Delog Batulompeh, disebut demikian karena ada batu yang datar (lempeh). Batu itu konon dimanfaatkan anak-anak untuk duduk dan bermain. Informasi lainnya, konon areal Pura Alas Arum bersebelahan dengan Pura Ulun Danu Batur. Sementara, areal Pura Tuluk Biyu agak di timur Pura Batur, terbatas areal Pura Petak. Merunut kondisi inilah konon muncul istilah Pura Alas Arum sebagai Pura Desa Kauh karena terletak di barat (kauh) pura utama. Sementara itu, Pura Tuluk Biyu disebut Pura Desa Kanginan karena posisinya berada di timur (kangin) desa.
Catatan tentang Tanah Leluhur Kami yang cukup membantu dalam proses rekonstruksi mandala desa kami dapat dibaca dalam teks mahakramat yang kami warisi hingga kini, Raja Purana Pura Ulun Danu Batur. Teks ini menyatakan hal-hal penting tentang gama (tatanan hidup) sebagai manusia penjaga dan pemuja lingga-yoni Batur. Selain soal gama, teks ini juga mengungkapkan batas-batas desa yang diistilahkan dengan batu magantung, poh majajar, tiblun majempang, tanah cebuk, dan sebagainya.
Namun, saat ini kami memiliki jarak yang cukup renggang dengan Raja Puran Pura Ulun Danu Batur. Persoalan bahasa, peristilahan, dan penyimbolan yang dituliskan menjadi jurang lebar dan dalam—juga bahaya—untuk dilalui. Salah tafsir dapat melahirkan kesalahan sangat fatal bagi keberlangsungan adab. Lagi pula, belum ada kesadaran literasi yang baik untuk membaca teks mahapenting itu. Teks asli jarang—dan tabu—untuk dibaca. Tak khayal, pembaca kemudian kebingungan untuk memahami narasi yang dibaca.
Rujukan ketiga tentang Tanah Leluhur Kami adalah berbagai potret koleksi negeri Belanda antara tahun 1800an-1926. Foto-foto ini menggambarkan situs-situs peribadatan yang begitu megah, barangkali sangat megah di masanya. Ada meru tumpiang solas, meru tumpang sia, meru tumpang tiga, kori agung penuh ukiran, gambaran pintu masuk desa, gambar wantilan, potret warga yang sedang berjemur dengan kurungan di tangan, pintu masuk pura dengan seorang wanita paruhbaya memanggul nampan, jalan desa yang dilalui seorang warga membawa sapi, para penari baris, dangsil (salah satu wujud banten) berjejer, termasuk gong gede dan para penabuh gong. Gambar hitam putih inilah yang kemudian sangat membantu dalam penjejakan titik kawasan Tanah Leluhur Kami. Apresiasi tinggi perlu disampaikan kepada para fotografer, sebab telah berhasil secara presisi dan memberi ruang yang besar untuk rekonstruksi.
Catatan Luka
Catatan komunitas adat kami adalah catatan luka. Batur, oleh sejumlah panglingsir diyakini sebagai muara dari berbagai komunitas masyarakat (karaman) yang ada di kawasan Gunung Batur. Dua karaman yang dapat dideteksi dari paruh waktu Bali Kuno adalah Tampurhyang [Tumpuhyang] dan Cempaga [Campaga]. Selain itu, di dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur juga muncul kata Sinarata, yang oleh sebagain tetua kami diyakini sebagai pecahan—atau mungkin transformasi—dari Cempaga.
Eksistensi Tampurhyang dan Campaga dapat dilihat dalam uraian Prasasti Campaga Tampurhyang A , B , dan C. Prasasti Campaga A dan B dikeluarkan atas tanda tangan Sri Haji Jaya Pangus Arkaja Lancana (1103 Saka), sedangkan Prasasti Campaga C menyebut nama Raja Sri Mahaguru (1246 Saka)1. Prasasti Campaga A dan B dikeluarkan sebagai pertanda perlindungan raja atas wilayah tersebut, berbagai putusan tentang pajak, perlindungan anggota karaman, orientasi pemujaan pada Hyang Ganapati di Tumpuhyang, hingga batas-batas wilayah meliputi Kadung di timur yang letaknya di arah timur tenggara; Bubu [Bubung?] di selatan; Bakung di barat daya; Titimarmar [Titimamah] di barat di tengahnya pada arah barat laut ada jurang dalam; setelah utara Pangglungan, Krpan yang arah utaranya terletak Gamlap, Jagles Tengahning We [we merujuk pada air: tengah danau?], Bukit Atampud di timur laut dengan tepi jurang yang dalam. Sementara, Prasasti Campaga C dikeluarkan sebagai perlindungan atas gangguan yang terima Karaman ing Campaga oleh Tampurhyang hingga terjadi pengungsian penduduk yang kemudian dibijaksanai raja dengan pemisahan Campaga dan Tampurhyang, berbagai penjelasan pajak dan anugerah-anugerah penunjang kehidupan, termasuk batas-batas wilayah meliputi Kadung sebagai batas timur yang terletak di timur dan tenggara, Bubung Jalan Tengah di selatan, Bakung di barat daya, Titimarmar di barat, Ridablang di barat laut, Pangglungan Kapan di utara, yang pada arah utaranya terlatak Umlpap Tigles Tengahning We, dan timur lautnya Bukit Atampud.
Di era ini, uraian tentang wilayah dan batas-batas wilayah Karaman ing Campaga masih dapat ditelusuri. Asumsi ini kemudian dikuatkan melalui keberadaan Pura Cempaga Tampurhyang Batur yang berada di punggungan Bukit Bubung Kelambu, Batur. Saat perbaikan pura sekitar tahun 1993, sejumlah sendi (dasar tiang bangunan) dari padas lokal ditemukan dan diyakini sebagai sendi bale agung.
Dalam catatan yang lebih muda, eksistensi karaman-karaman di wilayah ini dapat ditelusuri pada sejumlah babad. Karaman-karaman ini yang kemungkinan besar dirujuk penulis babad sebagai “komunitas pembangkang” yang tak bersedia menjadi bawahan Majapahit, meski pemerintahan Bali Kuno telah runtuh pada 1343 Masehi. Mereka berangsur-angsur berkenan menerima kondisi politik kala itu setelah Majapahit menempatkan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai adipati Bali. Sosok ini diterima lantaran masih memiliki darah Bali yang lebih representatif memimpin orang Bali.
Merujuk cerita lisan di masyarakat, “penentangan” dari karaman-karaman tersebut tak pernah padam meski pemerintah telah dipegang Sri Aji Kresna Kepakisan. Riak-riak perlawanan masih berdebur, hingga sejumlah keluarga kerajaan dari golongan arya dan dalem dikerahkan “menyusup” ke karaman ini. Oleh karena itu, di Batur kini ada Banjar Jero, tanda komunitas masyarakat yang diyakini memiliki garis keturunan darah biru, namun kemudian menanggalkan kebangsawanan dan menyatu dengan masyarakat lokal.
Usaha meredam riak perlawanan tampaknya baru berhasil pada pemerintahan Dalem Waturenggong. Disamping serangkaian upaya politik yang dilakukan dalem, kendornya perlawanan juga diduga kuat lantaran terjadi wabah lepra di kawasan tersebut. Raja Purana Pura Ulun Danu Batur menyebut kondisi itu sebagai tatumpur agung.
Konon, di sebuah situs bernama Pura Batu Sila Rupit, raja Bali tersohor ini mendapat wangsit untuk mengajak tokoh-tokoh karaman berembug. Di sanalah tercetus menyatukan karaman Tampurhyang, Cempaga, Sinarata, maupun komunitas lainnya menjadi komunitas yang lebih besar, yang kemudian dinamai Batur. Apakah nama Batur diambil dari nama Dalem Waturenggong, atau jangan-jangan raja mendapat gelarnya setelah menyatukan Batur? Hingga kini kedua pendapat itu masih berdebat sengit. Namun, sebagai bukti jasa-jasanya terhadap masyarakat, sosok Dalem Waturenggong kini dihormati sebagai bhatara pada palinggih meru tumpang sia yang berdiri di kawasan kompleks Pura Batur.
Ketika kekuatan politik Bali terpecah-pecah menjadi Asta Nagara, kawasan Batur menjadi salah satu ladang pertempuran, serta direkrut sebagai serdadu salah satu kerajaan. Desa Batur sempat diserang Pasukan Goak Ki Panji Sakti, hingga kemudian membakar kawasan desa, termasuk menghancurkan kulkul tengeran yang menjadi simbol pemersatu masyarakat Karaman i Wingkang Ranu. Konon, akibat perbuatan itu, Ki Panji Sakti terkena kutuk Bhatari Sakti Batur. Menyadari kekeliruan yang dilakukan, raja mengganti kulkul tengeran yang telah dibakar dengan kulkul emas, serta berjanji akan mengelilingi Gunung Batur dengan kain putih. Kulkul emas kini masih disimpan masyarakat desa, sementara kaul mengelilingi Gunung Batur dengan kain putih baru berhasil dibayar pada 2011 silam.
Dalam hal perekrutan serdadu, masyarakat Batur sempat direkrut Kerajaan Bangli sebagai bala tentara. Tujuan perekrutan itu untuk membendung desakan Kerajaan Gianyar yang terus melakukan ekspansi. Konon, sisa-sisa serdadu yang dijuluki Sikep Batur itu ditempatkan di sebuah desa yang kini bernama Desa Selat, Susut, Bangli. Menurut sahabat, sejumlah ciri “bebaturan” masih dapat dijejak di desa tersebut.
Di paruh abad ke-17, jejak desa kami mulai ditampilkan dalam visual-visual hitam putih yang diambil orang Belanda. Potret bangunan dengan relief ukir bangunan yang begitu megah mengindikasikan kompleks pura itu sudah dianggap penting oleh masyarakat pada masanya. Gempa besar “Gejer Bali” 1917 turut menghantam desa, bahkan kori agung tertinggi terpenggal setengah. Saat itu, konon beberapa kepala keluarga Karaman i Wingkang Ranu Abang Airawang yang wilayahnya terkena bencana runtuhan Bukit Tuluk Biyu mengungsi membawa beberapa lempeng prasasti tembaga keluaran Raja Darmodayana—R. Goris menamai Prasasti Batur Pura Abang. Para penjaga dan pendoa Bhatara Gunung Tuluk Biyu diterima sebagai saudara, sebagai bentuk tanggung jawab solidaritas “Serikat Desa Wingkang Ranu”. Maka, mulai saat itulah ada Pura Tuluk Biyu di Batur, yang kemudian lebih dikenal sebagai Pura Desa Kanginan atau Pura Batur Kanginan.
Sembilan tahun setelah peristiwa 1917, Gunung Batur akhirnya benar-benar erupsi hingga mengubur Tanah Leluhur Kami. Pemerintah Hindia Belanda tampak memiliki simpati atas bencana tersebut. Mereka turut membantu evakuasi benda-benda keramat dengan mengerahkan para narapidana. Selain bantuan dari Pemerintah Kolonial, Desa Batun Sendi Ida Bhatari seperti Desa Bayunggede, Sekardadi, dan Bonyoh juga memiliki kontribusi yang begitu besar selama evakuasi.
Pascaerupsi 1926, benda-benda sakral ditempatkan di Desa Bayunggede hingga dua tahun lamanya. Tahun 1928, Pemerintah Hindia Belanda memberi ruang untuk pembangunan pura di sebuah tempat yang tak terurus (henengan). Di sanalah Pura Batur kembali dibangun, yang kemudian diresmikan sebagai tempat suci pada 1935. Kawasan desanya diberi nama Kalanganyar (tempat baru). Menurut seorang sumber, nama itu kembali diubah menjadi Batur ketika zaman Orde Baru.
Pada masa-masa revolusi fisik hingga awal kemerdekaan, gesekan internal masyarakat internal desa terjadi. Disamping penduduk kian bertambah, perbedaan cara pandang akhirnya membagi desa menjadi tiga desa dinas. Beruntung pada 1970an akhir, integradi dapat terwujud. Sejak saat itu pun, kami kembali menata diri menjadi satu-kesatuan adat, meski dalam tiga dinas
Pesan Tanah Leluhur Kami
Sejak 2017 silam, gerakan mencari titik 0 Tanah Leluhur Kami di kaki Gunung Batur tersulut. Gerakan itu akhirnya berhasil pada pertengahan Juni 2020. Melalui serangkaian upaya, penanda mandala inti Tanah Leluhur Kami dibangun dan diresmikan.
Penetapan dan peresmian titik 0 itu agaknya akan menjadi simbol yang penting bagi kelangsungan sejarah Batur. Dalam sudut pandang saya, titik 0 Batur bukan sekadar situs yang hanya dimanfaatkan untuk sekadar aksi napak tilas. Batu yang ditempatkan rapi sebagai tanda itu bukan sekadar pancang legalisir bahwa leluhur kami pernah tinggal dan hidup di kawasan ini.
Dalam imaji saya, titik penanda ini kelak akan menjadi penanda rangkaian jejak yang telah dilalui dan perlu diwacanakan agar diketahui kalangan muda-milenial. Penanda ini seyogyanya dapat menjadi monumen literasi tentang kawitan.
Kawitan adalah keasalmulaan. Asal mula adalah kesejatian tentang yang mendasar. Dan, mungkin bukan suatu kebetulan, kata batur juga berarti ‘dasar’.
Lagi pula, di kawasan Kaldera Batur sebuah Universitas Rohani Bukit Cintamani Mmal pernah berdiri. Kini, sisa-sisa kurikulum universitas itu masih terwarisi sebagai Gama Bebaturan, sebuah cara pandang hidup mendasar, gama asal mula kehidupan yang lahir dari kearifan para lelangit.
Menurut narasi yang berkembang, cukup beralasan wilayah Tanah Leluhur Kami disebut oleh banyak krama Bali sebagai Bali Mula. Barangkalidi antara batuan hitam dan hutan yang hijau menyelimuti Tanah Leluhur Kami, tengah tersimpan kearifan cara pandang leluhur Bali tentang keasalmulaan hidup. Hal ini menjadi amat penting untuk menjawab persoalan-persoalan sosial-ideologis saat ini.
Soal ideologi yang kita anut, bukankah selama ini sejumlah kalangan terkesan kehilangan cara pandang, hingga kemudian memilih mengikuti arus cara pandang hidup yang disajikan dari luar Balidwipa? Bukankah selama ini ada ruang kosong yang lupa kita isi untuk membangun orang Bali dengan cara Bali hingga cara luar dipilih untuk mengisi ruang kosong itu?
Rasa-rasanya akan lebih bijak krama Bali nyliksik bulu tentang keasalmulaan, daripada memperkeruh polemik yang kian panas di kanal-kanal media sosial tanpa tahu ujung-pangkal, agenda setting, serta framing dari kisruh yang menyeruak. Bukankah catatan luka wangsa kita cukup banyak memberi pesan kerawanan sosial?
[Payang Arum, 13 Juli 2020]
______
1Budiastra, Putu dan Wayan Rateng Arimbawa. tanpa tahun. Prasasti Pura Cempaga Tampurhyang Batur