Jika di pikirkan baik-baik, apa sih tujuan dari pacaran ? Apakah dengan pacaran seseorang dapat tumbuh dan berkembang atau justru dengan pacaran membuat seseorang menjadi tertekan ? Iya, memang jika dipikirkan tidak akan berujung menemukan jawaban yang tepat. Karena setiap manusia tentunya memiliki perasaan. Rasa sayang. Rasa cinta. Rasa ingin memiliki. Perasaan yang kadang dapat mengalahkan logika manusia.
Memang pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dimana ia akan membutuhkan manusia lainnya untuk saling berinteraksi satu sama lainnya. Maka muncullah hubungan antara lawan jenis yang biasa disebut dengan “pacaran”. Dimana ini sering dijalani oleh usia remaja-dewasa karena pada masa ini kita mulai ingin berbagi kisah hidup yang lebih mendalam dengan seseorang baik itu perihal karir, keluarga maupun lainnya serta ingin bertukar pikiran satu dengan lainnya. Jika berbicara perihal “pacar”. Pacar merupakan gambaran pasangan hidup kita kelak di kemudian hari. Namun tidak dapat dihindari perubahan akan terjadi dalam siklus kehidupan.
Perubahan itu abadi adanya. Iya benar, perubahan yang lebih baik maupun perubahan menjadi lebih buruk tidak dapat dihindari. Pertemuan yang berawal membawa tawa bahagia lama-lama bisa terasa menyakitkan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa semakin kita mengenal seseorang lebih dalam tentunya semakin banyak yang kita ketahui tentang dirinya, dari sisi baik hingga sisi buruk. Tidak ada manusia yang sempurna seutuhnya. Semua lahir dengan pembawaannya masing-masing dan semua tumbuh sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Dan karakter masing-masing manusia juka akan menimbulkan kesalahpahaman antara satu dengan lainnya terutama pada perihal “pacaran”.
Jika kesalahpahaman ini tidak dapat disiasati dengan baik maka terjadilah “Toxic Relationship”. Tidak ada siapa yang salah maupun siapa yang benar, hanya yang perlu diketahui adalah memahami perilaku yang termasuk “toxic”. Baik dari diri kita sendiri maupun dari pasangan kita. Adapun beberapa ciri-ciri dari “toxic people” yaitu sebagai berikut :
- Merasa tidak bisa mengekspresikan diri. Biasanya orang yang tergolong “toxic” akan cenderung terlalu ingin tahu segala hal yang dilakukan oleh pasangannya serta cenderung mengendalikan pasangannya untuk menjadikannya seperti apapun yang ia mau sehingga sulit untuk mengekspresikan dan mengembangkan diri dengan orang yang tergolong “toxic”.
- Merasa berharga hanya saat mood dia lagi bagus. Walaupun terkadang hal ini tidak berniat dilakukan oleh pasangan kita namun mungkin dia sedang mengalami stres dari kesibukannya, tapi tidak dapat dipungkiri hal ini dapat kita rasakan jika seseorang cenderung bersikap yang tidak sewajarnya saat dirinya mengalami tekanan. Karena kita pun tidak tahu tekanan-tekanan apapun yang sedang dirasakan. Namun perlu disadari, emosi yang ada dalam diri kita hanya kita yang dapat bertanggung jawab terhadap emosi tersebut. Jadi jangan mengharapkan sesuatu yang lebih dari orang lain.
- Pasif – Agresif. Terlalu banyak berkode-kode kepada pasangan, tidak mau berkata terus terang tentang perasaan yang ada didalam diri sendiri. Hal ini tentunya akan menyulitkan seseorang dalam mengerti apa yang dimaksud jika terlalu banyak kode yang diberikan.
- Menutupi masalah sementara. Jadi banyak pasangan yang kurang tepat dalam menjalin hubungan. Jika pasangannya sedang marah atau melakukan hal yang buruk untuk tetap mempertahankan hubungan tersebut malah diberikan hadiah. Hal ini tentunya akan memicu adanya kemarahan-kemarahan lain dari pasangan karena dia akan berpikir pasangannya akan mempertahankan hubungannya dengan memberikan hadiah. Tentunya hal ini akan memperburuk hubungan yang sedang dijalani.
Begitulah beberapa ciri dari “toxic relationship” jika hal ini sedang dirasakan maka sebaiknya mengambil jalan untuk berpisah tentunya dengan cara yang baik. Bukan berarti sudah berhenti menyayangi ataupun mencintai, namun hal ini dilakukan untuk saling menumbuhkan satu dengan lainnya. Namun, untuk menghadapi hidup pasca hubungan ini tidaklah mudah. Maka dapat gunakan resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan beradaptasi seseorang terhadap situasi yang kurang menyenangkan. Sehingga mampu bangkit kembali menjadi lebih baik. Wolin dan Wolin (1993) mengemukakan tujuh aspek utama yang mendukung individu untuk resiliensi adalah sebagai berikut :
- Independence adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan maupun situasi yang sedang bermasalah).
- Initiative adalah keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupannya.
- Morality adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkan.
- Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun.
- Creativity adalah kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup.
- Relationships yaitu mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan memiliki role model yang baik.
- Insight adalah proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih tepat.
Tentunya memahami dan menjalani hal ini tidaklah perihal yang mudah, namun untuk menumbuhkan semangat untuk memulai kehidupan yang lebih baik adalah ingatlah bagaimana Tuhan memberikanmu kehidupan yang sangat berharga. Ingatlah orang tuamu yang membesarkanmu hingga kini. Tumbuhkan dirimu, hingga dapat memberikan energi positif di lingkungan sekitarmu.
“Tuhan akan melihat perbuatan baikmu. Jika kamu berbuat baik kepada seseorang, Tuhan akan mengelilingimu dengan orang-orang yang baik pula”