“Para dokter STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) tak hanya menjadi pahlawan di tengah wabah, tapi juga bergelut dengan politik praktis. Sebagian dari mereka aktif di organisasi dan lantang menyuarakan nasionalisme lewat tulisan di surat kabar. Daya kritis mereka salah satunya disulut sikap pemerintah Kolonial terhadap kaum pribumi yang diskriminatif kala wabah terjadi” (Hans Pols, Profesor Sejarah Kesehatan dari Australia, Penulis buku Merawat Bangsa : Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia).
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyejarah, artinya menggunakan tilikan masa lalu untuk bertindak bijaksana di masa kini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, kita tidak perlu alergi berkiblat ke masa lalu dengan tujuan mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang kita alami di masa kini dan atau mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di masa depan. Faktanya, bangsa kita belum bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang menghargai sejarahnya. Sebab masa lalu hanya menjadi cerita usang yang tidak diminati di masa kini. Sebuah dongeng sebelum tidur yang dipenuhi cerita-cerita mistis dibanding usaha untuk menemukan hikmahnya.
Gagasan Hans Pols melalui bukunya di atas yang menjelaskan genealogi nasionalisme Indonesia yang bermula dari kegigihan priyayi Jawa lulusan STOVIA dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya memerangi wabah Pes di Malang pada tahun 1911 sangat menarik untuk dikaji. Apalagi momentum pada bulan Mei ini, kita dihadapkan pada dua hal penting yang seanalog dengan masa itu yakni masih eksisnya virus Corona dan peringatan kenegaraan tentang Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada hari Rabu, 20 Mei 2020.
Soetomo, Tjipto, Suwardi dan Abdul Rivai adalah segelintir anak-anak tamatan STOVIA yang memiliki empati besar terhadap diskriminasi Negara Kolonial terhadap pribumi kala wabah menggejala di beberapa tempat di Hindia Belanda. Meski mereka tercatat sebagai priyayi lokal yang mendapatkan akses sosial berupa keistimewaan mengecap pendidikan Barat melalui sekolah dokter di STOVIA, tidak mengurangi kadar empati sosial terhadap saudara sebangsanya yang tengah kesusahan.
Di sisi lain, mereka juga melakoni aktivitas politik praktis melalui kegiatan-kegiatan agitasi di beberapa organisasi. Awalnya, mereka ikut memelopori lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 bersama dengan DR. Wahidin Sudirohusodo. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, gerakan organisasi yang terlalu Jawa sentris dan hanya berpusat pada aristokrasi Jawa membuat beberapa anggota tidak puas. Mereka keluar dari keanggotaan, lalu membentuk organisasi baru yang dirasa bisa mewadahi pikiran-pikiran radikal dan progresif demi mewujudkan nasionalisme pribumi yang dicitakan.
Saat itu, nama Indonesia belum populer, sehingga nasionalisme kolektif yang dibayangkan bersama adalah nasionalisme Hindia. Baru ketika Tjipto dan Suwardi bersama dengan Douwes Dekker membentuk Indische Partij pada tahun 1912, nama Insulinde diketengahkan untuk menggantikan Hindia Belanda (Nederland Indie) yang dianggap lambang supremasi Belanda.
Meski IP hadir sebagai organisasi politik modern pertama di Hindia Belanda yang mampu meradikalisasi konsep nasionalisme sebelumnya, namun populisme yang ingin dibangun dengan menghadirkan konsep insulinde kurang mendapatkan sambutan meriah. Insulinde, seperti juga konsep Nusantara atau Dipantara dianggap eksklusif oleh sebagian besar kalangan dan tidak mencerminkan pluralitas masyarakat Hindia Belanda.
Ucapan terimakasih terhadap radikalisasi konsepsi Indonesia yang sebelumnya bertendensi antropologis ke arah gerakan politis harus diberikan kepada PKI atau Partai Komunis Indonesia yang sebelumnya bernama PKH (Partai Komunis Hindia) yang dibentuk pada 23 Mei 1920. Sejak saat itu, beberapa organisasi yang muncul belakangan selalu menggunakan nama Indonesia seperti Perhimpunan Indonesia (PI) yang digagas penerima beasiswa Leiden seperti Mohamad Hatta dan Sutan Sjahrir pada tahun 1922, serta PNI (Partai Nasional Indonesia) yang lahir dari pemikiran Soekarno pada tahu 1927.
Dengan melihat bagaimana nasionalisme Indonesia bertumbuh di atas yang diawali dari kegundahan anak-anak STOVIA itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ideologi yang kini kita sebut sebagai nasionalisme, meski dibungkus dengan pendidikan Barat dan didiseminasikan melalui bahasa Belanda, justru terkatalisasi melalui kehadiran wabah. Alasannya, wabah semacam Pes dan Kolera telah memperlihatkan konflik diametral yang jelas antara siapa yang disebut penjajah dan siapa yang disebut terjajah. Di sisi lain, kehadiran wabah mampu menjelaskan wajah mendua dari negara Kolonial, di satu sisi mengeruk kekayaan tanah pribumi, di sisi lain enggan bertanggung jawab manakala warganya sakit parah akibat penyakit menular tersebut.
Tjipto, kala mewabah penyakit Pes di Malang langsung turun tangan bahkan tanpa menggunakan alat pelindung semacam masker yang saat itu keberadaannya cukup baru baik di dunia medis Eropa apalagi Hindia. Pekerjaaannya sangat berisiko, sebab saat itu penularan Pes tidak hanya melalui gigitan tikus yang membawa virus, melainkan juga dari gigitan nyamuk yang sebelumnya telah mengigit tikus yang telah terkontaminsi oleh gigitan kutu pembawa bakteri Yersinia Pestis. Sejak saat itu, penggunaan kelambu menjadi popular terutama untuk melindungi seseorang dari ancaman gigitan nyamuk yang dianggap ikut menyebarkan penyakit Pes.
Dampak Pes di Eropa bahkan lebih buruk dibanding Hindia Belanda. Sebelum dunia medis mencapai perkembangan yang pesat pada awal abad XX, pada abad XIV, di Eropa mewabah penyakit Pes. Ciri-ciri fisik yang ditimbulkan seperti kematian jaringan pada ujung jari tangan, kaki atau hidung hingga warnanya yang menghitam menyebabkan penyakit ini mendapat julukan Black Death. Membunuh hampir 2/3 populasi Eropa. Penanganan terhadap penyakit ini semakin sulit dilakukan sebab predator alami tikus yakni kucing mengalami depopulasi besar-besaran karena dianggap lambang penyihir perempuan paganis Eropa. Hal ini bisa dimaklumi sebab Eropa tengah mengalami transisi dari era The Dark Age ke era Renaisans. Akibatnya populasi tikus tidak terkendali dan ikut menyebarluaskan penyakit Pes ke seantoro Eropa.
Kesediaan Tjipto untuk terjun langsung ke Malang memperlihatkan segregasi sosial yang parah. Struktur masyarakatnya terkotak-kotak antara golongan pribumi yang paling bawah, Timur Asing di bagian tengah dan orang-orang Eropa di bagian atas. Mereka, orang-orang Eropa dan Timur Asing mendapatkan keistimewaan dan keleluasaan dalam berbagai hal. Mereka juga tergolong orang-orang mampu yang hidup dengan sanitasi lingkungan yang baik. Pribumi di sisi lain, hidup di lingkungan kumuh dan dengan sanitasi yang buruk sehingga memiliki potensi yang tinggi untuk terkena atau tertular penyakit.
Status sosial pada struktur masyarakat Kolonial itulah yang menyebabkan mengapa tenaga kesehatan yang bersedia diterjunkan saat wabah merajalela itu minim. Dokter-dokter Eropa enggan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pribumi yang paling banyak menjadi korban, sebab uang yang dibayarkan terlalu sedikit. Jikapun terpaksa melayani pribumi, mereka akan memberikan pelayanan seadanya dan bahkan sengaja menyampaikan diagnosis yang salah. Dokter-dokter Eropa itu lebih suka melayani orang-orang Timur Asing dan dari kalangan Eropa sendiri karena iming-iming bayaran yang tinggi.
Perilaku dokter-dokter Eropa ini akan berlanjut saat Hindia Belanda dihantam wabah Flu Spanyol pada tahun 1918. Parahnya lagi, mereka bahkan menaikkan tarif layanan kesehatan yang berdampak serius pada kenaikan harga beras. Akibatnya kelaparan di mana-mana. Penduduk pribumi Hindia kala itu tidak hanya mati karena terjangkit Flu Spanyol yang mematikan saja melainkan juga wabah kelaparan yang tidak kalah hebat.
Kesadaran nasionalisme seorang Tjipto muncul dari upayanya untuk ikut berjuang menyelamatkan nyawa saudara sebangsanya dari wabah. Penyakit Pes di Malang menyadarkan nasionalisme seorang Tjpto dalam wujud politik, stigma dan organisasi sosial. Realitas-realitas kesehatan berbalut diskriminasi tersebut telah membentuk mental politik praktis pada diri anak-anak tamatan STOVIA itu. Beberapa di antaranya rajin menulis dan menyalurkan kegelisahan dan kritik terhadap diskriminasi negara Kolonial terhadap penduduk pribumi. Selain Tjipto yang nanti eksis di IP, ada Soetomo, DR. Radjiman Widyodiingrat serta Abdul Rivai. Mereka bahkan menjadi anggota parlemen yang aktif menyampaikan suara pribumi yang tertindas. Bahkan, nama terakhir aktif menulis di surat kabar, salah satunya Bintang Hindia.
Dalam historiografi Indonesia versi marxis kiri, konflik sentrifugal kaum borjuis dan proletar mungkin dianggap sebagai pemantik awal kebangkitan nasionalisme Indonesia. Pun demikian dengan marxis kanan ala Ben Anderson atau Rudolf Mrazek yang berhasil memotret perkembangan sistem transportasi di Hindia Belanda bahwa nasionalisme Indonesia berawal dari kemajuan print capitalism. R.E Elson, Werttheim dan Anthony Reid se-iya sekata menyatakan bahwa proto nasionalisme Indonesia berangkat dari gagasan – gagasan besar tentang pan austronesianisme sehingga menjadi konsep yang sakral. Bebeda dari gagasan yang ditawarkan historiografi arus besar di atas, saya melihat dimensi kesehatan, dalam hal ini kehadiran wabah Pes, Kolera dan bahkan Flu Spanyol sebagai alternatif historiografi Indonesia dalam melihat bagaimana kesadaran kebangsaan itu bertumbuh dan disemaikan ke dalam pemikiran-pemikiran besar.
Kehadiran wabah Pes dan Kolera di Hindia Belanda pada medio pertama awal abad XX yang muncul berkelindan telah membantu membuka wajah sosial dari seseorang atau sekelompok orang. Darinya kita juga belajar arti ketulusan, siapa yang benar-benar peduli dengan sesamanya. Struktur sosial masyarakat Kolonial yang diskriminatif telah menimbulkan segregasi sosial yang parah, dan melalui wabah lah gambaran itu telah menghasilkan kesadaran nasional (isme) pada anak-anak muda STOVIA seperti Tjipto, Soetomo dan Abdul Rivai yang menjadi embrio bagi radikalisasi keindonesiaan di masa berikutnya. [T]