Lima tahun yang lalu saya memutuskan banting setir dan berangkat ke kapal pesiar. Semua pekerjaan yang saya lakoni, saya tinggalkan. Demi sesuatu hal baru, tantangan yang baru. Dan tidak bisa dipungkiri untuk mendapatkan penghasilan lebih baik dari yang dulu.
Terus terang, keputusan tersebut merupakan sebuah keputusan paling besar dalam hidup saya selama 29 tahun di umur saya yang sekarang. Keputusan yang kadang menyesakkan hati, menyayat sukma, harus meninggalkan segala yang telah saya lakoni.
Meninggalkan sekolah. Meninggalkan Bangli Sastra Komala yang saya buat bersama Agus Darma Putra, Pande Jati, dan teman-teman lainnya di Bangli. Meninggalkan hingar bingar kehidupan sastra khususnya sastra Bali modern yang semakin semarak dengah hadirnya penulis-penulis muda. Dan yang paling menyedihkan adalah harus meninggalkan orang-orang tercinta baik kekasih maupun keluarga.
Adakah penyesalan? Tegas saya jawab, Tidak. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa setiap keputusan yang diambil selalu mengandung resiko dan sering harus ada yang di korbankan. Tahu akan resiko-resiko tersebut akhirnya saya memilih pilihan yang menurut saya terbaik bagi saya dan keluarga saat itu.
Sekali lagi untuk sebuah keputusan harus ada yang dikorbankan. Saya harus realistis. Tahun 2014 penghasilan yang saya dapat dari sekolah, menulis, jaga minimarket, dan ojek tidaklah seberapa. Tidak bisa membantu keluarga untuk membayar hutang yang waktu itu jumlahnya sudah ratusan juta. Ya, semua pasti bisa menduga, bahwa itulah alasan utama mengapa saya memutuskan kerja di kapal pesiar. Family is number one for me.
Keluarga adalah satu-satunya alasan mengapa saya pergi ke kapal. Betapa sedih hati ini melihat kedua orang tua selalu bertengkar karena pikiran mereka yang tidak tenang akibat selalu dikejar-kejar hutang. Penagih hutang datang tak mengenal waktu. Awal bulan, pertengahan bulan, akhir bulan pun jadi. Caci maki turut mengiringi perjalanan karena tersendat-sendat bahkan tidak bisa membayar hutang.
Maklum, kehidupan kami sangat melarat. Ibu memiliki keinginan yang sangat tinggi agar keempat anak laki-lakinya bisa mengenyam bangku sekolah minimal SMA agar nantinya memiliki pekerjaan lebih baik dari dirinya. Hingga hutang sana-sini tapi kemampuan untuk membayar rendah. Ibu jadi buruh masak di tempat Catering makanan. Ayah seorang tukang ojek. Lama-kelamaan hutangpun menumpuk.
Keluarga mendukung apa yang sudah jadi pilihan hidup saya. Begitu juga para sahabat yang senantiasa bersama saya dalam suka maupun duka. Selalu ingat akan perjuangan di masa-masa paling sulit. Selalu sadar bahwa arti sahabat yang sesungguhnya tidak akan pernah hilang oleh ego dan harta benda. Sampai saat ini, bersyukur memiliki sahabat yang selalu ingat akan perjuangan di masa silam.
Lima tahun sudah berlalu, dan sampai saat ini saya masih kerja di kapal pesiar. Masih berada di tengah lautan tanpa tahu kepastian kapan akan bersandar, kapan akan dipulangkan. Virus corona sudah mengacaukan segalanya. Saya dan teman-teman pelaut lainnya berjuang menghadapi virus ini dengan mengikuti aturan dari company. Di Bali pun nampaknya juga sama, sama-sama berjuang. Meskipun ada selentingan-selentingan negatif tentang anak kapal, tapi percayalah kami bukan pembawa virus. Kita sama, korban dari virus corona yang sudah mengglobal.
Dan terakhir, ketika saya ingat nostalgia perjuangan dulu, saya semakin rindu pada semua itu. Terutama kepada keluarga saya. Rindu pada istri tercinta yang sedang mengandung buah cinta kami berdua. Meskipun dalam keadaan yang tak menentu, saya masih punya keyakinan akan segera berkumpul kembali bersama keluarga dan para sahabat yang saya rindukan.
Salam dari samudra. [T]
____
[] BacaSurat Kecil Pekerja Kapal Pesiardari Tengah Lautanyang lain