Covid-19 atau virus corona telah menjadi pandemik global yang menelan banyak korban di berbagai negara. Setidaknya ada 14.688 orang telah meregang nyawa akibat virus tersebut. Untuk mengantisipasi lebih banyak korban berjatuhan, pemerintah melalui arahan social distancing dan stay at home menghimbau masyarakat untuk tinggal dirumah dengan tujuan mengurangi interaksi sosial di dalam kerumunan. Namun, adakah imbas dari arahan tinggal di rumah (stay at home) pada perekonomian Indonesia?
Beberapa sektor industri seperti textil, pariwisata dan aviasi merasakan dampak dari meluasnya wabah virus corona. Data dari Asian Development Back menunjukkan potensi kerugian yang dialami oleh dunia akibat wabah Corona mencapai US$ 4.962 triliun. Bukan hanya itu, Asian Development Bank juga memberikan tiga skenario pertumbuhan ekonomi global akibat virus ini.
Skenario pertama adalah kerugian sebesar US$ 77 miliar atau memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,1%. Selanjutnya, pada skenario moderat kerugian ditaksir mencapai US$ 156 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2%. Skenario terburuk, kerugian dapat mencapai mencapai US$ 347 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 0,4%. Yang lebih mengkhawatirkan adalah, efek dari pandemik ini dapat memicu terjadinya resesi global.
Resesi adalah periode dalam siklus bisnis ketika kegiatan ekonomi mengalami penurunan yang umum, biasanya disertai dengan meningkatnya pengangguran, penurunan pendapatan dan pengeluaran konsumen, meningkatnya kegagalan bisnis, dan penurunan pasar saham. Kondisi ini terjadi ketika pengeluaran konsumen menurun dan pendapatan perusahaan menyusut. Bisnis yang tidak memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk melewati masa-masa sulit sering mengajukan kebangkrutan dan memberhentikan pekerja. Pengangguran, pada gilirannya, dapat menyebabkan pinjaman dan hipotek yang tidak dibayar, penyitaan rumah, pengurangan pengeluaran konsumen, dan banyak bisnis yang gagal yang dapat menyebabkan tekanan ekonomi yang meluas.
Kondisi ini sudah banyak terlihat di Indonesia, banyak industri yang akhirnya merumahkan karyawannya dan berakibat pada penurunan pendapatan rumah tangga. Pemerintah beserta bank sentral telah belajar untuk mendukung ekonomi dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif seperti pemotongan suku bunga, suntikan likuiditas, keringanan pajak, dan dana talangan industri. Langkah-langkah ini berhasil mencegah depresi selama krisis keuangan 2008-2009. Namun apakah kedua langkah tersebut (kebijakan moneter dan fiskal) merupakan langkah yang tepat diambil di tengah resesi saat ini?
Sebagai contoh kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Central AS, The Federal Reserve yang memangkas suku bunga acuan sebanyak 0,5%. Kebijakan ini langsung diikuti oleh Bank Central Kanada, Hongkong dan Australia. Bank Indonesia juga telah menurunkan bunga acuan sebesar 0.25 % menjadi 4.75 %. Di tengah gencarnya bank central memberikan kebijakan moneternya, ada satu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Permasalahan yang muncul bukan kepada seberapa besar stimulus moneter yang dapat diberikan di tengah kondisi krisis. Hal ini dikarenakan yang kita sedang lawan adalah wabah virus bukan sistem keuangan yang sedang krisis.
Kebijakan yang dinilai tepat dilaksanakan adalah kebijakan fiskal pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan menambah dana bantuan langsung tunai yang telah diberlakukan. Di negara lain seperti Tiongkok, telah memberlakukan pemotongan pajak untuk perusahaan. Hong Kong juga telah memberikan bantuan langsung tunai kepada penduduknya. Diharapkan dengan adanya kebijakan yang tepat mengarah pada permasalahan yang terjadi, kondisi resesi ekonomi dapat berangsur-angsur membaik. [T]