Anak-anak yang masih sekolah di tingkat Taman Kanak-kanak (TK) atau Sekolah Dasar (SD) pasti pernah ditanya oleh gurunya soal cita-cita. Tentu kata pertama dan paling sering muncul adalah ingin menjadi dokter, pilot, tentara, bahkan menjadi presiden. Hampir tidak pernah ada seorang anak yang dengan gagah berani menjawab ingin menjadi kepala desa (Kades). Apakah si anak salah, tentu tidak. Itu adalah hal yang wajar dan sah saja terjadi. Bisa jadi jseorang kepala desa atau jabatan Kades dianggap tidak begitu keren dan dianggap tidak memberikan peningkatan status sosial ekonomi bagi masa depan.
Jika kita mau jujur, tahun 2000-an wajah Kades masih tidak begitu keren, karena didominasi oleh wajah-wajah orang tua. Wajah yang mencerminkan sosok yang menjaga wibawa, sosok yang jarang tersenyum sehingga sangat susah diajak komunikasi oleh anak muda. Sehingga dipastikan anak muda sebelum lulus SMA tidak akan mengenali Kadesnya karena memang tidak ada kewajiban harus bertemu dengannya.
Hal lain yang juga menjadi penyebabnya adalah informasi tentang pemilihan maupun masa berakhirnya sang Kades juga tidak berkabar luas. Jika pun ada pemilihan Kades, dipastikan tidak akan meriah dan terkesan hanya diketahui oleh khalayak orang tua saja. Sehingga paling keren wajah Kades diisi oleh pensiunan polisi, atau pensiunan Pegawai Negeri Sipil atau pegawai swasta yang awalnya merantau di Denpasar dan terpaksa pulang kampung karena orang tuanya sudah meninggal. Intinya Kades bukanlah jabatan utama yang diidolakan oleh yang bersangkutan sehingga wajah Kades adalah identic dengan sosok tua yang relative susah dijangkau oleh anak muda.
Hadirnya Undang-undang 6/2014 tentang Desa merubah banyak hal tentang desa. Paradigma tentang desa berubah 180 derajat. Awalnya paradigma yang terbangun adalah membangun desa sekarang menjadi desa membangun. Artinya desa saat ini menjadi subjek pembangunan berbeda dengan konsep terdahulu yang menjadikan desa sebagai objek pembangunan. Saat ini, desa diberikan kewenangan lokal skala desa untuk menentukan nasibnya sendiri (rekognisi dan subsidiaritas). Desa diberikan kebebasan dalam membuat program kerja asalkan kegiatan tersebut arahnya untuk peningkatan kualitas masyarakat desa. UU desa juga membuat desa menjadi kaya mendadak.
Tiap tahun, desa menerima dana desa dari APBN rata-rata sebesar 1 Milyar, belum lagi dapat kucuran dana berupa BKK, ADD atau uang dari kabupaten masing-masing. Sebagai contoh, di kabupaten Badung, per tahun setiap desa bisa mengelola uang belasan milyar rupiah. Tahun 2020 ini, Desa Pelaga, Kecamatan Petang mendapat dana sebesar Rp 19.062.956.780. Dana tersebut berasal dari empat sumber yakni, dana desa, dana bagi hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah dan dana perimbangan. Sungguh angka yang sangat besar dan angka yang tidak terbayangkan sebelumnya boleh seorang kepala desa.
Ketika desa mengelola uang banyak, maka banyak kepala desa yang bingung. Ya bingung, karena penggunaannya harus dipertanggungjawabkan dengan rigit. Tapi ada juga Kades yang menganggap enteng tentang tanggungjawab penggunaan uang tersebut. Hal demikian membuat beberapa kepala desa tersangkut masalah hukum yang pada akhirnya mendekam di hotel prodeo. Kades yang yang sudah merasa tua dan merasa ketinggalan jaman merasa bahwa dana desa sangat memberatkan, sangat menyiksa batin, intinya dana desa membuat banyak kades yang tidak bisa tidur nyenyak di malam hari.
Sebenarnya tujuan dicairkannya dana desa sangat baik yakni memastikan bahwa Pemerintah hadir dan memberikan dukungan nyata dalam mewujudkan kesejehteraan masyarakat desa. Agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan Kades terhindar dari jeratan hukum, maka anak muda wajib turun tangan untuk menjadi Kades. Anak muda identik dengan pekerja keras, dinamis serta adaptif dengan perubahan tentu sangat mendukung percepatan keberhasilan pembangunan desa. Apalagi di era connected society seperti sekarang ini, tentu Kades yang memiliki kemampuan teknologi sangat penting dan mutlak diperlukan untuk memastikan desa tidak tertinggal jauh dengan kota.
Desa Batuan, Sukawati Gianyar memulai sejarah baru. Tahun 2020, tepatnya tanggal 14 Pebruari 2020, seorang anak muda dengan status lajang yang baru berusia 28 tahun dilantik menjadi kepala desa Batuan. Tentu ini adalah berita bagus. Semoga berita menjadi pemantik semangat anak muda lainnya agar mengikuti jejaknya. Sebagai pemimpin di era milenial maka seorang Ari Anggara tahu betul langkah apa yang harus dilakukan.
Sehari menjabat sebagai Kades, sang Kades sudah mengambil 7 kebijakan dan langkah kerja hari pertama. Ketujuh hal tersebut meliputi 1) kebijakan tentang mobil operasional kantor, 2) penerapan pergub Bali No. 97, 3) Lounching hotline pemerintah desa, 4) lounching media sosial pemerintah desa, 5) penghapusan pungutan sukarela pendatang, 6) lounching layanan informasi dan 7) lounching layanan administrasi mendesak di luar jam operasional kantor desa. Ini adalah bukti nyata anak muda sangat dinamis, bekerja cepat dan suka akan perubahan. Jika bukan anak muda mungkin kebijakan ini tidak secepat itu bisa dilaksanakan. Yang paling menggembirakan kebijakan ini dishare langsung ke media sosial. Artinya sang Kades tahu betul media yang efektif dan efisien di era kekinian untuk mensosialisasikan program kerjanya.
BACA JUGA:
Cerita lainnya datang dari desa Dangin Puri Kauh, Denpasar utara. Seorang anak muda yang memiliki nama Ida Bagus Gede Ganaputra Karang mantan pembalap (drag race) terpilih menjadi kepala desa. Sosok ini menghabiskan masa mudanya dengan berbagai lomba baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bapak kelahiran 18 Pebruari 1981 ini memimpin 1.724 KK, dimana 107 KK diantaranya masuk kategori Rumah Tangga Miskin (RTM) yang kini disebut Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Dengan semangat dan pengalaman yang dimiliki sang Kades bertekad untuk mengentaskan kemiskinan warga desanya. Semoga cerita anak muda yang menjadi Kades bisa menjadi virus untuk membuat anak muda lainnya tergerak pulang kampung untuk membangun desa. Sarjana pulang kampung dengan menjadi Kades adalah solusi terbaik untuk membantu pemerintah yakni membangun Indonesia dari desa. Akhir kata, saya ingin mengatakan bahwa saatnya anak muda pulang kampung, saatnya sarjana membangun desa, dan saatnya anak muda menjadi kepala desa. [T]