“Kita semua pribumi, cuma alien yang non pribumi”
Sebaris kata-kata satire ini tertulis pada kaos yang dibuat toleh tim kreatif Yayasan Sesama, Singaraja. Kaos berwarna merah terang dan hijau pisang ini tampak dipakai anak-anak muda yang tergabung sebagai relawan maupun masyarakat yang memberi simpati dan dukungan untuk kegiatan yayasan ini. Punya motto Tat Twam Asi (Aku adalah kamu dan kamu adalah aku), yayasan ini membawa misi “melayani sesama dengan semangat pluralisme”.
Kuat sekali pesan yang disampaiakan gerakan anak-anak muda yang beraneka latar belakang ini, terutama dari kalangan medis dan paramedis, yaitu ajakan tentang kepedulain terhadapa sesama yang lemah membutuhkan bantuan, juga menjaga indahnya spirit toleransi kebhinekaan. Istilah pribumi tampaknya tercetus dari keprihatinan terhadap konstelasi politik identitas yang sedemikian vulgar dari pertarungan satu pilkada di negeri ini, pilkada DKI Jakarta yang telah menarik perhatian seluruh bangsa bahkan masyarakat luar negeri.
Pribumi, kata-kata ini dapat memiliki ribuan makna. Saya takkan membahasnya dari sisi etimologi, namun ingin mencoba ikut bermain pada tataran persepsinya yang sedemikian dinamis. Jika pribumi secara sederhana dimaksudkan sebagai penduduk asli maka ia akan berseteru dengan batas geografis maupun entitas etnis. Dengan pribumi maka akan ada pendatang. Ini hanya akan cukup mudah disematkan kepada pendatang yang berbeda ras dan datang dari jauh.
Misalnya orang-orang kulit putih yang datang dari benua Eropa, baik untuk berdagang maupun menjajah bangsa Indonesia. Namun bagaimana dengan masyarakat Melayu yang sama-sama tinggal di perbatasan RI-Malaysia di pulau Kalimantan (Borneo), sebagian orang Indonesia, sebagian orang Malaysia. Yang mana pribumi? Atau jika penduduk di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng adalah Bali Asli, pribumi, maka masyarakat di luar Desa Pedawa adalah pendatang. Dalam hal ini memang ada bukti-bukti sejarah kedatangan leluhur mereka dari pulau Jawa, pelarian kerajaan Majapahit. Lalu, jika mereka yang sama etnis saja ternyata ada pribuminya dan ada pendatangnya, bagaiman dengan etnis China dan Arab di Singaraja?
Betul sepertinya gagasan anak-anak di Yayasan Sesama, kita semua di planet biru adalah pribumi. Jika mengacu pada teori evolusi Darwin, bahkan dengan spesies lain pun dulu kita berangkat dari satu garis start yang sama. Primata, semua mamalia hingga pepohonan hujan tropis pun adalah pribumi yang punya hak atas tanah airnya. Penduduk mana saja adalah pribumi saat disandingkan dengan pendatang. Saat itu mungkin saja orang-orang China hadir ke Nusantara sebagai pendatang untuk berdagang, di lain waktu mungkin orang-orang Indonesia pergi ke China sebagai pendatang untuk belajar.
Dan betul juga gagasan mereka, hanya jika ada alien yang tiba-tiba datang menginvasi bumi, barulah kita seluruh penduduk dunia merasa satu sebagai pribumi. Mirip seperti agresi virus corona baru (Covid-19) yang sedang meneror dunia, telah memaksa bangsa-bangsa di bumi mulai sedikit tergerak untuk berangkulan. Kita adalah pendatang ketika berkunjung ke hutan belantara di pedalaman Kalimanatan, saat seluruh vegetasi di sana adalah pribuminya. Maka pribumi seharusnya adalah istilah remeh untuk membedakan orang yang kebetulan mendapat kunjungan dari yang lain. Ia tak pernah merujuk pada ahlak dan kwalitas insani, kecuali kita telah menciptakannya dari pikiran yang tak adil.
Pikiran tak adil, ia lah yang kelak akan menghancurkan dunia. Ia boleh saja tak tampak, namun ia ada di mana-mana pada setiap saat. Bahkan kebencian pun tak pernah dapat terwujud saat belum mendapat restu dari pikiran. Pikiran dalam bangunan tubuh manusia berada pada singgasananya yang tertinggi. Ia dekat dengan Tuhan, maka hanya agama yang sanggup berurusan dengannya. Karena agama wakil Tuhan di bumi, maka agama harus memasukkan Tuhan ke dalam pikiran setiap manusia. Betulkah demikian? Bagaimana jika yang dimasukkan adalah iblis? Maka yang terjadi adalah abad kegelapan.
Istilah Zaman Kegelapan muncul setelah perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan di kawasan Eropa mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari kuatnya posisi gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu. Segala hal yang tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan ilmu pengetahuan empiris dan teori-teori baru. Ilmuwan masyur Galileo Galilei adalah korban paling fenomenal dari kelamnya abad kegelapan atas penemuannya tentang tata surya yang berlawanan dengan keyakinan gereja.
Perang Salib (1095-14920) merupakan salah satu perang paling dikenal sepanjang sejarah. Perang ini tak hanya ditujukan untuk memperebutkan kota suci, Yerusalem, namun secara tersirat dianggap sebagai perang suci antara dua agama besar, yaitu Islam dan Kristen. Peperangan yang terhitung hingga delapan babak dalam sejarah dunia ini bukanlah peperangan biasa, ia diyakini sebagai perjuangan demi memperoleh pengampuanan atas segala dosa yang telah mereka akui.
Kini, satu perjuangan yang dilakukan oleh ISIS (Islamic State in Iraq and Syria), bukan lagi hanya melawan agama lain yang dianggap kafir, mereka bahkan tak rag-ragu lagi memenggal leher orang-orang yang seagama namun tak seiman. Dalam tayangan video-video pelatihan kombatan ISIS yang menakutkan dan telah menebar mimpi buruk, iblis telah disemai sejak dalam pikiran kanak-kanak. Pikiran begitu dekat dengan Tuhan, pun dengan iblis. Pada akhirnya kita akan selalu kembali pada ucapan Budha, “Dirimu adalah apa yang engkau pikirkan”. [T]