Tulisan ini tidak bisa dianggap serius karena dibuat oleh seorang emak-emak yang tengah menunggui kedua anaknya latihan karate. Yang satu usia 9 tahun. Satunya lagi usia 7 tahun. Emak-emak ini lebih memilih untuk memasak ide yang muncul di hape. Duduk mojok nampak bagai autis. Emak-emak itu bercerita seperti ini:
Suatu ketika, sepulang sekolah, anak saya yang nomor dua, menggambar di selembar kertas dan menunjukkannya kepada saya. Katanya itu gambar ayam, dan benar saja gambarnya sangat mirip ayam, kepala, jambul, dua kaki dan sayap. Ada satu mata karena gambarnya menghadap ke samping. Awalnya saya kagum sekaligus bertanya-tanya, bagaimana dia bisa menggambar ayam dengan detail. Di rumah kami tidak punya ayam. Saya pun tak pernah mendikte nya untuk menggambar bentuk. Usut kali usut, ternyata ibu gurunya di sekolah yang mengajarinya. Di hari-hari berikutnya, dia menunjukkan gambar satu keranjang yang berisi buah strawberi, semangka, apel dan jeruk. Dan tentu saja, atas arahan gurunya di sekolah.
Bagi saya ini hal unik sekaligus membuat galau. Menggambar selalu berhubungan dengan imajinasi. Imajinasi adalah hal yang luas dan bebas serta sangat liar dan dinamis. Imajinasi yang tinggi membuat seorang anak menjadi kreatif menghasilkan satu hal dari perspektif berbeda. Jika ibu guru mengarahkan anak menggambar secara spontan tentu dia akan kehilangan satu proses dalam kegiatan seninya dan itu mematikan satu usaha dan eksperimennya. DI hari berikutnya anak saya minta dibuatkan gambar bayi dan kakaknya yang sedang membacakan adiknya buku. Saya menolak dan meyakinkan bahwa dia bisa membayangkannya sendiri serta menggambarkannya. Saya meyakinkan bahwa dia punya imajinasi yang bisa dipakai untuk membuat dan menciptakan apapun. Dia mulai membayangkan dan melukiskannya. Sejak saat itu dia lebih banyak melakukan kegiatan menggambarnya sendiri meskipun kadangkala dia masih rewel minta dibuatkan ini itu.
Orang tua pada umumnya seringkali mengambil sikap ngotot bahwa seorang anak yang menikmati melukis atau menggambar kelak akan menjadi seniman. Beberapa orang tua menganggap bahwa anak-anak (usia dini) harus diarahkan untuk memenangkan perlombaan, karena disamping sebagai bentuk pengakuan atas kemampuan anaknya, memenangkan perlombaan juga menjadi kebanggaan. Anak-anak yang masih berusia dini, sebut saja Taman kanak-kanak, mereka memiliki keinginan sangat besar untuk bereksperimen. Otak mereka didominasi oleh otak kanan. Lebih banyak dipenuhi oleh khayalan, fantasi, imajinasi. Maka tak heran jika banyak orang tua mendapati anaknya melamun dan berbicara atau bermain sendiri dan menciptakan tokohnya sendiri. Anak-anak dan imajinasi adalah dua hal yang melekat dan tak terpisahkan.
Kemampuan menggambar yang ada pada setiap anak usia dini berbeda-beda. Ketika orang dewasa menganggap sebuah lukisan karya anak adalah suatu hasil akhir yang patut dibanggakan baik dari sisi bentuk, komposisi , warna dan ide, namun tak demikian bagi anak. Mereka cenderung mencoba dan mencoba terus hingga mendapatkan bentuk yang disebut hasil akhir atau hasil karya oleh orang dewasa. Bagi anak, eksperimen bentuk berulang dan terus menerus adalah hal yang menyenangkan. Ketika satu bentuk dianggap menggoda, maka bentuk itu akan dibuat lagi pada eksperimen berikutnya hingga dia menemukan bentuk yang diinginkan. Secara singkat, melakukan kegiatan seni melukis adalah proses yang harus dilalui dan sangat dinikmati oleh anak-anak usia dini khususnya dibawah 7 tahun.
Kesalahkaprahan para guru usia dini yang mengajarkan anak didiknya menggambar sesuai dengan runutan atau tuntunan sang guru merupakan hal yang patut diperhatikan. Beberapa fase dialami oleh anak ketika dia menggambar seperti membuat garis lurus vertikal, horizontal, garis melengkung, zig-zag, kotak, lingkaran. Semua dilakukan dengan spontan oleh anak-anak. Sekali lagi, mereka bereksperimen. Anggap saja di hari pertama dia membuat lingkaran. Di hari berikutnya dia membuat lingkaran lagi namun kali ini dengan lingkaran-lingkaran kecil lainnya. Di hari berikutnya, dia membuat garis yang membagi lingkaran itu atau membuat garis di luar lingkaran. Lalu dia mulai membuat matahari. Anak-anak membayangkan dua bola mata dan satu mulut tersenyum lalu membuatnya di dalam lingkaran matahari. Proses ini menyenangkan terutama anak-anak yang memiliki kecerdasan visual lebih besar daripada kecerdasan-kecerdasan lainnya. Namun semua anak memilki imajinasi, dan ketertarikan memang tidak bisa dipaksakan. Beberapa anak lebih menikmati membuat cerita atas gambar yang dia buat dan mampu menceritakan kembali kisah yang dia dengar. Ini berkaitan dengan kecerdasan linguistik.
Terkait dengan lomba mewarnai untuk anak usia dini, memanglah tidak salah. Semua kembali lagi kepada opini masing-masing. Namun melihat kompleksitas otak anak usia dini dan kemampuan visual serta kenikmatan bereksperimennya, masihkah kita sebagai orang dewasa tega memenjarakan proses itu untuk menjadi produk yang ‘notabene’ dibanggakan oleh orangtua sebagai prestasi? Saya rasa bicara masalah kreativitas sebagai sesuatu yang sangat autentik, murni, yang bersifat kebaruan dan tanpa meniru, semua terletak pada anak-anak. Kreativitas adalah hal yang kelak diperlukan hingga dewasa terutama dalam menghadapi permasalahan hidup, mencari solusi alternatif. Bukankah hidup bagaikan permainan catur? Strategi
Strategi cerdas hasil imajinasi dan kreativitas dibutuhkan untuk mengatasi tantangan hidup. Apalagi kita,orang dewasa sudah paham, hidup kadang suka bercanda kan? Sayangnya kreativitas ( untuk melawan lelucon hidup yang menyedihkan) menjadi hal nomor kesekian dan seringkali diabaikan oleh orangtua.
Bicara tentang imajinasi di atas, lomba melukis yang mencari pemenang 1, 2, dan 3, semua menuntut keteraturan, keserasian, keharmonisan serta komposisi, keteraturan dari juri. Ini mematikan spontanitas anak, eksperimen untuk sebuah hal yang disebut produk dan kebanggaan oleh orang tua. Tentu akan sangat bijaksana jika perlombaan yang dirancang untuk anak-anak usia dini dikaji ulang. Misal menjadi lomba melukis/ mewarnai/ membuat sketsa dengan “tema bebas” lalu anak-anak diberikan kesempatan untuk menjelaskan apa yang dia gambar. Anak-anak mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi apa yang menjadi pemikiran uniknya. Bukankah itu kebanggaan sesungguhnya?
Dengan membahas lomba alternatif untuk anak usia dini, maka tulisan ini ditutup dengan segala kerendahan hati. Bagaimanapun dia hanyalah seorang emak-emak yang merasakan kegalauan. Sebetulnya ada keinginan melihat anaknya juara melukis. Membayangkan bangganya nama anaknya dipanggil. Tapi ya sudahlah. Si emak memilih untuk membiarkan saja imajinasi liar si anak tumbuh sesuai fasenya. Dengan ‘speed’ yang normal. Tugasnya hanya mengantar. Mengawasi. Biarkanlah mereka kelak bersahabat dengan hidup. [T]
–(Catatan tidak penting tapi dibikin penting: Emak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penulis sendiri)