Indonesia menjadi salah satu negara yang termasuk dalam kawasan Asia Pasifik. Kawasan yang menduduki peringkat ketiga sebagai wilayah dengan pengidap HIV/AIDS terbanyak di seluruh dunia dengan total penderita sebanyak 5,2 juta jiwa. Indonesia menyumbang angka 620.000 jumlah kasus. Propinsi Bali berada di peringkat ke-5 di Indonesia dengan 21.000 jumlah kasus dan kabupaten Buleleng dengan perkiraan tiga ribuan kasus menjadikannya sebagai kabupaten dengan jumlah kasus ke-3 terbanyak di Bali. Masalah sangat serius yang sebetulnya dihadapi oleh bangsa saat ini bukan saja penyebaran virus HIV itu sendiri, melainkan budaya buruk hipokrit. Ia telah menciptakan sebuah paradoks.
Kasus penderita Aids yang terus bertambah pesat di negeri yang sangat taat beragama, bahkan dengan kecenderungan fanatik. Apa yang salah dengan budaya hipokrit?
Budaya hipokrit atau sifat munafik adalah penyakit yang tak bergejala. Dalam dunia medis, persoalan serius muncul saat suatu penyakit berbahaya dan mematikan tak menunjukkan gejala dan tanda. Ambillah satu contoh klasik lain, hipertensi. Sebanyak 80% penderita penyakit ini tak menyadari penyakitnya, sebuah keadaan “hipokrit biologis”, bahkan saat tekanan darahnya melonjak sampai sistole 200 mm air raksa pun tak memberi keluhan apa-apa, suatu keadaan yang sangat mengancam. Teori inilah yang diadopsi dalam dunia intelejen, mengirim mata-mata atau eksekutor tanpa disadari lalu mengambil kesempatan untuk menusuk melumpuhkan. Budaya hipokrit sebuah bangsa jelas membawa dampak buruk untuk membangun atmosfir keterbukaan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sulit. Berikut satu implikasi sikap hipokrit yang berimbas pada lajunya penyebaran virus HIV.
Sikap seperti itu tanpa disadari telah menutupi mata kita akan realitas penyebab penyebaran virus HIV yang terutama adalah prilaku seks yang tidak aman. Satu prilaku yang menjadi kebutuhan dasar biologis setiap manusia. Lalu bisakah untuk mencegah penularan HIV kita cukup melarang seseorang melakukan seks? Atau mengharuskan melakukan seks hanya dengan satu pasangan saja? Bahkan di seluruh dunia sekalipun, fenomena biologis tak cukup berhasil dikendalikan dengan penekanan moralitas. Ia butuh pendekatan kemanusiaan dan bukan kesucian.
Maka semestinya kita tak malu-malu untuk melakukan pendidikan seks yang lebih lugas dan kampanye penggunaan kondom. Demikian pula pengalaman saya dalam menangani pasien-pasien Aids. Satu prinsip dasar yang dibutuhkan dalam penyembuhan yaitu sikap pasien menerima penyakitnya masih sangat sulit dalam budaya kita. Sebagian besar pasien masih sulit keluar dari fase denial. Ini pun bukan tanpa alasan, ini semua terjadi karena kita sebagai masyarakat, bahkan boleh dikatakan oleh keluarganya sendiri pun masih kerap mengucilkan mereka dalam ruang gelap stigmatisasi. Saya kembali menulis tentang Aids di hari Aids sedunia 1 Desember ini, sebelumnya telah ada dua tulisan terkait HIV/Aids dalam kolom ini berjudul “Anak-anak Kita dan HIV” dan “Tetap Sehat Dengan Kondom”.
Pengalaman Menjadi Relawan Aids
Saya termasuk orang beruntung, karena pernah bergaul dekat dengan kaum ODHA saat mereka masih tampak sangat sehat, karena telah terdeteksi pada stadium awal. Ketika itu infeksi HIV masih menjadi penyakit yang sangat mewah, di tahun sembilanpuluhan. Karena masih merupakan penyakit yang cukup langka dan selalu menjadi sorotan masyarakat. Lain halnya dengan keadaan sekarang saat penyakit ini telah berserakan hampir di setiap RS dan bukan lagi menjadi “barang mewah”. Saat itu, sepulang kuliah saya sering mengisi waktu bersama mereka,
ODHA yang masih begitu muda-muda untuk sharing keliling Bali berbagi soal HIV/Aids. Hal yang perlu dihargai dari mereka adalah, timbulnya motivasi yang kuat dari keterpurukaan dengan prinsip “Bagi kami saat ini bukanlah panjangnya hari, melainkan artinya hari”. Mereka paham, dengan tingkat kesembuhan yang rendah dan besarnya risiko infeksi opurtunistik (infeksi yang disebabkan karena penurunan daya tahan tubuh dalam lingkungan yang banyak kuman) hidup mereka takkan terlalu panjang. Maka dengan pengalaman buruk riil yang mereka alami akan menjadi pesan yang cukup kuat untuk generasi muda lain dalam komunitas untuk berprilaku lebih aman, syukur-syukur bisa bersikap lebih baik.
HIV Yang Unggul
Saat ini pun, bersama Yayasan Sesama Singaraja saya masih beruntung karena tetap dapat membantu pasien-pasien Aids, dalam pengobatan maupun memberi dukungan dalam berbagai hal. Bedanya saat ini pasien-pasien yang saya hadapi adalah mereka yang sudah dalam keadaan-keadaan sangat lemah dan sakit berat. Ini, sepertinya sesuai dengan teori tiga epidemi HIV yaitu pertama epidemi infeksi HIV pada kelompok penduduk Afrika sub Sahara, kedua epidemi penularan HIV ke seluruh dunia dan ketiga epidemi pasien-pasien pada fase Aids.
Seoalah-olah ini memang sebuah siklus yang saya pun harus jalani. Saat remaja dulu, pada masa kuliah saya berteman dengan ODHA yang tampak masih sehat, bersama-sama menjadi volunteer sebagai pendidik sebaya. Saat ini ketika sudah menjadi dokter ahli penyakit dalam, saya melayani mereka, ODHA yang sebagian besar dalam keadaan sangat buruk dalam ancaman kematian. Dalam kurun waktu dari awal sembilanpuluhan hingga sekarang (30 tahun), melihat keadaan seperti ini, rasanya kita harus mengakui kita telah gagal dalam penanggulangan penyebaran HIV. Virus ini tetap memimpin.Berbagai
Mitos
Serius, kita betul-betul kalah menghadapi virus bengal ini. Padahal dalam ilmu jasad renik (mikrobiologi), virus ini aslinya sedemikian rapuh. Mati seketika saat kena sinar matahari atau air sabun. Pastilah ada yang salah di sana, kenapa ia lestari bestari. Kita kalah karena tak betul-betul mau berhadapan dengan virus dan penyakit ini. Kita selalu mengucilkannya, menyangkal keberadaannya bahkan cuma mengarahkan kebencian.
Kita terus membangun lorong gelap stigma kepada penderitanya, menghindari mereka alih-alih memeluknya. Lorong gelaplah yang menumbuhkan mereka dengan subur, saat tak ada sinar mentari di sana. Bahkan takut memandikan jasad mereka yang sudah takkan menularkan apa-apa lagi. Mungkin akan ada obat-obat yang semakin hebat, namun tanpa kasih sayang dan spirit humanisme itu takkan cukup berarti. Stop Aids right now! [T]