Seorang penulis, wartawan, sekaligus editor, yang esainya selalu saya tunggu setiap hari Minggu, esai yang selalu dimuat di kolom ‘Jeda’ detik.com, sang maestro, sang idola, Mumu Aloha menulis esai berjudul Senja Sehabis Hujan yang Ditunggu-tunggu membuat saya semakian mengidolakannya. Di tengah-tengah huru-hara zaman seperti ini, esai Mumu Aloha memang semacam oase di tengah gurun pasir yang gersang. Menjadi semacam penghilang dahaga dikala kita merasa tenggorokan begitu kering; dan segera membutuhkan air sebagai obat penawarnya.
Kali ini Bang Mumu (begitu saya memanggilnya walaupun saya belum pernah bertemu sekalipun dengannya) menulis esai tentang suhu Bumi yang semakin memanas—yang menewaskan manusia dibanyak tempat—dan perubahan iklim yang tidak menentu. Tulisan ini, mengingatkan saya pada sebuah buku karya Jostein Gaarder—penulis bestseller ‘Dunia Sophie’—yang berjudul Dunia Anna.
Dalam Dunia Anna, ada sebuah dialog yang selalu saya ingat. Dialog antara Anna dengan Dokter Benjamin—seorang laki-laki berusia sekira 60 tahun, rambutnya panjang dan beruban, serta diikat ekor kuda. Di salah satu cuping telinganya ada anting bintang violet kecil, dan di saku jas hitamnya ada sebuah pena merah. Pandangan matanya tampak jenaka dan sangat menunjukkan ketertarikan dan perhatian kepada Anna saat bercakap-cakap.
Dokter Benjamin bertanya: “Ada sesuatu yang kamu khawatirkan, Anna?” Anna lansung menjawab: “Pemanasan global.” Dokter penyabar itu sedikit terkejut. Dia jelas-jelas seorang dokter berpengalaman. Baru kali ini dia tampat terkejut dengan jawaban Anna, lalu dia bertanya lagi: “Apa yang kamu bilang barusan?”
Anna menjawab: “Saya bilang kalau saya khawatir akan perubahan iklim yang diakibatkan oleh ulah manusia. Saya takut kalau kita yang hidup saat ini mempertaruhkan iklim dan lingkungan bumi ini tanpa memedulikan generasi selanjutnya.”
Sang psikiater terperenyak beberapa detik sebelum menjawab: “Mungkin itu sebuah ketakutan yang nyata, yang sayangnya tidak bisa saya sembuhkan. Kalau saja kamu bilang takut pada laba-laba, mungkin akan lain kejadiannya. Itu adalah masalah fobia, dan itu bisa diterapi, misalnya dengan desensitiasi secara bertahap atas objek fobia itu. Namun, kami tidak bisa mengobati ketakutan pasien akan pemanasan global.”
Pemanasan global. Tentu saja saya bukanlah seorang aktivis lingkungan yang berjuang mengampanyekan pentingnya menanam pohon agar miliar ton CO2 yang dilepaskan manusia di atmosfer dapat diatasi, atau gadis remaja seperti Anna yang memiliki ketakutan yang tidak biasa—yang bahkan seorang psikiater berpengalaman pun tak bisa menyembuhkan ketakutannya. Meskipun begitu, sebagai seorang manusia normal, untuk merasakan dampak pemanasan global, tentu saja saya sadar akan hal itu.
***
Saya mendapat kabar dari kampung halaman saat saya menelpon Emak (saya rindu nian, semoga bulan ini Tuhan dan semesta mengizinkan saya untuk bisa pulang kampung barang sejenak), katanya di kampung saya, yang datang hanya gerimis yang malu-malu seperti perawan yang hendak dinikahkan. Mungkin bagi sebagian orang, turunnya hujan tidaklah penting, tapi bagi orang-orang kampung saya, datangnya hujan adalah soal berlangsungnya kehidupan itu sendiri.
Turunya hujan, bagi orang-orang kampung saya—yang notabene mayoritas petani—seperti turunnya sebuah keajaiban itu sendiri. Hujan turun, artinya bibit jagung, cabai, kacang tanah, singkong, bisa segera ditanam. Semakin cepat hujan turun, semakin bahagia orang-orang kampung saya. Begitupun sebaliknya, semakin lama hujan turun, semakin sengsaralah mereka. Maka, turunnya hujan bagi mereka adalah segala-galanya.
Soal musim hujan, orang-orang di kampung saya sudah tak lagi memakai primbon untuk menghitung musim dan menyesuaikan tanaman dan waktu panen di sawah dan ladang. Primbon—seperti saya kutip di majalah Forest Digest—yang berasal dari perhitungan-perhitungan kuno berdasarkan pengalaman sehari-hari, tak lagi sesuai atau bisa memprediksi perubahan cuaca. Setiap tahun ada perubahan-perubahan waktu tanam karena palawija tak sesuai dengan iklim yang berganti. Musim hujan tak lagi terjadi pada kurun September-April, tapi bulan-bulan kering antara Mei-Agustus.
Penyair Sapardi Djoko Damono—seperti yang tertulis dalam majalah Fores Digest (2019)—, mesti membuat satu puisi lagi untuk menyesuaikan perubahan iklim ini.
Ketika ia menulis Hujan di Bula Juni dan diterbitkan oleh Grasindo pada 1994 (atau pertama kali terbit di surat kabar tahun 1989), musim masih sesuai dengan penanggalan primbon. Dalam sajak itu, Sapardi menggambarkan bahwa hujan bulan Juni sebagai ketabahan karena air jatuh dari langit itu salah masa: rintiknya menghapus jejak kemarau yang panjang. Tapi kini, hujan bulan Juni bukan lagi metafora untuk ketabahan karena pada pertengahan tahun itu di beberapa daerah justru sedang banjir. Di Jakarta, pada Juni 2018, tinggi banjir mencapai satu meter.
Jarak antara puisi Sapardi dengan hari ini mungkin sekira 30 tahun. Dalam kurun itu cuaca berubah, iklim berganti dan penanggalan primbon tak berlaku lagi. Perubahan-perubahan cuaca yang pendek itu menunjukkan bahwa ada yang sedang berubah (tidak baik-baik saja) di alam semesta.
Apa penyebab perubahan iklim ini? Tentu saja suhu Bumi yang semakin memanas (itu semua akibat aktivitas manusia dan segala penghuninya).
Benar atau tidak, kata Goddard Institute for Space Studies (GISS), lembaga penelitian semesta milik NASA, mencatat suhu bumi naik 0,8 derajat Celcius sejak 1880, seratus tahun setelah dimulainya Revolusi Industri, ketika era pertanian berubah menjadi pengolahan barang di pabrik. Sebab, dua pertiga kenaikan tertinggi dimulai sejak 1975 sebesar 0,15 – 0,2 derajat Celcius per dekade.
Tentu saja ini bukan mitos, seperti yang diyakini Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Udara panas yang terjadi akibat perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global memang bukan sebuah dongeng. Kita merasakannya, walaupun belum “separah” cerita-cerita dari negeri yang jauh—yang sudah dituliskan oleh Bang Mumu dalam esainya. Tetapi tetap saja, hal ini tidak bisa kita pandang remeh.
Oh iya… terkahir, hampir saja saya lupa, melalui telpon, Emak menceritakan kepada saya bagaimana pohon-pohon bambu di sepanjang jalan di kampung saya telah habis ditebang. Pohon-pohon bambu yang sudah ada sejak dulu sebagai pagar kampung dan pemecah angin itu, kini hanya tinggal batang-batang kering yang kurus dan ranggas.
Alasannya tidak jelas, kenapa pohon-pohon warisan leluhur itu dibumi hanguskan. Mendengar berita ini dari Emak, rasanya seperti ada benda tajam yang dihujamkan ke dada saya. Saya benar-benar tidak habis pikir, kenapa orang-orang itu begitu tega menghabisi sumber-sumber oksigen itu. Sampai di sini saya tidak bisa meneruskan. Hanya saja, semoga kita tidak mewariskan “air mata” kepada generasi yang akan datang, alih-alih mewariskan “mata air” kepada mereka.
Ibu Bumi, maafkan kami.
Jumat, 29 November 2019.