- Judul : Api Kata
- Penulis : Kim Al Ghozali AM
- Penerbit : Basabasi, 2017
- ISBN : 9786023913336
- Jumlah Halaman :107
___
Kim Al Ghozali AM tak menentukan untuk menjadi siapa dan apa! Tapi ia lebih mementingkan menjadi botol kosong: menerima segala bentuk cairan, entah itu miras ataupun zamzam. Hal semacam itu tidak hanya ia kutuk ke dalam diri sendiri, tetapi juga ia berlakukan untuk diri yang lain: diri yang hidup dalam Api Kata.
Buku kumpulan puisi ini jika dilihat dari judulnya Api Kata merupakan transformasi dari sebuah judul puisi pada halaman 79 buku ini, yaitu “Bara Api Kata”. Puisi dalam “Bara Api Kata” oleh penulisnya ditujukan khusus untuk Umbu Landu Paranggi selaku guru yang telah menjadikannya yakin pada jalan puisi, begitupun bimbingan-bimbingan yang tiada lelah, seperti yang disampaikan pada akhir pengantar.
Membaca puisi-puisi dalam buku Api Kata seolah-olah juga tertarik-terseret untuk mengenali sosok penulisnya yang memiliki pola pandang yang luas dan antikemonotonan. Hal tersebut bisa dilihat pada puisi pembukaannya yang begitu kuat menyajikan pandangan sufistik: tak ada sayap di punggungku / sebagai nabi mikraj melintasi/ batas burung-burung terbang// (“Musahab Puisi Tercipta” hlm. 11). Tentu hal ini adalah suatu cara untuk meminta kembali dan lebur pada masa lampau. Mengenang waktu-cerita yang keberadaannya telah terjadi berabad-abad yang lalu dan mencoba menjadi pengingat tentang perjalanan yang dilakukan Sang Nabi dari Masjidilaqsa ke Sidratulmuntaha (langit ke tujuh). Bahkan ungkapan-ungkapannya terus diperkuat dengan narasi-narasi baru, sekalipun terhimpun dalam satu judul: kata satu-satunya/ bekal manusia pertama turun/ ke dunia// kata adalah mahluk sorga// (“Musahab Puisi Tercipta” hlm. 12) . Ungkapan-ungkapan ituterus-menerus menguatkan kejadian-kejadian heroik di masa lalu dan menghadirkan Adam dan Hawa sebagai pemilik segala kata yang diwariskan Tuhan dari surga.
Penulis merasa tak cukup menggambarkan pola pandang sufistik yang dituangkan untuk mengawali 40 puisi yang terhimpun dalam buku Api Kata. Oleh karena itu, ia terus-menerus bertualang untuk mencari diri-diri, pola pandang yang lain: pada lekuk bibir perempuan rusia/ masih mengalun nada-nada pesta/ bau wiski/gelayut sepi/ dan kami terus terjaga/ bulan karam di atas meja makan/ sebuah hotel/ malam bikin kota jadi sedih/ lampu sepanjang jalan/ menyeret musik ke dalam mimpi// (“Suatu Malam di Sebuah Hotel” hlm. 17).
Pengeksploitasian diri dalam penggalan bait ini menggambarkan keliaran seorang penulisnya. Menunjukkan bagaimana mengemas penguasaan indra untuk menjadi pengamat dan peneliti atas sesuatu yang pernah dilihat, dirasakan, dan menjadi pelaku tanpa campur tangan sesuatu di luar dirinya. Lalu kami pergi seketika/ dari kamar hotel di pembaringan/ pada tanah dan kesia-siaan ini/ yang tak lagi cinta// (“Suatu Malam di Sebuah Hotel” hlm. 19).Dalam penggalan puisi tersebut, kata digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih besar dari kata-kata itu sendiri, yaitu tentang diri si penulis.Ia Mengungkapkan perjalanannya tentang kehidupan seorang penulis yang benar-benar berposisi sebagai botol kosong. Tidak ingin menjadi otonom yang monoton atas entitas diri: karakter maupun kefanatikan ideologi.
Terlepas dari hal itu, penggalan puisi ia paham/ langkah hanya tertuju pada tugu perbatasan/ dan tak ada yang bisa ditinggalkan/ selain kenangan bagi seorang kawan/ serta kekasih/ atau cinta juga keisengan masa remaja// kini pertanyaan panjang akan cemas kematian/ segera terjawab ketika badan sudah terbujur/ tanpa beban// (“Menjelang Eksekuti Mati” hlm. 29)menggambarkan tentangkembali menjadi sosok baru layaknya seorang sejarawan yang takingin tertinggal oleh segala peristiwa. Tentunya hal ini sangat relevan dengan pernyataan Wellek dan Werren (dalam I Wayan Artika, 2016), yaitu sastra menceritakan sejarah sehingga sastra dapat dipandang sebagai dokumen sejarah. Dalam buku puisi ini, sejarah tidak hanya menjadi cerita yang merekam segala bentuk-bentuk peristiwa lampau, tetapi juga dipelintir menjadi pemberi pesona hias yang luar biasa dengan pilihan-pilihan diksi yang bisa dinikmati: terlebur ke dalam setiap kata-kata dengan makna yang sulit rampung.
Tidak cukup hanya sampai di situ, sang penulis terus menggali diri, melompati bentuk-bentuk yang telah dijajaki semasa perjalanan atau pencarian jati diri yang tak pernah selesai. Sosok realisme yang dibagun semakin menjadi-jadi: kuat dan teguh. Bahkan kentara seperti yang berusaha digamparkan pada penggalan puisi berikut. Sebuah tempat/ menghimpit/ ketegaran dan keberanian/ darah panas dan kehormatan/ di sini jimat besi berkilau telah/ tersarung dan tergantung/ sebagai sejarah atas darah/ mengalir sia-sia; mungkin juga kasta/ bagi kelelakianmu// (“Jeruji” hlm. 31).Hal ini seakan menjadi penjara bagi kata-kata dan bait-bait yang lahir karena kata dibuat begitu tajam untuk mengungkap sebuah peristiwa kelam yang pernah disaksikan oleh mata ataupun telinga. Sang diri penulis pun mencoba menempatkan bahasa sebagai penyalur dan pengungkap rahasia-tersebunyi. Dalam hal ini, seolah bahasa menjadi seorang petugas kebersihan yang keras kepala ingin menyapu segala sampah kebohongan.
Namun, hal yang sedikit berbeda disampaikan dalam penggalan puisi berikut: tapi ia—yang telah ibrahim temukan/ dalam pengembaraan sunyinya—tak akan meninggalkannya dalam detik-detik/ menjelang celaka// (“Pembakaran Ibrahim” hlm. 42).Diri yang hadir pada puisi dan penggalan bait tersebut seolah mengambarkan sosok kanak-kanak yang begitu mudah menerima dan mengangkat persoalan mitos-mitos, sangat polos, juga lugu. Hal yang sama terlihat pada penggalan puisi karena cinta/ kau rengut segala/ daya kusimpan//tak ada birahi// mawar dan lembut rambutmu terbit/ dari sepasang angin-gelombang// (“Sebab Cinta” hlm.43) yang begitu lembut menggambarkan erotisme. Sama seperti yang terangkum di halaman berikutnya, kubikin cahaya dari serpih mimpi semalam/ kekasih/ kristal mawar akan segera memenuhi lembah kita/ impian-impian kita/ dan kita menyaksikan hari-hari/ keluar masuk dari pintu waktu// (“Prelude” hlm. 45),kata seolah menjelma nyanyian-nyanyian paling damai yang muncul dari dalam goa kesunyian dan menggambarkan gairah yang berkaitan dengan erotisme. Begitu anggun, indah, takada sedikitpun kegalakan yang dipamerkan, kecuali estetik-puitiknya. Peralihan diri penulis untuk menjadi sosok selanjutnya tetap dipertahankan dengan penuh ketidakpuasan: tidak ingin menjadi sesuatu yang satu ‘monoton’. Tetapi ingin menjadi sosok yang terus mengalami perubahan ‘berganti-ganti’ dengan penuh pencarian jati diri yang disampaikan jati diri yang disampaikan lewat kata dalam puisi-puisinya.
Kampung halaman yang begitu dekat dengan sosok kehidupan penulis masuk menjadi objek penting dengan gaya ungkap surialisme sehingga terus menimbulkan kebaruan di antara yang masih baru [dalam artian, kebaruan yang terwakili oleh kata-kata dalam setiap puisi yang terkumpul dalam buku Api Kata untuk menggambarkan kebaruan yang dimiliki penulisnya], seperti pada penggalan puisi batu yang menggelinding/ menjadi kampung/ kampung batu/ hati sekeras batu/ para lelaki dengan badan tegap/ dan kaki-kaki besi/ memacu kuda api/ memacu kuda api/ menembus belantara sepi/ menelusuri rimba suci// (“Watu-Ewuh” hlm. 89). Dari dalam kampung kata-kata digaungkan menjadi sedemikan rupa, warna, dan pesona yang tak semua orang bisa memilikinya. Penggalan bait ini oh alam malam yang bening dan hening/ dua kali kecil berjumpa di ujung desa/ percik air bersuara ganjil, burung-burung malam/ ikan jadi-jadian/ monyet-monyet kutukan/ dan pohon beringin keramat// (“Balada Malam Desa” hlm. 97) seolah adalah penghantar untuk memasuki “pintu gaib” kampung yang sedang ingin disampaikan oleh Sang Diri Penulis. Ia mencoba memberita tahu tentang hal-hal yang ada di kampung yang tak semua orang bisa menyaksikannya, seperti adanya ikan-ikan gaib, monyet yang sejatinya bukan sebangsa monyet, dan pohon beringin yang angker yang semuanya ada tanpa harus percaya dengan keberadaannya.
Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah kegigihan sosok Sang Diri Penulis yang bersedia membuka pintu atas diri selebar mungkin, bahkan tidak terbatas. Ia bersedia menampung segala bentuk yang kemudian dihidupkan ke dalam kehidupan puisi yang merupakan hasil olahan dari dunia nyata. Persoalan-persoalan semacam ini bisa menjadi hal yang sulit, terutama terkait pemaduan segala bentuk: pengetahuan, paham, agama, karakter, dan sebagainya, yang ternyata dapat diselesaikan secara tuntas oleh Sang Diri Penulis (Kim Al Ghozali AM) dalam kumpulan puisinya. Keluwesan tersebut tidak mungkin semata-mata tanpa dasar dan tujuan. Kalau melihat pernyataan Mahmoed Darwish dalam sebuah puisinya yang diterjemahkan oleh M. Bundhowi: sebuah puisi di waktu yang sulit/ adalah bunga-bunga indah di atas kuburan, kemungkinan Kim Al Ghozali AM juga ingin bermakna seperti yang disampaikan Mahmoed Darwish dalam puisi tersebut. Ia menemukan keindahan dalam kepelikan. Ia memposisikan diri sebagai anomali. Ia menjadi apa saja dalam dalam puisi-puisinya. [T]