Oleh: Wisnu Suryaning Adji, Co-Author Rahasia Salinem
____
Buku Rahasia Salinem akan diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival 2019 pada hari Jumat 25 Oktober 2019. Selain launching, nantinya juga akan ada dramatic reading, bedah naskah, kemudian bedah teknis. Berikut saya lampirkan e-flyer dan materi untuk acara tersebut. Untuk RSVP kehadiran, silakan klik link berikut: http://bit.ly/rahasiasalinemuwrf
____
Novel ini ditulis oleh dua orang, dan rasanya tulisan ini tidak lengkap jika saya tidak menjelaskan bagaimana penulisan novel Rahasia Salinem diawali. Novel ini bukan novel sejarah kalau yang dimaksud adalah novel yang secara langsung bercerita tentang sejarah Indonesia dalam kacamata narasi arus utama kesejarahan. Sebaliknya, novel ini memandang sejarah sebagai sebuah narasi samping, yaitu bagaimana sejarah memiliki efek bukan hanya terhadap wacana kebangsaan melainkan juga manusia-manusia yang hidup di dalamnya—narasi lain kejadian yang terjadi di luar narasi besar namun terkena imbasnya. Jadi, mungkin, lebih tepat jika saya menyebut Rahasia Salinem adalah novel keluarga yang berlatar sejarah.
Tokoh Salinem sebagai protagonis utama novel ini (meminjam istilah Bernard Batubara dalam resensinya) adalah baut kecil bagi keutuhan sebuah keluarga yang terseret dalam arus sejarah Indonesia di Surakarta pada 1924 sampai 1969. Namun, novel ini ditulis dalam dua latar waktu utama yaitu potongan masa kehidupan Salinem antara 1923-1978, dan potongan masa kehidupan Tyo—cucunya—pada 2013-2019.
Cerita tersebut bergerak akibat dua benda yang menyimpan misteri yaitu Bumbu Pecel dan sebuah tembang yang ternyata menyimpan rahasia kehidupan Salinem di masa lalu. Cerita-cerita kehidupan Salinem yang nyaris hilang terkubur saat kematiannya di tahun 2013 ternyata muncul kembali seiring penemuan tembang itu oleh Tyo, sang cucu. Cerita berlanjut akibat adanya perbedaan persepsi dalam kepala Tyo dan kenyataan yang sebenarnya terjadi atas tokoh Salinem. Tyo yang selama hidupnya menyakini bahwa Salinem adalah nenek kandungnya menemukan fakta bahwa ternyata Salinem tidak lebih dari pembantu rumah tangga keluarga mereka. Bagaimana ini bisa terjadi? Saya mempersilakan Anda untuk membaca langsung saja novel tersebut agar saya tidak perlu memberi bocoran.
Di sanalah Tyo menemukan bagaimana perempuan-perempuan dalam keluarga mereka berperan dalam mengalirkan sejarah keluarga kecil mereka ke masa depan.
Tidak bisa saya pungkiri, sebagai penulis laki-laki, menemukan sudut pandang perempuan dan memunculkannya dalam naskah bukanlah perkara sederhana. Keuntungan yang saya pegang adalah tokoh Salinem (sesungguhnya) adalah tokoh yang benar-benar pernah hidup di kenyataan. Salinem adalah nenek angkat Brilliant Yotenega (Mas Ega) yang bersama saya menjadi co-author novel ini.
Ini adalah salah satu perihal yang sering ditanyakan oleh pembaca, bagaimana dua orang menulis novel secara sekaligus? Tentu saja, jawaban sederhananya adalah pembagian tugas. Dalam hal ini, Mas Ega adalah pemilik cerita asli dari tokoh Salinem (seluruh data tentang sosok asli Salinem dan jalan hidupnya saya dapatkan dari Mas Ega), dan saya adalah penulis yang bertugas merangkai ulang jalan cerita sehingga menjadi novel fiksi. Jadi, apakah novel ini biografi? Kami dengan tegas menyatakan: Bukan. Novel ini bukanlah karya biografi, dan statusnya tetap boleh dianggap sepenuhnya fiksi.
Akan tetapi, status nonfiksional dari tokoh Salinem-lah yang membuat saya mampu menangkap data secara sederhana (walau tidak berarti mudah) untuk kemudian dikonversi sebagai sebuah novel fiksi.
Memang, kali pertama Mas Ega menghubungi saya untuk membantu penulisan kisah Salinem, pertanyaan awal saya adalah Apakah kisah ini sebuah catatan biografi? Dan, lewat berbagai pembicaraan, akhirnya disepakati untuk merilisnya dalam bentuk novel fiksi. Hal utama yang dipertahankan adalah semangat dan jiwa dari sosok Salinem yang gambarannya saya dapatkan melalui proses riset yang melibatkan keluarga besar Mas Ega. Kami berdua sangat berterima kasih pada keluarga. Untuk selanjutnya, (sebagaimana karya fiksi lain) saya memiliki kebebasan untuk mengekspresikan bentuk cerita dan tulisan yang dipergunakan.
Salah satunya adalah pilihan untuk merepresentasi perempuan-perempuan dalam novel ini sebagai sosok-sosok yang kontekstual dengan kondisi perempuan di zaman kekinian, walau penceritaannya terjadi di masa lalu. Sosok-sosok perempuan dalam novel ini digambarkan memiliki kesadaran penuh tentang diri mereka sendiri dan mampu menempatkan diri dalam konteks kehidupan di masa itu. Perempuan-perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang mandiri. Ini bukan hal yang mudah mengingat pada tahun-tahun tersebut kesetaraan peran bukanlah isu yang sudah dibicarakan secara luas dalam masyarakat Jawa. Secara umum, paradigma mengenai perempuan di masa itu adalah (tidak dapat dipungkiri masih terjebak dalam) pengabdian dan ketundukan pada suami semata. Sementara, kebalikannya, paradigma yang saya gunakan dalam novel ini adalah kerja sama antara dua gender di dalam konteks keluarga Jawa.
Demi kepentingan cerita, isu-isu keperempuanan dalam Rahasia Salinem tidak saya munculkan secara langsung melalui kalimat, namun dihidupkan melalui adegan-adegan yang saya harap mampu merepresentasi bagaimana kerjasama kedua gender adalah hal yang lebih utama dibanding dikotomi perempuan-lakilaki yang sangat patriarkal. Misal: muncul adegan-adegan Gusti Kartinah—majikan sekaligus sahabat tokoh Salinem—bekerja sama dengan suaminya—Gusti Soekatmo dalam membangun bisnis percetakan; dan bagaimana sosok Salinem turut mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan sebagai penyelundup senjata pada masa pendudukan Jepang di Surakarta; selain, adegan-adegan lainnya.
Walau begitu, novel ini tidak secara khusus ditujukan sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki Jawa (unsur-unsur perlawanan kepada budaya patriarki muncul secara subtil dalam novel ini), justru novel ini mencoba mencari jalan tengah antara peran laki-laki dan perempuan sebagai bentuk kerja sama yang mutual. Perempuan-perempuan dalam novel ini dibangun sebagai sosok-sosok yang kuat sambil tetap menjaga agar kekuatan perempuan tidak menjurus kepada pemojokan sosok laki-laki. Saya menghindari stereotipikal laki-laki penindas, sebagaimana saya juga menghindar stereotipikal perempuan yang lemah. Sejarah sudah membuktikan bahwa di tengah budaya yang patriarkis tetap ada sosok-sosok perempuan kuat yang memiliki peran besar.
Dalam novel ini digambarkan bagaimana sosok Salinem (dan, Gusti Kartinah) ikut serta dalam narasi kecil sejarah dan bertahan di sana. Peristiwa-peristiwa sejarah tidak hanya berpengaruh kepada sebuah bangsa, melainkan pengaruh itu meresap hingga ke titik-titik terkecilnya: Manusia. Perang Kemerdekaan, Masa Pendudukan Jepang, Peristiwa ’65, dan berbagai kejadian besar lain telah mengubah dan berimbas kepada kehidupan orang-orang yang hidup di sana. Di antara orang-orang itu, ada peran perempuan.
Tentu saja, ini jadi menimbulkan pertanyaan: Benarkah relasi kuasa lakilaki-perempuan yang berimbang memang ada dalam budaya Jawa saat itu? Sekali lagi, kacamata kesejarahan yang saya gunakan adalah kacamata mikro, sejarah yang dipandang dalam konteks keluarga dan pribadi-pribadi yang saling bersinggungan di dalamnya. Saya berpegang pada kemungkinan bahwa budaya adalah sesuatu yang sifatnya transaksional dan melalui proses penyaringan ketika akan diadaptasi dalam konteks mikro. Budaya umum yang muncul secara patriarkis belum tentu menghasilkan bentuk keluarga yang seragam patriarkisnya. Tetap dapat dimungkinkan adanya keluarga-keluarga yang egaliter sebagaimana yang saya temukan ketika riset novel ini dilakukan.
Toh, kalaupun novel ini tidak berdasarkan sosok dan keluarga yang nyata, fiksi memang bermain di ranah-ranah kemungkinan.
Apakah pembaca menilai secara serupa? Jujur saja, saya tidak tahu. Namun, kami berharap agar Novel Rahasia Salinem dapat memberikan manfaat dan menjadi wacana baru mengenai kesetaraan peran perempuan dan laki-laki yang tidak lagi terjebak dalam dikotomi gender melainkan dipandang melalui kacamata kemanusiaan yang lebih luas. [T]