Edisi 26/8/2019
KOPLAK terdiam, pikirannya kacau balau. Perasaannya sulit dideteksi. Pokoknya seumur hidup baru kali ini Koplak merasakan perasaannya yang sangat tidak nyaman, sejak bangun pagi dadanya terasa sesak, sulit sekali bernafas. Entah dada yang mana, pokoknya sangat menganggu bahkan menarik nafas saja sulit. Pikiran Koplak pun berkelana, teringat kata-kata mendiang neneknya, seorang Ida Ayu dan sering sekali berkata, melahang nampih papineh – berusahalah menata hati dan pikiran biar tidak rusuh jiwa dan raga. Mungkin itu terjemahan bebasnya ala Koplak..
Kata-kata yang sering diucap perempuan tua yang sampai ajal menjemputnya Koplak masih merasakan hawa kebangsawanan yang melumuri perempuan tua itu, kecantikannya juga tidak pernah luntur. Koplak kadang membayangkan, pasti Neneknya itu perempuan paling cantik yang dimiliki desa mereka. Anehnya, perempuan secantik itu bersedia menemani Pekak, kakek Koplak sampai ajal menjemput sang Pekak, Nenek Dayu begitu biasanya Koplak memanggil perempuan tua itu, perempuan tua yang tidak mau dipanggil Odah. Katanya lebih baik dipanggil Nenek saja oleh cucu-cucunya kelak, juga oleh para menantunya.
Nenek Dayu bisa hidup santai bersama Pekak karena perempuan itu menurut perasaan dan pikiran Koplak hidup dijalananinya dengan ringan, mungkin karena itulah perempuan tua sekaligus satu-satunya perempuan paling cantik yang pernah dilihat Koplak semasa hidup. Kemitir pun kalah cantik. Nenek Dayu itu bukan tipe pengatur, Kemitir tipe pengatur.
Dada sebelah kanan terasa sakit, Koplak menarik nafas dalam-dalam. Tidak menolong, gerakan yoga yang diajarkan Kemitir justru membuat dada yang sebelah kiri juga makin sakit. Koplak semakin gelisah, keringat dingin mulai memandikan tubuhnya. Koplak menggigil. Lalu, semua berubah gelap!
***
Begitu membuka mata Koplak sudah bertemu dengan wajah Kemitir, bukan wajah nenek Dayu yang menyejukkan, wajah Kemitir terlihat besus, judes Koplak paham dari gerak mata Kemitir, Koplak paham banyak hal yang akan dibicaakan perempuan itu. Koplak pura-pura memejamkan mata, wajah Kemitir masih di depan wajahnya.
Akhirnya Koplak menyerah, ketika anak perempuan semata wayangnya itu belum juga membuka mulut, dia justru berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan. Koplak menarik nafas pelan-pelan, takut sekali dengan rasa sakit yang terasa menguliti tubuhnya. Sakit apa aku ini? Usiaku belum 50 tahun, sakit apa yang mengulik tubuhku?Apa amah leak? Dimakan ilmu hitam?
Koplak menimbang sendiri sambil tetap memicingkan mata berusaha menerka, berusaha menebak kata-kata yang akan meluncur dari bibir Kemitir. Koplak tahu persis Kemitir pasti akan ceramah “kebudayaan” seperti biasa tentang aturan-aturan hidup dan lain-lain. Hyang Jagat! Koplak menenangkan diri.Mungkin karena hidup Kemitir penuh aturan tak ada lelaki yang pernah ditenteng Kemitir dihadapan Koplak. Koplak menggigit bibirnya. Memicingkan mata kanan, wajah Kemitir justru dalam kondisi marah kok justru makin Jegeg, cantik ya?
“Bape, Bapak tahu kenapa saat ini berada di rumah sakit?” Suara Kemitir hampir saja membuat lepas satu sulur sarafnya. Rumah sakit? Waduh-waduh bagaimana ini? Koplak menggigil.
“Apa dokter atau petugas medis yang lainnnya sudah memasukkan obat ke dalam tubuh, Bape?” tanya Koplak terbata-bata. Kemitir mengangguk cepat.
“Kemitir kan sudah sering berkata-kata pada Bape, minum obat yang rajin. Minum obat yang teratur.”
“Apa aku sakit jantung? Karena kemarin jantungku berhenti berdetak!” Jawab Koplak serius dan cepat. Kemitir mendelik.
“Tidak hanya jantung, ginjal, dan seluruh organ di dalam tubuh Bape juga bisa raib, kalau Bape masih bengkung, bandel. Mengerti apa yang Kemitir katakan?” Kemitir berkata serius. Koplak terdian. Dia teringat seorang Ibu yang hamil yang berada di Jakarta setelah periksa ke Puskesmas ternyata bukannya sembuh justru muntah-muntah, setelah ditelisik, diduga obat yang diberikan kadaluarsa. Koplak menggigil.
Tahukah Kemitir kalau belakangan ini setiap minum obat Koplak justru merasa takut dan cemas, bukannya sembuh justru menambah bebab. Bagaimana kalau obat diabetes yang biasa ditelan Koplak palsu? Bagaimana kalau kadaluarsa? Terus kalau Koplak mati berarti mati konyol! Siapa yang akan mengurus desanya, karena saat ini adalah jabatan Koplak yang kedua, jabatan yang tidak memiliki beban. Koplak terdiam memandang mata dan bibir Kemitir yang terus memberi ceramah.
Tahukah Kemitir kecemasannya? Rasa takut dalam dirinya? Bagaimana Kemitir tahu obat yang biasanya dibeli Koplak selalu obat generik. Kata teman Koplak kalau menggunakan kartu BPJS biasanya pelayanan agak lama. Koplak terdiam ketika Kemitir berkata.
“Merawat kesehatan itu mahal, jika sakit lebih mahal lagi. yang tertib minum obat, Bape. Bape kan bukan anak kecil lagi.” Kemitir mendelik menyodorkan obat kepada Koplak. Koplak justru berkeringat dingin. Pikirannya dipenuhi beragam rasa takut dan kuatir.
Kalau aku mati bagaimana? Tidak jantan mati karena meneguk obat kadaluarsa kan?! [T]