Wayang Wong Tejakula, Buleleng, diperkirakan usianya sekitar tiga abad. Namun hingga kini tetap bertahan. Bahkan ketika tampil dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 di Kalangan Angsoka Taman Budaya Denpasar, Senin pagi, 18 Juni 2019, kelompk kesenian ini diisi oleh penari-penari muda, sejumlah di antaranya masih duduk di bangku SMP.
Jadi, siapa regenerasi dalam kesenian langka di Bali macet? Tidak. Regeranasi tetap berlangsung, pelan, perlahan.
Dalam penampilannya, Wayang Wong Tejakuka yang bernaung dalam Sekaa Wayang Wong Guna Murti mempersembahkan cerita yang bertajuk Gugurnya Patih Prahasta.
Menurut penuturan Ketut Widiasa selaku Ketua Sekaa Wayang Wong Guna Murti bahwa garapan ini memberi pesan akan penanaman sikap cinta tanah air. “Bagaimana perjuangan Prahasta sebagai patih Kerajaan Alengka dan akhirnya gugur patut menjadi tuntunan,” terang Widiasa yang turut memerankan tokoh Rahwana.
Prahasta sendiri adalah paman dari Raja Alengka yakni Rahwana. Saat Rahwana menculik Dewi Sita, Prahasta telah wanti-wanti mengingatkan Rahwana namun tetap diabaikan sampai akhirnya terjadi peperangan. Ketika berperang, Prahasta tak memandang hubungannya dengan Rahwana, yang dipandang Prahasta adalah bagaimana ia dapat membela tanah airnya agar tak banyak korban berjatuhan.
Sekaa ini melibatkan 40 orang dalam garapannya yang terdiri dari penari dan penabuh. Kesenian semi-sakral ini menyedot perhatian masyarakat dari berbagai kalangan. Salah satu seniman Wayang Wong yakni Made Suarjana (44) mengaku senang dapat melestarikan kesenian ini.
“Saya memang senang dan punya hobi nari, saya ditarik sama ketua sekaa ikut dalam sekaa wayang wong terus saya disuruh nari menjadi Hanoman,” terang Suarjana.
Ketekunannya selama 20 tahun melestarikan kesenian Wayang Wong membuat dirinya dipercaya untuk menjadi model dalam branding PKB ke-41. Suarjana pun mengungkapkan bahwa ia dipercaya oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali untuk menjadi model dalam branding PKB.
“Waktu itu saya difotonya di Balai Desa Tejakula, ya saya senang dan bangga,” ungkap Suarjana sambil memasang senyuman.
Terdapat dua perempuan yang tergabung dalam sekaa ini, salah satunya adalah Ni Luh Ayu Widiastini, berperan sebagai Laksamana yang mengaku bergabung sejak remaja.
“Awalnya panggilan hati, saya ngayah di pura, dan sampai menjadi bisa ditampilkan di panggung saya masih tetap bergabung,” terang Widiastini yang kesehariannya sebagai petugas tata usaha di SMAN 1 Tejakula.
Sejauh ini, penari termuda dalam Sekaa Guna Murti baru menginjak kelas tiga SMP.
“Sulit-sulit gampang mencari penerus, tapi kami sudah upayakan sejak awal mengenalkan Wayang Wong lebih sering di desa-desa dan syukurnya ada yang tertarik,” tutur Widiasta.
Baik Widiasta, Suarjana, maupun Widiastini memiliki satu harapan yang sama, agar Wayang Wong Tejakula tetap menjadi kesenian semi-sakral yang senantiasa diteruskan oleh generasi muda dan selalu dicintai masyarakat Bali maupun mancanegara.
Pada tahun 2015, Wayang Wong Tejakula diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Hal tersebut menjadikan Wayang Wong Tejakula kian dicintai oleh masyarakat Desa Tejakula hingga dunia. Dan akan terus seperti itu. [T]