Jangan sedih jika meninggalkan sesuatu. Anggap saja itu salah satu cara untuk move on dari zona nyaman. Meninggalkan tidaklah harus dirayakan dengan air mata, apa lagi air mata buaya. Tidak juga harus disambut dengan kebahagiaan, apa lagi di atas penderitaan orang lain. Sesuatu ditinggalkan, karena memang sudah semestinya begitu. Katakanlah bahwa itu hukum alam.
Karena hukum alam, makanya tidak ada yang benar-benar langgeng. Semua makhluk hidup tahu itu. Tetapi mengetahui sungguh berbeda dengan menjalani. Banyak yang tahu cara setia, tapi tidak banyak yang mau menjalani kesetiaan. Kadangkala, justru orang yang setia dituduh bodoh. Dituduh sok. Dituduh munafik. Dituduh sombong. Dan banyak lagi tuduhan-tuduhan lainnya.
Orang yang tidak setia, oleh sebagian orang, diberikan posisi lebih tinggi. Lebih terhormat. Dianggapnya, dia adalah penjelmaan Arjuna yang dapat menguasai hati tujuh bidadari sekaligus. Atau penjelmaan Pancali yang mendapatkan lima suami. Benar sekali, banyak cerita yang bisa dijadikan bayangan untuk menjalani hidup. Tapi si pembaca cerita juga harus bijak pada penilaiannya, karena yang dilihat hanya bayang-bayang cerita.
Seperti melihat arah matahari, tanyakan kepada bayangan. Bayangan dan matahari bekerja dengan cara berbeda. Matahari di timur, bayangan di barat. Matahari di barat, bayangan di timur. Matahari ada di tengah-tengah, bayangan menghilang. Matahari menghilang, bayangan menyelimuti dunia jadi gelap. Cara membaca cerita, barangkali juga begitu. Meski tidak seratus prosen terbalik, cerita mesti didudukkan dengan cara yang bijak. Caranya adalah dengan hati-hati, pelan-pelan, sabar.
Seperti mengupas bawang. Selama kita tahu cara menjaga “jarak” dengan bawang, dan cara mengupasnya, air mata tidak akan meleleh. Bukan berarti karena tidak ada air mata yang jatuh, kita tidak mengerti rasa bawang. Rasa itu tetap ada, dengan atau tanpa air mata! Itu hanya tentang cara mengungkapkan. Tidak lebih.
Meninggalkan adalah salah satu cara mengungkapkan perasaan. Bagi seekor sapi, rerumputan adalah makanan yang dapat memberikannya kehidupan. Jika sebuah tempat yang ditinggalinya tidak lagi ditumbuhi rumput, jangan salahkan sapi karena meninggalkan tempat itu. Dan sungguh tidak mungkin, akan ada binatang pemakan rumput lainnya yang datang ke sana.
Seekor burung Cangak, kesenangannya adalah berada di pinggir telaga atau sungai yang dipenuhi air. Jika air surut dan kering, jangan salahkan Cangak kalau ia pergi dari sana. Sebab air adalah sumber kehidupannya.
Seorang perempuan sejatinya tidak akan betah dengan lelaki yang hina dan kurang cekatan. Lelaki hina dalam konteks ini, bisa berarti kurang hartanya, kurang kemampuan pikirnya, kurang perasa hatinya, kurang cinta kasihnya, kurang pendiriannya. Maka jangan salahkan jika kemudian lelaki semacam itu ditinggalkan.
Lebih-lebih jika ada pemimpin yang arogan dan kurang perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Jangan harap, mereka akan setia pada pemimpin seperti itu. Bukan tidak mungkin, mereka akan meninggalkannya dengan senang hati. Jika ada yang arogan tapi para pendukungnya masih setia, pasti ada sesuatu yang menyebabkan kesetiaan itu masih berakar di sana. Bisa jadi, pendukung-pendukung itu sama arogannya dengan si pemimpin. Konon sesuatu yang tidak beres, tidak akan dapat bertahan pada lingkungan yang beres. Seperti pohon kelapa, tidak akan tumbuh di Kutub Utara.
baca cangak lain
KLIK
Maka sesungguhnya, jika seseorang atau sesuatu ditinggalkan, mestinya diteliti dahulu sebab-sebabnya. Bukan berarti yang meninggalkan tidak setia. Mungkin saja yang ditinggalkan memang tidak pantas untuk diberikan kesetiaan.
Jadi antara yang ditinggalkan dan yang meninggalkan, mesti ditimbang lagi baik buruknya. Dicari-cari sebabnya. Jika sudah demikian, barulah diambil keputusan. Telinga kiri mendengarkan yang kiri, telinga kanan mendengarkan yang kanan. Otak haruslah berada di tengah-tengah, meski punya kecenderungan, berat ke otak kiri atau kanan. Itu gunanya otak.
Kalau kita baca-baca cerita lama, ada cerita tentang mendengarkan. Seekor kura-kura terjebak di dalam telaga yang mengering, dan diselamatkan oleh dua ekor angsa. Ia diterbangkan dua ekor angsa dengan cara membentangkan sebatang kayu. Kura-kura mengigit kayu itu dan tidak boleh bicara. Seekor anjing menghasut kura-kura dengan omongannya yang lebih busuk dari aroma pembuangan sampah di pinggir laut sana. Kura-kura terhasut, membuka mulutnya, jatuh, dan mati menjadi makanan anjing.
Cerita itu diketahui oleh banyak orang. Maka kebanyakan orang tidak mau mendengarkan perkataan orang lain. Ia takut, kalau-kalau menjawab harus mati jadi makanan anjing. Begitu kemampuan cerita dapat mempengaruhi otak. Otak kemudian tidak lagi memikirkan kemungkinan lain dari cerita tadi. Tidakkah mungkin angsa-angsa itu hanya suruhan dari burung pemakan bangkai yang mengancam akan memakan anak-anak angsa yang baru menetas?
Mungkinkah anjing-anjing tadi memang bermaksud untuk menyelamatkan kura-kura dari niat licik angsa dan burung bangkai namun sayang kura-kura jatuh tidak di sungai dekat telaga tadi? Sosok anjing tidak selalu menjadi pencibir, penghasut, licik dan lain sebagainya. Dalam satu epos yang lain, anjing justru adalah perwujudan dari Dewa Dharma. Dewanya kebijaksanaan.
Itulah cara kerja tafsir. Dari masa ke masa selalu begitu. Setiap cerita, bisa dicari sambung menyambungnya pada cerita lain. Syaratnya sangat mudah. Cukup mengetahui banyak cerita. Karena dengan cerita, otak bisa di-ninabubuk-kan. Otak yang bubuk itu menjadi cita-cita sebuah ajaran. Karena konon dengan mem-bubuk-kan otak, orang dapat masuk ke dunia yang konon dekat tapi terasa jauh di dalam dirinya. Dengan bubuk orang bisa sadar. Bukannya itu kontradiktif? Siapa yang tahu. Who knows?
Kalau bicara tentang ajaran, ada lagi satu ajaran yang juga diketahui dan dipahami banyak orang. Ajaran ini tidak hanya tentang meninggalkan tapi juga mengikuti. Menurut ajarannya, segala jenis harta yang dimiliki saat hidup haruslah ditinggalkan saat mati. Karena harta itu tidak dapat mengikuti ke alam kematian.
Keluarga yang juga dimiliki, juga harus ditinggalkan. Tidak mungkin semua keluarga bisa mengikuti sampai ke alam kematian. Mereka hanya mampu mengikuti sampai di kuburan, berhiaskan kerlingan air mata, kidung tangis sedu-sedu, tarian gerak tangan saat menghapus air mata dan keringat, apinya adalah mata yang memerah, gambelannya adalah suara langkah kaki saat berjalan. Keluarga yang mengikuti itu, seperti ritual kecil kematian yang tidak kita pahami betul-betul meski kita lihat dan dengar.
Lalu apa yang mengikuti sampai tujuan? Menurut ajarannya, yang mengikuti adalah baik buruk perbuatan. Baik buruk itu konon yang menempel terus menerus. Mengikuti seperti bayangan. Sebagaimana bayangan ia akan muncul dan hilang oleh cahaya. Yang dimaksud cahaya oleh shastra adalah dharma dan sadhana. [T]