KETIKA mengantar seorang teman untuk membeli sepatu sebagai keperluan bekerja di sebuah instansi pemerintah, kami sempat terlibat obrolan singkat yang pada intinya alas kaki tidak hanya digunakan sebagai pijakan, tapi gambaran awal dari kedudukan seseorang dalam kehidupan sosial terutama pekerjaan.
Singkat cerita masuklah kami berdua di sebuah toko sepatu, dalam toko kawan saya sibuk memilih deretan sepatu yang tertata rapi di rak, mulai dari yang model biasa hingga sepatu dengan berisi variasi tersedia. Begitupun dengan harga, makin bervariasi dan sepatu yang tampak bagus harganya makin mahal.
“Apakah sudah dapat yang dimau, Bro?” tanya saya.
Kawan saya masih memegang dagunya dan tampak kerutan di dahinya yang menandakan masih ada keraguan melihat deretan sepatu.
“Aku sih sukanya yang model ini, tapi ada haknya,” katanya sambil memegan sebuah sepatu.
Sejurus kemudian saya menunjuk sebuah sepatu yang lebih mengkilap dengan variasi dan berada pada paling atas atau tingkatan kelima dari susunan rak. Kawan saya menyebut sepatu itu cocok untuk seorang Sekda (Sekretaris Daerah). “Itu sepatu Sekda, aku cuma pegawai biasa,” katanya sambil terus menatap tajam ke aras deretan sepatu semi kulit.
Setelah itu, saya menunjuk sepatu yang berada di bawah jejeran sepatu tadi, di rak nomor dua dari atas. Kawan saya pun menyebut jika sepatu itu cocoknya untuk sekelas kepala dinas. “Kalau ini cocok untuk kepala dinas,” ucapnya sembari membenarkan posisi kaca mata.
Akhirnya dia mengambil sepatu pada rak di bawah sepatu yang disebutnya sepatu kepala dinas itu, pada rak nomor tiga. “Aku pilih ini saja,” ujarnya.
Setelah acara membeli sepatu, ada hal mengganjal di pikiran saya, bahwa alas kaki juga menjadi sebuah penanda kelas dalam pekerjaan, makin mengkilap alas kaki maka derajat pekerjaannya makin tinggi. Ada sepatu Bupati, sepatu Sekda, sepatu kepala dinas, lalu sepatu staf dan sepatu sopir.
Selain alas kaki, pekerjaan pada umumnya juga ditandai dengan pakaian rapi, berkemeja, bercelana kain, pergi jam delapan pagi dan sudah di rumah ketika jam lima sore. Jika belum bisa mewujudkan itu, niscaya akan ada yang menyebut, “Yang penting ada pekerjaan dulu sehingga nambah pengalaman, nanti tunggu peluang lain (maksudnya PNS – Pegawai Negeri Sipil)”.
Situasi seperti itu beberapa kali saya alami. Pendapat saya dan kawan saya tentang perbedaan kelas dalam pekerjaan hampir sama, apa yang kita kerjakan tidak sepenuhnya menunjukkan kualitas kemampuan. Tapi sebaliknya, sering kali pekerjaan hanya dinilai dari apa yang dipakai.
Bertolak dari studi pasca kolonial yang menilai warisan budaya kolonialisme memberikan dampak kemanusiaan dari penjajahan suatu negara, patut dicurigai bahwa mental terjajah masih diwariskan turun-temurun hingga saat ini dalam hal memilih pekerjaan. Bagaimana bekerja harus sesuai dengan pandangan orang secara umum, seragam dan seirama. Pola tersebut terbentuk melalui pemikiran, melalui obrolan tersalurkan dari generasi ke generasi atau bisa disebut diskusrus.
Bekerja harus kepada yang berkuasa dan pada umumnya pola bekerja dengan penguasa haruslah seragam atau berseragam. Kreatifitas seringkali terhalangi karena semuanya demi kepentingan yang berkuasa.
Bekerja ideal secara umum adalah kepada penguasa, era zaman kolonial bekerja pada penguasa yaitu penjajah (bangsa asing), pasca proklamasi juga harus bekerja pada yang berkuasa yakni pemerintah.
Makanya di banyak daerah di Indonesia serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih banyak ke belanja tidak langsung alias untuk memberikan gaji kepada pekerja di kantor-kantor dinas yang berstatus pegawai kontak (karena rekrutmen PNS sedang masa moratorium), sedangkan untuk anggaran infrastruktur selalu menyesuaikan.
Menjadi abdi yang memerintah atau pemerintah memang tidak salah, tapi akan salah jika menjadi sebuah tujuan mutlak dalam hidup. Hingga harus menghalalkan lobi-lobi atau kedekatan personal dengan pemegang kebijakan. Bahkan ada di sebuah daerah di Bali jumlah pegawai kontraknya menembus angka 3000 orang, sedangkan jumlah pengangguran sekitar 5000 orang.
Cukup mencengangkan jika disandingkan kedua angka itu, jumlah pegawai kontrak lebih dari 50 persen jumlah pengangguran. Pertanyaannya apakah daerah tersebut teramat sibuk urusan administrasi dan urusan teknis dalam pemerintahan sehingga harus membutuhkan begitu banyak pegawai di pemerintahan.
Atau bekerja sebagai abdi yang memerintah dianggap pekerjaan yang ideal sehingga semuanya berbondong-bondong menuju gerbang PNS ataupun semi PNS. Banyaknya pegawai pemerintahan di sebuah daerah memang tidak bisa menjadi ukuran bahwa penduduknya masih memiliki mental terjajah, tapi ada keyakinan jika pola bekerja untuk pemerintah menjadi tujuan akhir banyak orang di negeri ini.
Beranikah keluar dari diskursus yang dibentuk sejak era zaman kolonial dan melawan kemapanan cara berpikir atau kita tetap terlarut dalam pola sosial tentang bekerja? (T)