Sang Guru yang di perankan oleh Abdi, berdiri di atas panggung. Tubuhnya kurus -ceking, wajahnya yang tirus tersemat mimik kesedihan di dalamnya, perlahan lampu kuning-biru berpusar padanya. Sejurus kemudian Sang Guru meracau, menjelaskan dirinya. Dimensi yang dihadirkan jauh dari realitas. Satu persatu aktor ilustrasi masuk ke panggung, berjalan lamban, cepat, mengatur dinamikanya sendiri.
Aktor ilustrasi ini cukup banyak memenuhi panggung. Pola lantainya menyebar kesana kemari, kadang terkonsentrasi pada kerumunan kadang pula menjauh dari keramaian. Pola carut marut itu di padu dengan kalimat-kalimat bernas Sang Guru, semakin tinggi nada suaranya, semakin cepat mereka bergerak, hingga mencapai klimaks. Sang Guru tersungkur – ternyata ia hanya mimpi.
Begitulah kira-kira adegan pembuka Pementasan Drama Modern Sang Guru, adaptasi naskah 7 Menit, karya Hendra Utay, oleh Komunitas Senja, di Ksirarnawa 18 Mei 2019.
Kisahnya tentang seorang guru bernama Abdi, mempertahankan ideologinya di tengah sistem pendidikan yang dipenuhi oleh mafia-mafia berdasi. Abdi hendak membacakan pidato pendidikan, namun karena durasi dan kepentingan lainnya, pidatonya hanya diberikan waktu 7 menit. Geramlah ia. Tapi geramnya meluntur oleh kepala sekolah karena ia hanyalah seorang guru honorer.
Sementara itu dikisahkan pula Abdi terlilit hutang oleh rentenir, dan teman Abdi yang bernama Togar terpaksa mengusir Abdi dari kontrakannya karena istri Togar tidak menghendaki kehadiran Abdi ditengah keluarga kecilnya. Betapa peliknya kisah guru satu ini. guru honorer pula.
Oke, adapun beberapa catatan saya terhadap pementasan tersebut.
Adegan pembuka yang saya ceritakan di pembuka tadi, berhasil mencuri perhatian penonton. Selain tensi emosi tinggi, unsur dramatiknya pun tersusun, dari bawah hingga memuncak. catatan saya tentang konstum yang mereka kenakan. Seluruh pemain ilustrasi menggunakan kemeja batik, celana kasual, tanpa alas kaki.
Tapi pemandangan itu rusak oleh seorang pemain yang memakai celana pendek, dan satu pemain menggunakan celana panjang robek-robek. entahlah bagaimana pertimbangan sutradara sehingga adegan ini lulus sensor. Dan pertanyaan saya, di mana kerja penata kostum dalam pementasan ini yah ?. eman saja adegannya.
Wacana Pluralisme Hanya Tempelan
Dalam Sang Guru wacana pluralisme lekat dalam pembagian karakter tokoh, aktor Guru berlatar belakang suku Jawa, Togar – suku batak, istri Togar – suku Jawa, Preman 1 – suku Jawa, Preman 2 – Suku Bali, Satpam- suku Bali. Kepala Sekolah, Bendara sekolah, dan pemilik yayasan kebanyakan berbahasa Indonesia, tapi kental dengan logat Suku Bali.
Wacana pluralisme menjadi sexy hari ini, di Indonesia. Di tengah carut marut soal menyoal krisis identitas yang selalu di pertanyakan setiap individu. Pluralisme jadi bahasan di media, inspirasi karya seni, musik, lukisan, design, dan lainnya. kembali ke akar dalam berkarya menjadi garda depan wacana, yang patut di pertimbangakan. Namun apa jadinya wacana itu tanpa observasi mendalam, pembacaan jauh, tanpa mengenali karakteristik kebudayaan dengan khatam. Niscaya hanya menjadi tempelan, bahkan lebih fatal merusak keutuhan karya.
Komang Adi Wiguna sebagai penulis naskah dan sutradara nampaknya terlalu tergesa-gesa, mencampur unsur-unsur kekayaan suku di Indonesia menjadi satu sajian. Keberadaan suku hanya sebagai memperindah dan memperkaya dialek atau logat pemain. Patut di apresiasi keberanian ini, namun patut pula dikritisi Mencomot identitas suku tertentu, harus di sadari dengan pemikiran kritis, konteks kekinian, dimana karya itu berpijak agar tak berjarak, dan untuk siapa pementasan ini ditujukan.
Identitas kesukuan tidak gampang di adaptasi-begitu saja, bukan berarti hanya memakai logat saja, sudah mencerminkan satu suku. Tunggu dulu, Lebih dari itu, unsur kebudayaan yang lain juga perlu dipertimbangkan semisal simbol keseharian, cara mereka hidup, bagaimana hubungannya dengan suku yang lain, ketegangan di dalamnya.
Misalnya begini, tokoh Togar adalah orang Batak, sepengatahuan saya orang batak berhati lembut, memegang erat adat istiadat, keyakinannya kuat, memegang erat nilai pertemanan, memiliki daya hidup dan juang yang tak usah dipertanyakan, dan nada suaranya selalu tinggi dan keras.
Sementara Togar yang perankan oleh Bayu, digambarkan sebagai seorang laki-laki yang takut istri, dan dengan sangat mudah mengusir Abdi sang guru, tokoh utama kita, yang telah dikenalnya sejak 11 tahun silam, hanya karena takut di cerai oleh istrinya. Tidak ada motif yang kuat perihal konflik ini.
Tokoh Togar menikahi seorang perempuan yang berasal dari Jawa, kalau ditilik dari keadaan nyata, sungguh ini adalah ketegangan luar biasa. Karena yang saya tahu orang Batak, jarang sekali ada yang menikah beda suku, ketegangan ini tidak hadir sebagai ruang konflik kesukuan. Tapi hanya pemanis, jawa dan batak bisa hidup rukun. Itu saja.
Satu yang paling penting di masyarakat kita, – mengesampingkan keyakinan baik dan benar. kerukunan antar suku itu hadir sebanding dengan kecairan dalam menyikapi keseharian, terutama saat ngejek-mengejek. Tentu ini menjadi bahan menarikkan jika diadaptasi ke panggung, orang jawa sudah biasa ngejek nak Bali, begitu pula sebaliknya, tapi kesadarannya adalah guyub dan ikatan pertemanan sehari-hari.
Ini pula tidak hadir.
Alih-alih melakukan pendalaman dan observasi kesukuan, mungkin sang sutradara dan sejumlah jajaran elitnya hendak menyuguhkan cerita yang memilukan saja. kesukuan hanya tempelan. Tanpa membangun unsur dramatik-motif- dan penokohan yang jelas.
Kerja Aktor Itu penting
Kerja aktor itu penting, bukan sekedar mendengarkan arahan sutradara. Kerja aktor itu menyusun dramatik, mempertanyakan peran yang ia bawakan di atas panggung, mencari hubungan aktor satu dengan lainnya terhadap dirinya, hingga menakar pemahaman emosi yang diinginkan setiap adegan. Bahkan seorang aktor mesti melakukan observasi atas perannya, mencari khasnya masing-masing, serta motif dalam setiap geraknya.
Dalam Sang Guru saya menyukai Indra Purnama Mpol sebagai Kepala sekolah, paham betul bagaimana bersikap dengan aktor lain, dia sangat menghayati perannya sebagai kepala sekolah yang gemar korupsi. Sebagai aktor ia pun menghadirkan kekhasannya, tampilan eksentrik, mimik wajah yang selalu ia jaga, kendati tidak berdialog. Oddy yang berperan sebagai bendahara sekolah mampu mengimbangi kerja aktor Mpol, dengan baik ia menjelma sosok yang centil, genit, bawel, dan agak tempramen. Kekuatan mereka berdua ini, adalah suatu harapan dan impian dunia drama modern saat ini, di Bali.
Sementara beberapa aktor yang lain, bermain di atas panggung hanya termotivasi oleh durasi pementasan agar cepat selesai.
Coba saya jabarkan beberapa yah, tengok saja tokoh rentenir dan preman kampung yang pakaiannya asal comot. Preman kampung dan rentenir kampung itu biasanya digambarkan dengan sosok yang berpakaian nyentrik, keren, rompi jeans, kaca mata hitam, penutup kepala dan sangar. Masak tokoh preman kagak pakai sandal, baju ala kadarnya, atribut kepremanannya sangat minim. Renternir juga tak kalah sederhananya jaket, celana panjang, tas selempang, dan nyeker. Tanpa alas kaki. Ini settingnya di desa lho para pembaca. Jika pak sutradara menginginkan nyeker, semestinya menjelaskan pula motif, atas apa mereka seperti itu. ini soal logika berfikir saja sih.
Preman yang diperankan oleh Aguk, juga saya soroti sebagai kegagalan kerja aktornya. Aguk hadir sebagai pemain yang suka menghancurkan ritme pementasan, aktingnya sungguh berlebihan daripada aktor lainnya, tidak mampu menurunkan ego, dan menyamakan kemampuannya. Terasa sekali Aguk hendak muncul sebagai tokoh yang ingin mencuri perhatian penonton.
Memang benar dialog-dialog yang ia bawakan mengundang tawa karena teksnya memang tertedensi untuk melucu. Tapi ia tak paham kehadiran teks tersebut, bukan semata-mata melawak, tapi suatu peristiwa serius yang nantinya di harapkan memunculkan tawa oleh interpretasi penonton. Beberapa kali ia bermain hanya sekedar hadir, seperti hendak melecehkan pementasan, dengan ekspresi jenaka yang sengaja di buat-buat.
Togar bersuku batak, yang di perankan oleh Bayu, tidak benar-benar hadir sebagai Togar yang khatam atas keBatakannya. Beberapa kali logat itu lepas, penghayatan dramatiknya perlu di kritisi, entah kenapa Bayu nampak sering tersenyum dalam bercakap, bagi saya itu sangat menganggu. Mengacaukan serta menyamarkan emosi yang ingin disampaikan dalam satu adegan. 3 cerita komedi yang semestinya menyebabkan tawa penonton, tidak berlangsung dengan baik, karena ekspresi dan cara tuturnya yang melebihi atau tidak sampai pada takar emosi. Sementara itu Istri Togar, hadir sebagai pemain yang berpotensi di tingkatkan, kendati berulang kali adegan berjalan datar-datar saja. interaksi antara istri terhadap abdi tidak terlihat, padahal istri ini jengkel sekali sama Abdi. Tidak ada motif yang di bangun .
Tokoh kepala yayasan yang diperankan oleh Ryan tidak memiliki daya pikat sebagai aktor. Penampilannya memang tua, dengan make up, uban, pakaian rapi, sesekali ia batuk saat berjalan, berdiri dan berpidato. Tapi batuknya hilang saat duduk manis. Entah apa motif di balik ini, tokoh Kepala yayasan juga tidak terlalu penting dalam keseluruhan pementasan, jika tokoh ini hilang, pementasan masih dapat berlangsung.
Disinilah peran sutradara sangat penting, dalam memberi motif terhadap laku aktor pada pementasan. kalau tidak cermat, pementasan akan berlangsung mubazir kebanyakan pemain, mending sedikit aktor tapi motif kehadirannya kuat dan padat.
Tapi secara keseluruhan, selamat yah sudah pentas. Buin mani pentas buin,
Oh ya, satu lagi – kritikan merupakan satu hal yang baik dalam arena kultural berkesenian, tukang kritik dan penulis kritik merupakan sistem kecil yang ikut menggerakkan kesenian. Di banding tulisan redaksional sebuah media cetak arus utama, hanya mengangkat yang terlihat (baca- permukaan), tanpa mempertimbangkan hal –hal esensial lainnya. Kalau takut di kritik ya jangan berkarya, jadi pegawai di sebuah perusahaan saja, hidup tenang, tanpa memikirkan kebudayaan. [T]