Di antara bulan selama dalam jangka satu tahun, ada bulan yang berbeda dari yang lain. Ya sebut saja bulan Ramadan, bulan suci umat Islam, bulan yang dinantikan khususnya saya sendiri sebagai mahasiswa dan anak rantau. Sudah hampir tiga tahun saya tidak menikmati puasa bersama keluarga di kampung. Sebuah rasa rindu sudah menggerayang dalam diri. Entahlah, apakah Ramadan tahun ini akan pulang.
“Aduh saya kok malah curhat ya?” hehe…Ada beberapa catatan kecil dalam serba-serbi Ramadan.
Tarawih dan Sepak Bola
Selain beribadah puasa salah satu yang spesial saat Ramadan adalah salat tarawih.Kalau salat tarawih mah hukumnya sunah, tapi sunah yang diutamakan karena tepat bulan Ramadan.
Maka dari itu, dikerjakan ataupun tidak, boleh-boleh saja. Tapi, uniknya mereka datang juga ke musala, langgar atau masjid. Semangatnya luar biasa entah mereka datang hanya mencari kue atau apalah saya juga kurang tahu. Tapi yang perlu ditekankan dalam salat tarawih analoginya ya seperti sepak bola.
Yang pertama, salat tarawih pas awal bulan puasa, aduh..sangat banyak yang berdatangan baik yang muda, tua, sampai anak-anak pun juga datang. Kalau di kampung-kampung saya perhatikan makmumnya sampai tarawihnya di luar musala karena di dalam sudah tidak muat lagi.
Mereka menghamparkan karpet besar dan salatlah mereka di sana. Tapi, maklum juga, namanya juga masih semangat pas awal tarawih. Lihatlah pas di pertengahan 15 hari tarawih, masih syukur kalau ada makmum satu saf. Kadang-kadang tarawih cuma bermakmum lima orang.
Nah, pas jelang penutupan alias bulan puasa hampir usai, mereka berbondong-bondong datang lagi, musala kembali penuh dengan jamaah tarawih seperti sedia kala waktu salat tarawih pertama.
“Pak ke mana saja kok baru nongol lagi tarawih?” Saya tanya.
“Hahaha iya, Cong, udah mau penutupan, ini final!” Laki-laki paruh baya itu menjawab
Hal yang demikian saya perhatikan mirip seperti sepak bola, khususnya pertandingan Piala Dunia yang diadakan 4 tahun sekali. Mari kita lihat suporter sepak bola, aduh… ketika pas pembukaan Piala Dunia meriahnya bukan main alias penuh di tribun penonton sampai sebagian dari mereka menonton bola di luar stadion melihat dari layar, itu di lokasi stadion tuan rumah.
Lalu bagaimana suporter di kampung-kampung? Sama saja! Pas awal-awal mah nonton bareng di beberapa tempat seperti pos kamling, kadang juga disediakan oleh Pak RT dan Pak Kades. Kondisinya sama, pas pembukaan piala dunia, kebetulan juga tuan rumah biasanya main kali pertama. Aduh yang nonton penuh sampai berderet ke pinggir-pinggir jalan.
Tapi jelang di pertengahan sudah mulai berkurang para penonton, entah malas atau karena bukan jagoannya tidak main. Nah, pas semi final sudah mulai agak banyak, apa lagi final. Aduh..lagi-lagi penuh seperti sedia kala.
Tarawih dan Cinta
“Bukan Siapa Yang Datang Paling Awal, Tapi Siapa Yang Tetap Bertahan Hingga Akhir”
Ini khusus yang bukan para jomlo.
Kalimat tentang cinta di atas kerap kali dilontarkan oleh anak muda yang sedang menjalin cinta. Ya memang begitu dalam sebuah hubungan. Ketika seseorang memiliki pasangan hidup mereka berdua juga tidak lepas melihat masa lalu mereka, atau ia pernah dekat dengan siapa. Tapi, itu bukan masalah.Yang paling utama adalah bagaimana mereka berdua menjalankan hidupnya dengan sesuatu yang baru.
Percuma bagi mereka yang datang melabuh pertama pada hati si pria atau wanita, toh ujung-ujungnya akan pergi. Tapi, walau datang tidak di awal tapi yang terpenting adalah ia bejuang dan bertahan hingga akhir menuju pelaminan.
Nah, begitu juga salat tarawih.Tidak peduli siapa mau datang sejak awal toh nanti ujung-ujungnya tidak sampai usai menuntaskan beberapa rakaat salat. Tapi, yang terpenting adalah siapa mereka yang mengikuti rakaat demi rakaat hingga tarawih usai. Nah begitulah korelasi antara cinta dan tarawih. Belajarlah cinta sebagaimana orang melaksanakan salat tarawih.
Tarawih dan Hal-hal yang Menggelikan
Ada-ada saja cerita di balik tarawih. Kalau saya piki-pikir tarawih itu ringan tapi juga ada saja hal yang menggelikan, kadang juga menjengkelkan, pas melaksanakan salat.
Bagaimana tidak, wong yang ikut tarawih anak kecil juga dibawa ke musala alasannya supaya anak belajar dari sejak kecil ada pula karena di rumah lagi tidak ada orang, jadinya dibawa ikut ke musala. Yah, mau bagaimana lagi tarawih kan juga hanya dilakukan 1 bulan dalam setahun.
Saya tidak menyalahkan mereka yang bergurau hingga ramai saat salah tarawih berlangsung karena dulu saya pernah begitu.
Hal yang membuat saya geli ketika anak-anak yang suka menyeret sarung hingga keadaan sarung yang diseret miring hampir jatuh, untungnya pakai celana pendek jadinya tidak kelihatan bagian dalamnya. Aduh… anak-anak yang menyeret malah terkekeh-kekeh tertawa di belakang. Mau digampar tidak mungkin karena mereka juga belum balig.
Ditambah lagi ada suara anak kecil di ruangan sebelah (tempat tarawih bagian wanita) ramainya bukan main sampai ada yang menangis. Setelah tarawih pun bergantian nyerocos yaitu ibu-ibu yang suka ngerumpi.
Ada pula ketika melantunkan kata “Amin”, parahnya anak-anak bukan malah berkata “Amin” tapi mereka mengujarkan “Abit” itu kalau bahasa Madura artinya “lama”. Jadinya campur aduk antara “Amin” dan “Abit” sehingga sebagaian kaum tua ada sebagian tidak khusuk hingga membatalkan salatnya.
Lebih parahnya lagi anak-anak mengucapkan “Amin” sebelum imam selesai membaca surat Al-Fatihah jadinya agak rancu dan sebagian kaum tua tertawa tipis. Selain itu setelah membaca surat Al-Fatihah dilanjutkan membaca surah-surah pendek. Eh…malah anak-anak mengatakan “Amin” lagi.
Yang membuat geli terkadang tidak hanya anak-anak belum balig, tapi udah dewasa juga menggelikan. Pernah terjadi dialog seperti ini.
“Nanti malam mau tarawih di mana Cong?” tanya orang itu
“Ya seperti biasanya di musala sebelah, oh iya kamu kok tidak tarawih kemarin malam?” Jawabku sembari bertanya
“Aduh malas, soalnya kemarin malam saya tahu kalau di musala si A cuma dikasih krupuk, saya ke musala si B aja, lumayan dikasih semangka sama dodol” jawab orang itu.
“Oh iya kalau nanti malam musala si A dikasih apa ya?” ia bertanya
Nah itulah yang bikin geli, kadang jengkel juga.
Begitulah serba-serbi bulan Ramadan di kampung. Yang menjadi tanya saya sampai saat ini adalah benarkah selama bulan puasa tidak ada setan, dedemit, pocong, kuntilanak, tuyul milenium, atau hantu nenek gayung? Entahlah…saya juga tidak bisa memastikan. [T]