LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua. Sagara dan Saskara menanti di depan jendela berjeruji kanan dan kiri di depan rumah!”
Aku tahu, rayuan ini. Benar saja mereka ingin menonton ogoh-ogoh kesukaannya dan beruang. Ogoh-ogoh salah satu tradisi yang ada di Bali berbentuk raksasa, liak, celuluk, dan lain-lain yang sering diarak saat perayaan Nyepi.
Terpaksa aku hidupkan TV dan mencarikan lagu ogoh-ogoh, membuat mereka duduk sejenak setidaknya 15 menit kedepan.
Sebenarnya aku tidak ingin memberikan mereka menonton TV atau HP lebih dari 15 menit, karena usianya baru 2,5 tahun dan 1,5 tahun. Si kecil sendiri bahkan aku ketatkan, tak kuijinkan menonton HP, sedangkan si kakak mendapat jatah hanya 1 kali sehari dengan menggunakan HP ibunya.
Kami sudah sepakat kalau itu harus dilakukan karena efeknya tidak bagus untuk anak seperti radiasi pada mata, kecanduan gadget, fokus yang berkurang, dan gangguan emosional lainnya jika diberikan secara berlebihan. Bahkan Screen time berlebih dapat menurunkan perkembangan bahasa anak (Irzalindah & Latifah, 2023).
Astaga, pernah keluar dari mulutku jika mau membantu bersih-bersih akan kuberikan untuk menonton TV tambahan. Sejenak aku merasa itu benar dengan memberikan reward, tapi aku menyesal hal itu justru keliru. Memang dia terlihat senang, namun batinku mengatakan ini tidak benar. Untungnya aku segera sadar dan mengajaknya bermain disela kesibukanku sebagai dokter.
Kubik -kubik dari plastik berwarna warni ia susun menyerupai menara. Semakin hari semakin tinggi dan bervariasi ia susun bentuknya. Dia tunjukkan mana bagian kepala, leher, badan dan anggota geraknya. Kutahu itu imajinasinya, tentu saja bentuk ogoh-ogoh dari kubik itu tak menyerupai sama sekali kepala, leher, dan sebagainya.
Setidaknya aku ikhlas ia mulai mengerti area badan ogoh-ogohnya. Lagu karya Bli Okid Kres dan Yan Bero yang populer sejak tahun 90-an, duo legenda, terdengar mengiringi Sagara mengarak ogoh-ogohnya.
Sepeda Saskara
Berbeda dengan kakaknya, si bungsu, tiap pagi aku ajak naik sepeda dan main air di sungai sebelah barat rumahku. Kami sudah siap dengan menggunakan helm merah, baju biru lengan panjang dan celana hitam panjang untuk bersepeda lalu meluncur sekitar 3 menit ke arah barat. Suara kring-kring biasanya ia bunyikan dan mengusir anjing yang ada di sekitar kami.
Kakek dan neneknya yang berada di sebelah rumah kami spontan menoleh dan memanggil Saskara. Giginya yang putih menyembul sembari ia tersenyum. Artinya dia sedang senang sambal menyanyikan lagu Goak Maling, tong-tong goak maling.
Airnya tidak deras karena itu aliran sungai Subak untuk memberikan air padi yang sedang tumbuh hijau di utaranya. Kakinya yang mungil menyipratkan air sungai itu. Sekali dia cekikikan dan mulai melemparkan buah dan daun cengkeh yang mulai jatuh milik tetangga. Masa Pancaroba membuat debu walau di pagi hari serta air yang dingin membuat aku sedikit was-was ia akan terkena batuk-pilek.
“Ayo liat, laba-laba Saskara,” pintaku padanya.
Dia merengek tak mau untuk berpindah tempat, asyik dengan air yang melewati kakinya. Terpaksa kuangkat dan kududukkan di jok anak sepedaku. Kami ke timur dan mulai melihat laba-laba yang sedang memakan temannya. Waw kanibal
Bagaimana dengan Sagara? Ia tipikal anak yang suka sekali mengeksplor lingkungan. Energinya seperti punya suku cadang alat dan tenaga. Aku keteteran. Jadi kucarikan pohon di kebun untuk dia gunakan sebagai ogoh-ogoh. Mulai dari dahan kelor, dahan daun pepaya atau tanaman lainnya. Selain itu kubelikan lego yang dia senang sekali susun menjadi ogoh-ogoh atau bangunan.
Ajaib dia sudah bisa membayangkan posisi kepala, tangan, badan dan kaki ogoh-ogohnya dari dahan atau legonya. Mamanya sangat rajin jugan menstimulasi melalui nyanyian.
Aku sendiri masih belum bisa mencekoki dia dengan lagu sekar alit seperti saat kakekku dan ayah mengajarkanku pupuh Durma. Salah satu pupuh yang amat sering mereka nyanyikan dan terkenang hingga aku menulis ini di ulang tahunku ke-32 saat ini.
Beruntungnya aku bisa menemani mereka di masa kecilnya dengan membagi porsi Screen time dan aktivitas yang menyenangkan maupun yang mengedukasi.
Walau aku sibuk dari Senin-Minggu bekerja, berungtung sekali dapat membagi waktu untuk Saga dan Saka di pagi hari dan sore hari. Momen ini tidak akan terulang dua kali. Kubayangkan mereka saat dewasa dan tubuhku mulai renta, sakit-sakitan, gampang lelah, mereka akan melihat saat kugendong di atas pundakku.
Atau mungkin aku tak sempat merasakan dipanggil kakek, siapa yang tahu?.
Menjadi orang tua adalah sesuatu yang sangat aku syukuri. Tidak semua pasangan mendapatkan kesempatan ini. Asisten rumah tangga yang setiap kali membantu juga menurut apa kataku untuk membatasi memberikan menonton TV atau HP.
Istriku cukup support untuk Sagara dan Saskara di masa depan, ketahuilah papa dan mama sayang kalian. Tumbuh besar dan arungilah samudera kehidupan ini. Kehidupan ini begitu nyata, jangan dihabiskan sepenuhnya dalam mayanya dunia digital. Biarkan indramu menyentuh, mendengar, merasakan, melihat aroma dan rasa alami kehidupan. Nyata. [T]
Referensi :
Irzalinda V., & Latifah M. (2023). Screen Time and Early Childhood Well-Being: A Systematic Literature Review Approach. Journal of Family Sciences, 18-34. https://doi.org/10.29244/jfs.vi.49792
Penulis: dr. Putu Sukedana
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis dr. PUTU SUKEDANA