Stasiun
seberapa sering engkau menangis
di stasiun, di bangku ruang tunggu
engkau hendak pergi
ke kota jauh?
meninggalkan orang terkasih
penyair fakir yang tua papa
di bangku ruang tunggu, engkaukah itu
perempuan embun dengan luka
tepat di bawah ulu-hati
melipat sejarah jingga
ke relung jiwa
: “jangan engkau dekati dermaga
kalau tak suka laut dan ombak!”
ia pun telah lama menjauh dari dermaga
ia berkali-kali terdampar di stasiun
di ruang tunggu, sejarah jingga
ia ingin terus pergi
meninggalkan kemunafikan
dan pengkhianatan.
Jaspinka, 12 November 2024
Lorong
aku masuki lorong diri
panjang berliku
samar cahaya
samar suara
serupa labirin
kanan kiri gelap
aku hanya membayangkan
tak ada orang bermuka dua
menghadangku
muka satu pengkhianat
muka dua predator
sialan
aku akan menjauh
sejauh-jauhnya
hingga lorong dalam diri
penuh cahaya
: kearifan, kebaikan.
Jaspinka, 11 November 2024
Diam
hal yang paling ngilu
adalah diam
serupa sembilu
siap mengiris rahang waktu
yang nganga
perempuan embun
yang aku peluk sepanjang jalan
sejauh-jauhnya
bukan perempuan liar
yang berlari dari satu stasiun
ke lain stasiun
tanpa rasa bersalah
memamerkan luka
aku mau
hanya perempuan embun
mengisi ruang waktu
seluruh puisiku
tanpa syarat.
Jaspinka, 10 November 2024
Kamar
di kamar aku bertarung denganmu
sehabis-habis luka
sehabis-habis cinta
kita bertukar sembilu dan imaji
: “sudah berapa jauh langkahmu
hingga ke ujung dermaga, kau
temukan masa lalu jingga!”
di kamar aku nikmati bekas luka
aku tenggak seluruh dukamu
sorot matamu mengerjap
bertimbun-timbun kata-kata
menghimpit jiwa
: “aku mau rumah terbuat dari gugusan
cinta yang menyala!”
engkau menyeretku ke kubangan mimpi yang sakral
di kamar ribuan masa depan dituliskan
dengan sepenuh sembilu dan imaji.
Jaspinka, 7 November 2024
Berperahu— Mengubur Sejarah Jingga
1.
berperahu— membelah-belah selat memeluk mesra usia
: “Ini taggal berapa bulan apa? au, perahu menjauh dengan
bahagia…” angin mengekalkan rindu hingga ke bukit-bukit
ombak memecah di dinding karang
2.
melihat laut jauh; siluet serupa tubuhmu, dengan bekas luka
tepat di bawa dada
: “kemarilah, menjelma puisi, ‘kan kupeluk kuabadikan!”
siluet itu mendekat, dan au—kekasih: usia yang kian menua…
3.
dan ia wajahnya kian pias– seribu derita mengepung
ia urai segala perih, juga miang dan duri dalam tubuh
: “aku ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya menurutkan kata hati!”
tak lagi ada senyum, langit keruh, garis nasib serupa benang kusut
tiada cahaya, hanya sorot mata gelisah, batang usia kian rapuh
perih rindu pada laut kasih, laut yang bergelora sepanjang musim
dan ia telah pergi jauh, menguburkan lipatan-lipatan sejarah jingga.
Jaspinka, 25 September 2024
Andai Ini Pagi Engkau Bertndang ke Rumahku
1.
andai ini pagi engkau bertandang ke rumahku, di halaman mekar mawar
petiklah setangkai untuk kenangan, tapi hati-hati jangan tertusuk duri
: “di waktu lain engkau boleh memetik lagi atau sekadar menghirup
Aromanya agar keharmonisan terjaga— lihatlah langit mendung,
cuaca dingin dan sudah berapa lama kita tidak bersua? semoga engkau
baik-baik saja…” mawar mekar di halaman, hati jiwa bergetar
2.
petik, petiklah setangkai, dengan hati riang—agar engkau bisa berpikir
putih air putih hati serupa mawar gugur, getar kenangan jingga
: “tangan senja menjulur meraih masa lalu meremasnya dengan sukacita!”
au, petiklah setangkai saja lalu tersenyumlah, ada sesuatu yang perlahan menjalar
ke dalam tubuh; puisi….
3.
beberapa kuncup telah mekar; lihatlah— ada mulai redup dan gugur
garis hidup mawar; menebar pesona dan aroma lalu berserak di tanah
: “serupa sayap yang mengepak hinggap di kesunyian, sepenuh duka!
4.
ada tujuh kuntum mawar di halaman, petik satu atau dua, lalu berkatalah
: “pertemuan dan perpisahan hanya soal waktu”— kita selayaknya bertasbih;
subhanallah dan esok atau lusa mawar gugur, kehilangan warna dan aroma
menikmati rasa sakit hingga nikmat kedamaian, au, keikhlasan.
Jaspinka, 30 September 2024
Tak Ada Tanggal Merah untuk Kami
Tak takut hujan dan panas. Tak takut disalahkan orang. Kami
tegakkan yang benar. Kami singkirkan kecurangan. Tak peduli
kepada mereka yang bersembunyi di dalam baliho. Di balik
bendera partai atau di singgasana kekuasaan.
Darah kami telah hitam. Ini bangsa dengan rakyat majemuk.
Pesolek. Pemabuk. Penipu. Pemalak. Penggarong. Pecundang.
Pengkotbah. Penjilat. Penyihir. Tumpah ruah. Dari kota ke desa.
Dari langit ke laut. Kata-kata. Ambigu. Anyir. Muncrat dari mulut
mereka. Mengurung tanah-tanah gersang. Tumbuh rasa benci di
hamparan tanah. Kami akan merangsek menembus dinding
kebiadaban. Kami akan terus berteriak. Hingga ke batas keheningan.
Ini tubuh menahan tangis. Kalian sihir puisi jadi luka. Jadi segala
yang bernama petaka. Kalian bilang tidak padahal ya. Dan sebaliknya.
Tiada tangan berani menyentuh. Tiada mata berani menatap. Tiada
hati ‘kan jadi api. Musim panas berderak.
Tak ada tanggal merah untuk kami. Tanpa alpa. Tak Sedetik pun tidak
bersama kurcaci. Kami makhluk yang berjalan di atas awan. Kemanusiaan.
Mengawal setulus hati jiwa. Cinta. Kebenaran. Dan puisi yang berapi.
Yang berapi dan bernyawa. Bersayap pelangi.
Jaspinka, 20 September 2024
Penulis: Eddy Pranata PNP
Editor: Adnyana Ole
[][] Klik untuk BACA puisi-puisi lain