FENOMENA kamp militer untuk anak bermasalah menjadi tren yang semakin populer, termasuk di Indonesia. Dari perspektif studi Hubungan Internasional dan teori Civil-Military Relations, pendekatan ini mencerminkan pergeseran paradigma keamanan yang memprihatinkan: Masalah sosial-domestik diselesaikan dengan pendekatan keamanan tradisional. Esai ini menelaah implikasi politik dari militerisasi pendidikan terhadap konsolidasi demokrasi.
Erosi Batas Sipil-Militer dalam Kerangka Demokratik
Dalam studi hubungan sipil-militer, prinsip supremasi sipil menjadi fondasi demokrasi modern. Huntington (1957) dalam “The Soldier and the State” menegaskan bahwa “pemisahan yang tegas antara ranah sipil dan militer merupakan prasyarat demokrasi yang sehat.” Kamp militer untuk anak bermasalah secara langsung menantang prinsip ini dengan mengaburkan garis demarkasi antara institusi militer dan sipil.
Wacana “normalisasi disiplin militer” dalam ranah sipil sebenarnya mencerminkan fenomena “sekuritisasi” yang dijelaskan Copenhagen School. Buzan dan Waever mengurai bagaimana isu-isu non-keamanan ditransformasikan menjadi masalah keamanan untuk memungkinkan penggunaan cara-cara luar biasa. Kenakalan remaja yang seharusnya ditangani melalui pendekatan sosial-kemanusiaan, seolah diposisikan sebagai “ancaman” yang memerlukan intervensi berbasis model keamanan.
Implikasi Politik dari Pendisiplinan Model Militer
Analisis Foucault tentang “tubuh yang patuh” (docile bodies) sangat relevan mengkritisi fenomena ini. Pendekatan militer menghasilkan kepatuhan tanpa pemahaman kritis—bertolak belakang dengan esensi pendidikan demokratis. Lebih jauh, sistem nilai militer yang menekankan kepatuhan mutlak dan struktur hierarkis potensial menciptakan apa yang disebut Erich Fromm sebagai “escape from freedom“—kondisi psikologis yang membuat individu rentan terhadap manipulasi politik dan mencari figur otoritas.
Konsekuensi jangka panjangnya berbahaya bagi konsolidasi demokrasi. Generasi yang tumbuh dengan nilai-nilai disiplin berbasis militer tanpa keterampilan berpikir kritis berpotensi menjadi warga negara yang mudah dimobilisasi oleh rezim otoriter.
Pendekatan Historis: Praetorianisme dalam Konteks Indonesia
Dalam konteks sejarah politik Indonesia, peran militer tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang praetorianisme. Pasca-reformasi, Indonesia berupaya membangun profesionalisme militer dengan doktrin “back to barracks.” Namun, kamp militer untuk anak bermasalah menjadi manifestasi dari apa yang Luckham sebut sebagai “praetorianisme pembangunan”—nostalgia terhadap peran sosial-politik militer era Orde Baru.
Fenomena ini perlu dilihat sebagai bagian dari tren atas menguatnya wacana security-oriented approach dalam menangani masalah non-keamanan, sejalan dengan tesis “securitization of everything” pasca-Perang Dingin. Di banyak negara demokrasi konsolidasi, termasuk Indonesia, pendekatan ini mencerminkan pola relasi sipil-militer yang belum sepenuhnya terdemokratisasi.
Alternatif Demokratik: Pendekatan NOLS
Kritik terhadap militerisasi pendidikan bukan berarti penolakan terhadap nilai-nilai positif seperti disiplin dan tanggung jawab. Amartya Sen menawarkan pendekatan “capability development” yang menekankan otonomi dan kebebasan. Contoh konkretnya adalah National Outdoor Leadership School (NOLS) di Wyoming yang mengembangkan model pendidikan berbasis alam dengan sistem kepemimpinan rotasional dan refleksi kelompok.
Model NOLS menunjukkan bahwa disiplin dapat ditanamkan tanpa militerisasi, membentuk kesadaran internal dan tanggung jawab pribadi melalui pengalaman dan refleksi kritis. Pendekatan ini sejalan dengan konsep “communicative action” Habermas yang menekankan otoritas berbasis konsensus rasional, bukan kekuasaan koersif.
Kesimpulan: Menjaga Batas Demokratik
Dari perspektif studi hubungan sipil-militer dan demokratisasi, militerisasi pendidikan melalui kamp militer berpotensi membahayakan konsolidasi demokrasi. Vaclav Havel pernah memperingatkan, “masyarakat yang menekankan kepatuhan di atas integritas moral cenderung menghasilkan warga negara yang hidup dalam kepura-puraan.”
Solusi yang lebih demokratis adalah mengembangkan model pendidikan yang menanamkan disiplin dalam kerangka nilai-nilai demokratis, menghormati otonomi individu, dan mendorong pemikiran kritis. Hal ini tidak hanya penting bagi perkembangan anak secara individual, tetapi juga bagi masa depan konsolidasi demokrasi di Indonesia. [T]
Penulis: Arif Darmawan
Editor: Adnyana Ole