SAMPAI saat ini publik memandang suku Baduy adalah suatu suku yang menganut pola hidup sedernana mejauhi hidup materialistis, menghindari pola hidup konsumtif dan menjauhkan diri dari gaya hidup modern (mewah dan berfoya-foya), bahkan masih juga dipandang suku bangsa yang masih melaksanakan “sistem barter“ dalam berniaganya. Sehingga Baduy dikatagorikan suatu komunitas tidak bersifat money oriented dalam kehidupan kesehariannya.
Salahkah pandangan yang melekat di masyarakat umum itu? Menurut penulis, salah tidak, dan benar pun tidak. Mengapa saya jawab seperti itu. Karena ada alasan-alasan yang mendasari bahwa memang pandangan itu ada benarnya jika dikaji dari hukum adat mereka yang mengharuskan seluruh masyarakat Baduy harus hidup sederhana apa adanya, menghindari pola serta gaya hidup modern yang tidak sesuai dengan ajaran dan budaya mereka.
Tugas utama kesukuan Baduy yang sudah mereka terima secara sadar dan ikhlas sebagai warisan dari leluhurnya adalah “Menjaga dan Melindungi Kesimbangan Alam dengan sedikit pun tanah ulayat mereka tidak boleh diubah“. Dengan tugas kesukuan yang berat itu maka jelas sekali mereka harus disadarkan dan diwajibkan untuk menganut pola hidup sederhana menghindari hidup modern yang lebih beraroma meterialistis.
Sejak lama, mereka menyadari bahwa jika masyarakatnya dibebaskan menganut hidup modern, maka tanah ulayat pasti akan mereka rubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan gaya hidup modern. Dan jika itu dibiarkan, maka eksistensi dan kehidupan adat mereka akan hancur dengan cepat, dan tidak menutup kemungkinan suku Baduy akan punah dari peradaban dunia, dalam artian nilai-nilai budaya adilihungnnya yang hilang tergantikan oleh nilai-nilai budaya modern.
Mohon diingat dan dicatat! Bahwa: “Baduy tidak memiliki perangkat aturan sebagaimana layaknya sistem pemerintahan yang mengatur bagaimana mengelola sebuah negara atau ketatanegaan. Sistem pemrintahannya tidak disertai dengan adanya lembaga-lembaga pemerintahan yang sifat dan tujuannya membangun kemajuan. Di Baduy hanya dipersiapkan dan mengenal lembaga adat bernama Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh yang sepesial hanya untuk menerapkan dan menegakan hukum adat untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam, bukan mengubah, memodifikasi, apalagi mengeksploitasi alam. Maka, di sistem pemerintahan adat Baduy tidak mengenal adanya sistem anggaran baku atau rutin bernama Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) dan perangkat desa berbasis Profesional.”.
Mulai Adanya Celah Mengadopsi Pola Hidup Modern
Di kekinian, pandangan publik itu juga sudah tidak seratus persen benar, karena ada bukti-bukti konkret yang bisa secara langsung dilihat di lapangan (di kehidupan masyarakat Baduy) yang bisa membantah pandangan tersebut secara telak. Di beberapa literatur lama memang masih ditemukan dan tertera secara leterlek bahwa Baduy menolak modernisasi, Baduy adalah suku terasing dan kehidupan masyarakat Baduy sangat sederhana karena data dan informasi yang mereka gali pada saat literatur itu ditulis masih dalam kondisi seperti itu.
Lalu kita-kita yang sedang hidup di zaman sekarang dan menjadi saksi nyata kehidupan mereka harus berkiblat ke pandangan yang mana? Secara kaidah keilmuan bahwa informasi, data dan kajian itu prinsifnya akan mengalami perubahan (updating), bahwa kebenaran juga bersifat nisbi dalam pengertian hari ini bisa benar namun esok lusa bisa dinyatakan salah. Oleh karenanya penulis tidak membawa pembaca untuk men-justice salah-benar, tapi lebih mengajak untuk berpikir kritis dan cerdas bagaimana menempatkan dan atau mendeskripsikan situasi dan kondisi kekinian Baduy dengan alasan-alasan ilmiah logis-realistis, sehingga pelurusan informasi yang lebih akurat akan tercapai.
Agar pembaca bisa mendeskripsikan dengan tepat tentang bagaimana dan seperti apa pembangunan modern di Tanah Ulayat Baduy baik pembangnan spiritual maupun pembangunan yang bersifat material, maka penulis kembali mencoba untuk memaparkan bukti-bukti autentik yang didapat dan insyaallah bisa diuji tingkat kebenaranya (dapat diperanggngjawabkan dan dipertanggunggugatkan). Membangun itu bukan sekedar berupa gedung (lahiriah/material) tetapi membangun sumber daya manusia (mentalitas masyarakat) juga menjadi sasaran pembangunan.
Kesan pertama ketika penulis menginjakan kaki di tanah ulayat Baduy tahun 1995 (30 tahun lalu) terasa sekali kehidupan mereka sangat sederhana, sepi, awam atau lugu dan skeptis bahkan muncul rasa menyeramkan. Saat itu di Kampung Ciboleger sebagai kampung pendamping terdekat saja belum ada listrik, jalan menuju Baduy masih jalan setapak, kendaraan umum menuju Ciboleger dari Rangkasbitung cuma ada jadwal pagi satu, siang sampai jam empat sore satu, situasi jalan pun masih banyak yang berbatu.
Rumah di kampung Babakan Kaduketug yang sekarang menjadi kampung berdirinya rumah dinas Jaro Pamarentah tempat menerima tamu dan pejabat hanya ada 11 rumah, dan saat ditanya ke Pangiwa Ralim perihal pemukiman warga Baduy pada waktu itu berjumlah 49 kampung (3 Baduy Dalam dan 46 di Baduy Luar) dengan data penduduk 6.483 jiwa terdiri dari 3.339 laki-laki dan 3.144 jiwa peremuan , jumlah KK baru 1.533 (catatan Jaro Asrap).
Karena istri mendapat tugas untuk membina kesehatan Suku Baduy dengan SK PTT-nya pada tahun 1996 penulis bersama istri hijrah dari Leuwidamar ke Ciboleger dan langsung menempati rumah dinas berupa POLINDES yang ditempatkan persis di tanah perbatasan dengan kampung Babakan Kaduketug, maka sejak bulan maret 1996 itu penulis sangat tahu persis dan menikmati betul bagaimana kehidupan sehari-hari mereka dari pagi-siang-sore sampai malam, bahkan telinga dan mata penulis menjadi perekam autentik tentang hiruk-pikuk kegiatan kehidupan sehari-hari mereka.
Sesuai dengan pranata sosial, kondisi infrastruktur dan akses pada saat itu, maka sangat jelas sekali kondisi demografi dan geografi Baduy masih terasa asri, murni dan nyaris tanpa tersentuh atau terpolusi oleh modernisasi. Interkasi dengan orang luar (orang perkotaan) sangat jarang ditemukan, tamu yang berkunjungpun sangat langka. Apalagi saat itu wilayah timur dan selatan masih benar-benar masih dilarang (tertutup dan ditutup) sebagai pintu masuk kunjungan bagi orang luar yang ingin berkunjung ke Baduy. Lembaga adat hanya membolehkan melalui wilayah utara saja (kampung Ciboleger) yang dibuka sebagai pintu masuk menuju Baduy.
Komunikasi antar warga mereka pun terlihat singkat-singkat seperlunya, apalagi dengan orang luar sangat kaku sekali bahkan bila ditanya pun mereka sering menghindar, terkadang langsung lari masuk rumah menutup pintu rapat-rapat. Pola interaksi dengan dunia luar pun sepertinya sangat dibatasi oleh pemuka adat atau kokolotan kampung, dan ternyata pembatasan itu bertujuan untuk memperkecil atau mengurangi kesalahan bicara warganya perihal keadaan atau rahasia seputar kehidupan mereka. Saat itu, pemuka adatlah yang diwenangkan untuk menerima tamu dan berbicara menjelaskan yang berhubungan dengan kesukuan mereka.
Setelah program listrik masuk desa dan munculnya produksi alat-alat rumah tangga modern dan di kampung Ciboleger sudah terpasang listrik, termasuk di rumah dinas yang kami tempati terpasang listrik. Pola hidup sehari-hari mereka mulai berubah bergeser mengikuti perubahan yang terjadi di tetangganya (luar Baduy) walau tidak secara drastis dan sporadis. Namun, ketika televisi merambah kampung Ciboleger dan kebetulan dipasang televisi umum di perbatasan Baduy, perubahan tingkah laku dan pola hidup mereka sangat drastis sulit dikendalikan, terutama generasi muda anak laki-laki yang berduyun-duyun (berkelompok/rombongan) setiap malam nonton televisi di rumah-rumah warga Ciboleger.
Ada kejadian yang menjadi catatan sejarah tersendiri bagi penulis, karena suasana malam di sekitar rumah dinas gelap kemudian kami berinisiatif memasang satu lampu listrik 60 watt di luar rumah yang menghadap ke tanah ulayat mereka, sontak malam itu menjadi ramai karena kekagetan mereka rumahnya jadi terterangi cahaya lampu. Besoknya saya tidak menyalakan lampu tersebut karena takut disalahkan melanggar hukum adat mereka, tapi hari ketiga mereka mendatangi rumah dikira mau memarahi atau menghukum kami… eechhhh ternyata mereka meminta agar lampu listrik itu dinyalakan supaya di sekitar kampung mereka menjadi terang, sampai akhirnya dipasang “lampu tembak” dengan kekuatan 150 watt.
Sempalan kisah yang penulis paparkan di atas adalah kondisi faktual yang sahih sekali, karena itu dialami, disaksikan oleh kami. Kurang lebih dua tahun dari terpasangnya listrik di Kampung Ciboleger yang nempel sebagai batas perbatasan dengan kampung Babakan Kaduketug wilayah Baduy plus dengan dipasangnya televisi umum tepat di pintu gerbang menuju Baduy , maka geliat perubahan sikap dan pola hidup keseharian mereka berubah dengan sangat drastis. Warga sekitar Kaduketug mulai terhipnotis dengan terang benderangnya malam hari karena ada cahaya listrik.
Kemudian, mereka mulai menggandrungi dan menikmati sajian acara hiburan di televisi yang akhirnya menjadi kecanduan tiap sore sampai larut malam mereka berbondong-bondong menonton dan menyaksikan berita yang ditayangkan di TV dan tanpa terasa secara bersamaan otak dan pikiran mereka mulai terpolusi oleh konten tayangan TV. Mereka mulai melek dengan pola-pola hidup modern saudaranya yang di luar Baduy dan mulai merayap meniru dan mengadopsi pola-pola dan atau gaya-gaya hidup modern yang mereka sukai termasuk mulai mengadopsi pola pembangunan fisik yang berbau modern yang ditempelkan pada desain rumah dan perlengkapan perabotan rumah tangga, pakaian serta faslitas lainnya.
Penggunaan dan pemanfaatan alat-alat dan produk modern pun sangat jelas sekali mulai mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka walau tetap masih sembunyi-sembunyi. Jika pembaca masih ragu dengan pengadopsian pola pembangunan modern di Suku Baduy, silahkan datang ke kampung-kampung Baduy yang sudah dijadikan tempat kunjungan para wisatawan. Foto bagaimana desain dan bentuk artsitektur rumah adat mereka saat ini. Khusus di pemukiman warga Baduy Luar yah, dan silahkan video kondisi jalan-jalan setapak yang dibangun di wilayah tanah ulayat mereka… penulis jamin pembaca pasti bilang wow.
Melintasi Pemodernan Dahsyat di Suku Baduy.
Penjelasan singkat di atas adalah hasil catatan dan kajian penulis dari tahun 1995 sampai tahun 2000. Hanya dalam tempo lima tahun proses pergeseran pola pikir ( spiritual ) dan pergeseran pengadopsian pola material melintas begitu cepat. Warga di lima kampung Baduy Luar yaitu Kaduketug 1, Kadiketug 2, Kadujangkung ditambah kampung Cibalimbing dan Gajeboh yang dekat dengan perbatasan Kampung Ciboleger adalah warga yang pertama kali menikmati pola pergeseran tersebut. Pola hidup menghindar bergeser kepada pola hidup menjemput, azas menolak yang kemudian berubah menjadi menerima di lima kampung tersebut geliatnya amat sangat terlihat.
Program-program pemerintah untuk memajukan pedesaan turut andil mempercepat perubahan pola pikir dan paradigma mereka, termasuk mempengaruhi para tokoh adat. Perubahan desentralisasi ke dekonsentrasi atau adanya perubahan politik otonomi daerah, semakin mempercepat perubahan mindset mereka, ditambah pengaruh Pemilihan Umum yang terus ditawarkan pada suku Baduy dengan alasan sebagai bentuk partisipasi kenegaraan menjadi penyempurna komunitas adat Baduy terus mengalami percepatan perubahan dengan dahsyat. Dan yang paling baru adalah ditetapkannya Baduy sebagai wilayah destinasi wisata melengkapi bahwa Baduy sedang melintasi pemodernan yang dahsyat.
Hari ini dan seterusnya, kita sudah tidak bisa lagi mengatakan bahwa di Baduy tidak mengalami perubahan, bahwa Suku Baduy tetap ajeg dan konsisten dalam mengamalkan hukum adat, bahwa di Baduy masih tetap menolak pemodernan dan bahwa di Baduy tidak terjadi modifikasi hukum adat. Berdasarkan fakta yang kongkrit hari ini dan seterusnya bahwa di Baduy sedang terjadi perubahan pola hidup sosial dan modifikasi budaya serta modifikasi hukum adat. Pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan fisik sedang mereka lakukan demi menyeimbangkan dengan tuntutan dan tekanan kebutuhan zaman.
Seberapa jauh dan cepat mereka berubah, dan seberapa besar kebermanfaatan mereka berubah serta seberapa berat risiko mereka berubah, hanya waktu yang akan menjawab. [T]
Ditulis di Padepokan Sisi Leuit Perbatasan Baduy, April 2025
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA