SALAH satu penggayaan dalam seni rupa yang menarik bagi saya adalah gaya Abstraksionisme. Gaya ini bukan sekadar penolakan terhadap gambaran realitas, melainkan perayaan terhadap kebebasan kreatif dan ekspresi jiwa. Dengan membebaskan warna, bentuk, dan tekstur untuk berbicara atas nama perasaan, abstraksionisme mengajak kita menyelami lapisan-lapisan emosi dan ide yang tersembunyi dalam tiap goresan. Dari sejarah para pelopornya, yang menolak konvensi hingga teknik eksperimental yang terus berkembang. Serta pengaruh kontemporer yang merambah ranah digital, aliran ini terus menginspirasi dan menantang pandangan kita tentang apa itu seni – khususnya senirupa abstraksionisme.
Aliran seni abstraksionisme merupakan sebuah pergerakan dalam dunia seni rupa yang mengalihkan fokus dari representasi literal atau figuratif menuju eksplorasi elemen dasar seperti bentuk, warna, garis, dan tekstur. Seniman abstrak, jarang menggambarkan objek atau narasi yang mudah dikenali. Ia berupaya menyampaikan perasaan, ide, dan pengalaman batin melalui konstruksi visual yang tidak terikat pada realitas dunia luar. Dalam konteks ini, karya seni menjadi wadah ekspresi di mana makna muncul secara berlapis dan bebas dari beban representasi konvensional.

Dollar Astawa, “Keseimbangan 1”, 2024, acrylic on canvas, 155×100
Saya tertarik tentang abstraksionisme, karena menyimak karya monochrome (eka warna) perupa I Made ‘Dollar’ Astawa. Karya “Energi Aksara 1” Dollar Astawa ini merupakan contoh yang kuat dari seni abstrak yang menggabungkan dinamika gerakan dengan kekayaan simbolisme. Saat pertama melihat, lukisan ini tampak hidup melalui sapuan kuas yang dinamis, cipratan, dan lapisan tekstur yang menciptakan kesan bahwa energi mengalir tanpa henti. Meskipun palet warnanya terbatas – dominasi hitam, putih, dan abu-abu – penggunaan gradasi dan perbedaan intensitas memberikan dimensi yang mendalam serta mengundang penikmat untuk merasakan ketegangan antara terang dan gelap. Terasa ada daya yang mengimbuhi karya dengan aura misterius yang mengundang interpretasi.
Secara simbolis, judul “Energi Aksara 1” sendiri mengisyaratkan gagasan bahwa setiap goresan dan garis di kanvas mengandung makna yang lebih besar—sebuah pembacaan terhadap “energi” yang tertuang dalam tanda atau aksara. Di dalam budaya Indonesia, (Bali, Jawa, Sunda, dan beberapa daerah lainnya) aksara bukan semata-mata simbol tulisan, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai tradisional, sejarah, dan spiritualitas. Dengan demikian, karya ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana tulisan, walaupun abstrak, mampu menyampaikan pesan, emosi, dan identitas budaya yang melekat, seolah menghubungkan warisan leluhur dengan energi kehidupan kontemporer.

Dollar Astawa, “Energi Aksara 2”, 2024, acrylic on canvas, 100×120

Dollar Astawa, “Energi Aksara 1”, 2024, acrylic on canvas, 100×120
Teknik melukis Dollar Astawa di sini berhasil menyeimbangkan antara spontanitas dan perhitungan yang mendalam. Goresan yang tampak acak sebenarnya disusun sedemikian rupa sehingga menciptakan “ritme” visual dan kesan gerakan yang konstan. Persepsi gerakan ini tidak hanya mencerminkan keaktifan fisik dalam proses melukis. Namun, juga dapat ditafsirkan sebagai perwujudan dari ritual dan energi transendental – yang sering kali menjadi inspirasi seniman dalam karya-karya mereka. Keterkaitan antara proses ritual, energi, dan bentuk visual sering terlihat dalam karya-karya Dollar Astawa lain yang mengusung tema serupa, seperti yang termaktub dalam pameran-pamerannya, baik yang di Bali maupun Jakarta atau tempat lain.
Selanjutnyan mari simak karya Dollar “Enerji Aksara 2”. Ini merupakan eksplorasi mendalam antara energi visual dan simbolisme budaya yang tersaji melalui bahasa abstrak. Di atas kanvas berukuran 100 x 120 cm, karya ini dibuat dengan teknik akrilik yang menghasilkan tekstur berlapis dan marbled. Terlihat sapuan kuas yang dinamis—terutama dominasi garis-garis hitam dan putih—menimbulkan kesan gerakan yang intens dan spontan. Kontras antara elemen gelap dan terang tidak hanya menonjolkan kekuatan visual, tetapi juga membangkitkan perasaan mengalami arus energi yang mengalir dari satu lapisan ke lapisan lainnya.
Guratan-guratan tegas dan sapuan kuas yang tampak acak dalam karya ini menyiratkan adanya perpaduan antara spontanitas dan perhitungan artistik. Setiap goresan seolah menjadi representasi dari bahasa simbolik – seperti sudah dijelaskan di atas, “aksara” tidak hanya berarti huruf atau tulisan, melainkan juga ritual dan makna filosofis. Intensitas gerak yang terlihat mengingatkan penikmat pada ritme kegiatan ritual masyarakat Bali, di mana tiap lapisan persiapan upacara (atau yang dikenal dengan konsep “metanding”) menjadi bentuk manifestasi atas energi yang mengalir.
Dalam melukis, Dollar Astawa yang kerap disebut dengan pendekatan “Layers Dimension”tampak jelas dalam “Enerji Aksara 2”. Pendekatan ini mengharuskan penekanan pada pengaplikasian lapisan demi lapisan cat yang membangun kedalaman visual – sekaligus menyampaikan pengalaman emosional yang kaya. Proses layering ini menyamakan pengalaman visual dengan proses spiritual, seolah-olah tiap lapisan merupakan medicinal partikel dari energi ritual yang menjadi sumber inspirasi—dimana tiap goresan berperan layaknya aksara yang memuat pesan dan energi transendental.
Sisi simbolis dari karya ini pun mengundang penafsiran berlapis. Judul “Enerji Aksara 2” mengisyaratkan bahwa karya ini adalah kelanjutan dari pencarian untuk mengalirkan energi melalui medium visual yang disamakan dengan aksara atau tulisan sakral. Hal ini mengajak penonton untuk tidak hanya melihat, melainkan juga “membaca” setiap lapisan, mendekode interaksi antara bentuk, tekstur, dan gerakan—sebuah dialog antara kekuatan alam, tradisi ritual, dan ekspresi kreatif kontemporer.
Selanjutnya mari kita coba analisis karya Dollar Astawa yang bertajuk ‘Pesan Leluhur 1’, 2024. Tampak sebagai usaha untuk menyapa ruang antara tradisi estetika Bali dengan bahasa visual kontemporer. Dalam lukisan ini, penggunaan warna-warna gelap – terutama nuansa hitam – tidak hanya menciptakan kedalaman visual, tetapi juga mengingatkan pada misteri serta kekuatan ritual yang diwariskan secara turun-temurun. Sapuan kuas yang energik dan percikan warna menciptakan irama yang seolah-olah mengisahkan pergerakan doa dan tari sakral, sekaligus mengajak penikmatnya untuk membaca pesan yang tersembunyi di antara garis-garis abstrak.
Teknik pemakaian lapisan pada kanvas mengundang kita untuk merenungkan keseimbangan antara keteraturan dan kekacauan. Di satu sisi, terdapat struktur yang tegas dalam bentuk sapuan kuas yang jelas dan intens; di sisi lain, terdapat elemen kekacauan yang dihasilkan oleh percikan warna dan tekstur latar, menciptakan ruang kosong namun sarat makna. Kombinasi ini seolah menyimbolkan perjalanan spiritual: proses di mana tradisi dan pengalaman kontemporer saling bertemu, memberikan ruang bagi penebusan dan penemuan makna baru.
Dollar Astawa tampak memanfaatkan simbolisme yang dalam untuk menyampaikan pesan akar tradisi yang tertanam di jiwanya.. Meskipun karya ini tidak menampilkan figuratif tradisional, namun kekayaan tekstur dan penggunaan warna menyiratkan spiritual, mantra, serta kearifan lokal yang menembus batas waktu. Setiap lapisan eka warna dan tekstur bisa ditempuh sebagai jejak-jejak ingatan kolektif, yang mengundang penikmat untuk merenungi kembali nilai-nilai spiritual dan identitas budaya Bali yang mendalam.

Dollar Astawa, “Pesan leluhur 2”, 2024, acrylic on canvas, 100×120
Menurut saya, karya ini lebih dari sekadar tampilan estetika, ‘Pesan Leluhur 1’ ini, mengajak kita untuk merasakan getaran emosional yang intens. Gerakan yang dinamis dan unik seolah menyuarakan hiruk kehidupan yang penuh dengan ambiguitas – antara keheningan sakral dan dinamika energi alam. Secara intuitif, penikmat mungkin menemukan diri mereka larut ke dalam dialog batin mengenai perjalanan hidup, transformasi, dan komunikasi dengan kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Selain karya-karya di atas, selanjutnya mari kita simak karya Dollar Astawa yang bertajuk ‘Keseimbangan 1’. Karya ini berukuran 155 x 100 cm dan dibuat dengan teknik akrilik di atas kanvas. Secara keseluruhan, terlihat adanya tarian antara garis-garis hitam yang berputar dan area putih yang memberikan ruang terbuka. Meskipun terdapat elemen-elemen yang tampak acak atau bahkan “kacau” – penataan bentuk dan warna ini menciptakan sebuah keseimbangan dinamis. Kontras antara kekuatan garis hitam dan kelembutan ruang putih memberikan kesan visual yang merujuk pada konsep dualitas – antara kekacauan dan ketertiban – yang kemudian menguatkan makna karya, tepat seperti judul “Keseimbangan” itu sendiri.
Terlihat, DollarAstawa menerapkan teknik pelapisan (layering) secara intens, di mana tiap sapuan kuas dan percikan cat dibangun secara bertahap. Proses ini menciptakan dimensi mendalam dengan berbagai tekstur yang tampak menonjol di permukaan kanvas. Sapuan kuas yang eksplisit serta penggunaan intens dari media akrilik memungkinkan terciptanya gradasi, mulai dari tepi yang halus hingga area yang lebih kasar – seakan-akan menangkap momentum gerakan. Ini mengisyaratkan pendekatan ekspresif yang mengutamakan emosi dan gerakan spontan – sebuah teknik yang juga mencerminkan ritual dan energi budaya Bali yang sering dijadikan sumber inspirasi oleh Dollar Astawa.
Di balik kesan visual yang dinamis, karya “Keseimbangan 1” mengajak penikmat untuk merenungkan konsep kehidupan yang selalu bergerak dan berubah. Keseimbangan yang tampak bukan hanya soal estetika, tetapi juga merupakan perwujudan dari pergulatan batin perupanya antara kekacauan dan ketertiban – suatu refleksi akan perjalanan spiritual manusia. Teknik penggunaan lapisan dan tekstur mengisyaratkan bahwa setiap elemen dalam hidup memiliki peran dan makna tersendiri, meskipun pada awalnya tampak bertolak belakang. Melalui karya ini, Dollar Astawa tampaknya ingin mengajak kita menemukan harmoni di tengah ketidakpastian dan dinamika kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, karya “Enerji Aksara 1”, “Enerji Aksara 2”, “Pesan Leluhur 1”, dan “Keseimbangan 1” serta karya-karya ‘eka warnanya’ tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi estetika, tetapi juga sebagai medium untuk mengajak penikmatnya merasakan proses spiritual yang sering disinggung dalam tradisi Bali. Dollar Astawa berhasil memadukan kekuatan visual dengan kedalaman makna sehingga setiap elemen—dari sapuan kuas, lapisan tekstur, hingga penggunaan kontras—menjadi jalinan puitis yang menceritakan tentang perpaduan antara energi, ritual, dan komunikasi simbolis. Karya ini mengundang kita untuk masuk lebih jauh ke makna-makna yang tersembunyi di balik tiap lapisan – seakan membaca sebuah kitab rahasia tentang dinamika kehidupan dan budaya.

Dollar Astawa, “Pesan leluhur 1”, 2024, acrylic on canvas, 100×120

Dollar Astawa, “Keseimbangan 3”, 2024, acrylic on canvas, 100×155
Masih banyak lagi karya ‘eka warna’ Dollar Astawa yang mempergunakan teknik serupa. Karya-karya Dollar ini mengundang penikmat untuk tidak hanya melihat – tetapi juga merasakan dan menafsirkan setiap garis, tekstur, dan ruang yang disajikan. Dalam konteks yang lebih luas, karya-karyanya menekankan betapa seni dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, mengundang dialog mendalam tentang identitas serta perpaduan antara energi alam dan kekuatan simbolik aksara.
Pembahasan mengenai teknik dan penggunaan simbolisme dalam karya Dollar Astawa membuka ruang untuk mengeksplorasi bagaimana metode improvisasi dalam seni rupa. Ini dapat menciptakan pengalaman estetik yang penuh emosi dan makna. Mungkin menarik untuk melihat bagaimana elemen-elemen ini tidak hanya merefleksikan ekspresi pribadi seniman, tetapi juga mengundang kita, sebagai penikmat seni – untuk menemukan “energi” dan “pesan” yang tersembunyi di balik tiap lapisan lukisan.
Salah satu aspek unik dari tekniknya adalah bagaimana ia mengambil inspirasi dari ritual-ritual Hindu Bali. Dalam tradisi Bali, ada konsep “metanding”, yaitu menyusun sarana upakara dalam lapisan-lapisan yang berkesinambungan. Astawa menerjemahkan konsep ini ke dalam seni lukisnya dengan menciptakan komposisi yang ramai namun tetap memiliki keseimbangan dan harmoni. Selain itu, ia tak pernah lupa melakukan ritual keagamaan di hari-hari raya agama dan tradisinya.
Ini, menurutnya membantu membawa energi baru ke dalam proses kreatifnya. Menurutnya, ini tidak hanya menghasilkan karya yang kaya secara visual, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Dalam praktiknya, Astawa menggunakan guratan khas yang mencerminkan gerakan spontan namun tetap terkendali. Ia juga sering bekerja dengan panel kanvas yang disusun dalam beberapa bagian, seperti dalam beberapa karyanya, yang terdiri dari tiga panel kanvas berukuran besar.
Menelaah karya-karya Dollar, saya seperti diingatkan kembali proses kreatif (bukan visualnya) para perupa internasional, seperti Jackson Pollock, Wassily Kandinsky, Piet Mondrian, Kazimir Malevich, dan lain sebagainya. Seperti kita ketahui, pada awal abad ke-20, perubahan besar terjadi dalam dunia seni ketika seniman mulai mempertanyakan tujuan seni itu sendiri. Pionir seperti Wassily Kandinsky mulai mengemukakan bahwa warna dan bentuk mempunyai kemampuan untuk menyentuh jiwa manusia secara langsung tanpa harus mengandalkan representasi objek yang nyata.
Mari coba kita simak karya lukisan Wassily Kandinsky, Improvisasi nomor 28 versi kedua. Ini adalah lukisan abstrak yang menggunakan warna dan bentuk seperti musik. Lukisan tersebut tidak sepenuhnya abstrak, tetapi memiliki sedikit nuansa alam. Karya Kandinsky ini mencerminkan kekacauan pada masanya, mengisyaratkan perang dan kisah-kisah kitab suci. Penggunaan warna dan garis yang inovatif menciptakan musikalitas dalam lukisan itu. Lukisan lain karya Kandinsky yang menarik adalah Improvisasi No. 30 (Cannons). Ini adalah lukisan cat minyak yang dibuat antara tahun 1911 dan 1913.

Wassily Kandisky, “Improvisation No.30” , 1911, oil on canvas, 111 x 111.3 cm

Wassily Kandisky, “Improvisation 28” , 1912, oil on canvas, 112.6 x 162.5 cm
Banyak pengamat mengatakan, Kandinsky, dengan karya-karyanya yang berjudul “Improvisations” dan “Compositions”, menunjukkan bahwa seni bisa beroperasi dalam ranah spiritual dan emosional . Selain itu, ada juga perupa Kazimir Malevich. Ia memperkenalkan konsep suprematisme melalui karya-karya seperti “Black Square”, yang menyuarakan gagasan tentang “ruang murni” tanpa ikatan pada bentuk realitas . Sementara itu, Piet Mondrian juga berkontribusi melalui perkembangan aliran neoplastisisme, di mana ia mereduksi bentuk-bentuk visual menjadi garis vertikal dan horizontal dengan warna primer sebagai simbol keteraturan yang abstrak .
Namun, bagi saya, karya-karya Dollar Astawa lebih dekat dengan karya-karya Jackson Pollock. Seperti kita ketahui, selama akhir tahun 1940-an, Jackson Pollock mengembangkan teknik yang membuatnya paling dikenal – lukisan tetes atau ‘drip painting’. Pada saat di wawancara oleh William Wright (radio Sag Harbor) pada awal 1950-an – Jackson Pollock menekankan penggunaan media nontradisional dalam drip painting-nya.
Secara khusus, ia mengungkapkan bahwa ia memanfaatkan cat enamel. Sebab Cat enamel memiliki kekentalan yang memungkinkan cairan tersebut mengalir dan menetes secara spontan di atas kanvas yang ia letakkan di lantai, ketika dipecahkan dengan gerakan fisik. Sifat ini mendukung proses “action painting” di mana kecepatan dan fisikalitas tercermin dalam jejak-jejak tinta atau cat yang tertinggal. “Dengan cara ini saya dapat berjalan di sekitarnya, bekerja dari keempat sisi dan benar-benar berada dalam lukisan”tutur Pollock pada Wright.
”Bagi Pollock, proses meneteskan, menuangkan, dan memercikkan memberinya kombinasi antara peluang dan kendali. Potongan-potongan kecil kehidupan sehari-hari seolah-olah juga masuk ke dalam komposisi. Untuk mencari sesuatu yang dapat mengikuti lukisan tetesnya, Pollock mulai bekerja dalam warna hitam dan putih, yang merupakan cara Convergence dimulai. Tidak puas dengan hasilnya, ia menambahkan warna sebagai cara untuk menyelamatkan karyanya. Pada tahun 1952, para kritikus memperdebatkan apakah ia berhasil atau tidak. Namun, saat ini, Convergence dianggap sebagai salah satu mahakarya seniman tersebut.

Jackson Pollock, “Convergence” , 1952, oil on canvas, 93.5 x 155
Beberapa karya Jackson Pollock yang sepenuhnya matang – dibuatnya antara tahun 1942 dan 1947. Ia menggunakan ikonografi khas yang ia kembangkan sebagian sebagai respons terhadap Surealisme. Karya-karya terobosan Pollock muncul dari pertemuan abstraksi dan figuratif ini, yang umumnya dianggap sebagai abstraksi murni dan dibuat selama periode yang meledak-ledak antara akhir tahun 1947 dan 1950, seperti dalam Number 18 (1950). Selama periode waktu ini, Jackson Pollock mulai menggunakan cat berbasis resin sintetis, yang pada saat itu merupakan media baru. Teknik Pollock dalam menuangkan dan meneteskan cat dianggap sebagai salah satu asal mula istilah lukisan aksi.
Dengan teknik ini, Pollock mampu mencapai cara yang lebih cepat dalam menciptakan karya seni, cat kini benar-benar mengalir dari alat yang dipilihnya ke kanvas. Dengan menentang konvensi melukis di permukaan tegak, ia menambahkan dimensi baru dengan mampu melihat dan mengaplikasikan cat ke kanvasnya dari segala arah. Hal ini, teknik ‘drip painting’ Pollock – juga dipergunakan oleh Dollar Astawa.
Begitulah penelisikan saya pada karya-karya ‘eka warna’ Dollar Astawa. Kontras antara warna hitam yang dominan dan ruang putih yang memberikan ruang kosong dapat dimaknai sebagai simbol interaksi antara ketegangan dan ketenangan, antara energi dan refleksi, atau antara kekacauan dan keteraturan. Ini mencerminkan prinsip keseimbangan dalam filsafat Timur—mirip dengan konsep yin dan yang – di mana keberadaan satu elemen bergantung pada kehadiran lawannya untuk menciptakan kesatuan.
“Keberadaan tentang ritual atau proses keagamaan, merupakan metode saat saya menciptakan karya seni. Yang di dalam nya mengandung tentang pengetahuan, kekhusukan,keriuhan ,etika, moral, spiritual,dan logika, hal ini lah yang menjadi filosofi saya dalam berkesenian. Dimana saya berusaha menampilkan energi itu semua lewat garis, warna, komposisi, dan ekpresi di dalam karya saya”, ujar Dollar Astawa suatu saat.

Dollar Astawa, “Keseimbangan 2”, 2024, acrylic on canvas, 100×155
Dollar Astawa, melalui karya-karyanya tampaknya ingin menunjukkan bahwa dualitas (rwa bhineda) bukanlah suatu hal yang kaku atau diam, tetapi merupakan interaksi dinamis antara berbagai elemen yang saling berkontribusi dalam membentuk harmoni. Sebab, “Rwa Bhineda” juga mencerminkan prinsip keseimbangan dan harmoni antara manusia, alam, dan kosmos. Dollar memang acap menyisipkan konten spiritual pada karya-karyanya. Begitulah yang ‘diucapkan’ Dollar Astawa melalui karya-karya ‘Eka warna’nya (‘hitam-putih’nya). [T]
- Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA