15 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Meredefinisi Kebangkitan Nasional di Era Digital

Petrus Imam Prawoto JatibyPetrus Imam Prawoto Jati
May 19, 2025
inEsai
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

Petrus Imam Prawoto Jati

“Bangsa adalah komunitas terbayang, dan seperti komunitas lainnya, bangsa hanya hidup sejauh ia diyakini oleh orang-orang yang menjadi bagiannya.”
— Benedict Anderson, Imagined Communities (1983)–

MENYONGSONG peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, kita senantiasa dihadapkan pada suatu pekerjaan rumah yang tak pernah usai dan memang jangan usai. Yakni memperbaharui lagi semangat kebangsaan kita.  Setiap bulan Mei, kita mendengar lagi jargon-jargon lama yang dihidupkan ulang dari buku paket Pendidikan Kewarganegaraan: persatuan, nasionalisme, cita-cita bangsa.

Tapi pertanyaan reflektif  yang sekarang mulai jarang ditanyakan adalah, kebangkitan nasional ini bangkit dari apa dan untuk apa? Dan di tengah ini semua, konsep “bangsa” itu sendiri mulai terasa seperti artefak zaman baheula. Jujur saja, masih perlukah bicara soal nasionalisme ketika batas negara makin kabur, dan anak-anak muda lebih mengenal idol Korea ketimbang pahlawan nasional?

Sidang pembaca yang budiman, mari kita mulai dengan teori klasik dari Benedict Anderson. Dalam bukunya Imagined Communities, Anderson menyebut bahwa bangsa bukanlah fakta biologis, tetapi konstruksi sosial yang dibayangkan oleh sekelompok orang sebagai satu kesatuan. Mereka ini merasa satu, meskipun tak pernah bertatap muka.

Meski bukanmerupakan saudara ataupun ada hubungan keluarga. Menurut Anderson, rasa kebangsaan ini dimungkinkan adanya oleh (waktu itu) media cetak, bahasa yang diseragamkan, dan narasi sejarah yang dimiliki bersama. Inilah yang memungkinkan kita semua, baik orang Aceh, Sunda, Dayak, dan Bugis membayangkan diri sebagai “orang Indonesia”.

Tapi di era digital, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu fragmentasi identitas. Algoritma sosial media menggiring kita masuk ke echo chamber, bergaul hanya dengan yang sepemikiran. Yang sama seleranya saja. Yang Jawa sibuk dengan konten budaya Jawa, yang urban nonton Netflix dan ngetwit pakai bahasa Jaksel, sementara yang lain tenggelam dalam grup WA keluarga lengkap dengan konsumsi hoaks berlusin-lusin. Bangsa yang dulunya dibayangkan sebagai satu tubuh bersama, kini lebih mirip kolase digital yang tak tersambung dengan rapat dan utuh. Agak-agak kendor begitu, sentil sedikit runtuh bentuknya.

Generasi yang Lupa Sejarah dan Tidak Merasa Bersalah

Kita tidak bisa menyalahkan generasi muda karena tidak hafal isi Sumpah Pemuda. Yang salah justru mereka yang masih mengira nasionalisme bisa dipaksakan lewat hafalan dan upacara bendera. Generasi ini dibesarkan dalam dunia yang serba real-time, visual, dan instan. Kita tidak akan bisa menginspirasi mereka dengan ceramah tentang Boedi Oetomo, sambil masih pakai template PowerPoint tahun 2004.

Bahwa sejarah bangsa itu sungguh penting, memang iya. Tapi, cara kita menceritakannya yang sering kali gagal membuatnya relevan. Alih-alih membuat sejarah sebagai medan refleksi kritis, kita justru menjadikannya sebagai museum steril bak pajangan saja.

Padahal, menurut Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2011), narasi sejarah adalah salah satu alat paling kuat untuk membentuk solidaritas sosial. Tapi narasi itu harus terus diperbarui. Kalau tidak, ia akan ditinggalkan. Seperti lagu perjuangan yang terus diputar, tapi tak lagi menggugah, hanya malah mengganggu. Sejarah yang tak berevolusi hanya akan menjadi fosil, dipajang, dikenang, tapi tak lagi menggerakkan.

Bagaimana pun, setiap generasi memiliki cerminannya sendiri, tafsirnya sendiri, dan maknanya sendiri terhadap masa lalu. Jika narasi lama tak mampu kompromi dengan perubahan zaman, maka ia akan dilupakan, digeser oleh cerita hari ini yang lebih relevan, yang lebih dekat dengan denyut kehidupan sekarang. Sebab ingatan kolektif  sebagai bangsa bukan berupa susunan kata yang kita hafalkan dari buku sejarah, tapi berupa suatu semangat, semangat kebangsaan yang apinya harus terus dijaga agar tetap menyala. Sebab dalam hari-hari mendekati peringatan Kebangkitan Nasional ini, kita mau tak mau tetap harus menengok pada sejarah. Sebab saya yakin, tak ada bangsa besar yang lahir dari ingatan yang pendek dan imajinasi yang sempit.

Digitalisme, Kewarganegaraan Baru?

Kini muncul tren baru, sering kita dengungkan sebagai warga digital global. Identitas nasional terkadang kalah penting dibanding komunitas virtual. Seorang pemuda di Indonesia bisa merasa lebih dekat dengan gamer di Finlandia ketimbang tetangga kosnya sendiri. Aneh jika ini kejadian di masa lalu, tapi kenyataan ini terasa masuk akal di jaman sekarang, kan? Apakah ini berarti sekarang nasionalisme mati? Tentu tidak, nasionalisme hanya bertransformasi.

Anak muda hari ini mungkin tidak lagi mengibarkan bendera, tapi mereka mempromosikan kopi lokal di TikTok, membuat startup untuk petani desa, atau membela Palestina dengan media desain grafis. Bentuknya berubah, tapi jiwa kolektifnya bisa tetap ada, dengan syarat, jika diberi ruang. Masalahnya, negara sering lamban menangkap sinyal ini. Pendidikan masih berpikir dalam kurikulum zaman Orde Baru. Peringatan nasional masih mengulang upacara yang sama, pidato yang sama, mungkin siapa tahu, bisa jadi typo yang sama.

Seperti dikatakan George Santayana jauh tahun dalam bukunya The Life of Reason (1905), “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”, di mana ia menjelaskan bahwa kemajuan manusia bergantung pada kemampuan untuk mempertahankan pengalaman dan belajar dari sejarah.  Maka, jika saat ini para pembaca yang budiman merasa Indonesia belum maju, jangan-jangan, kita sedang mengulang ketertinggalan yang sama, tapi dengan wajah baru, misal korupsi sistemik, kemiskinan berlarut, budaya populer yang ecek-ecek, serta bangsa yang semakin mudah dipecahambyarkan karena hoaks dan identitas sempit.

Jika dulu kebangkitan nasional artinya menolak kolonialisme Belanda, maka mestinya hari ini maknanya bisa lebih luas. Kebangkitan nasional bisa berarti melawan korupsi yang menjajah masa depan anak muda, melawan ketimpangan yang membuat pendidikan berkualitas jadi barang mewah, melawan hoaks yang memecah belah warga, atau melawan konsumerisme yang menindas budaya lokal.

Peringatan bertajuk 20 Mei mungkin hanya simbol. Tapi seperti kata Clifford Geertz, simbol adalah kunci dalam memahami budaya. Tanpa simbol, kita kehilangan pegangan kolektif. Sama seperti tiang bendera,  diam kokoh tak bergerak, tapi menopang semua makna yang berkibar di atasnya. Maka kalau ada yang tak hendak hormat pada bendera Indonesia, jelas dia tak hendak menjadi bagian dari bangsa ini. Bukan hormat pada kainnya, tapi pada makna yang dikandungnya.  

Awas Ketiduran!

Namun, kita harus hati-hati, merayakan simbol tanpa memahami makna adalah bentuk lain dari tidur lelap dalam kemerdekaan. Begitu dibangunkan, lantas tergagap-gagap bingung, karena tak punya konsep. Jangan sampai peringatan 20 Mei hanya jadi rutinitas tanpa refleksi.

Kalau kita rayakan Boedi Oetomo tapi tanpa menyadari bahwa pendidikan hari ini masih mahal dan eksklusif, kita sedang dalam kondisi munafik mode on. Kalau kita terkagum-kagum perjuangan masa lalu, tapi hari ini cuek saja pada politik dan tidak peduli lingkungan, kita sedang gagal paham tentang nasionalisme.

Sebagai warga negara di era algoritma, bangkit bisa berarti berani berpikir kritis meski berbeda dari arus utama, berani peduli saat orang lain sibuk scroll konten viral, berani terlibat dalam demokrasi, komunitas, dan perjuangan sosial, serta berani hidup sederhana ketika gaya hidup konsumtif dan  flexing dipuja. Kebangkitan nasional hari ini harus menyentuh semua kelas, semua wilayah, dan semua generasi.

Soekarno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Ironisnya, kata-kata itu makin relevan hari ini. Maka, 20 Mei seharusnya bukan perayaan romantik, tapi pengingat bahwa tugas kebangsaan belumlah usai. Kita belum bangkit sepenuhnya jika sekolah masih jadi beban biaya, bukan tempat pembebasan, jika media masih menjual kebencian demi “klik”, jika budaya lokal masih kalah dari hiburan viral yang tak jelas.

Bangsa yang lupa sejarahnya, kata Bung Karno, adalah bangsa yang rapuh. Tapi bangsa yang hanya mengenang sejarah tanpa berani tetap berjuang, waduh, itu lebih tragis lagi. Jadi, para pembaca yang budiman, selamat menyongsong Hari Kebangkitan Nasional. Masihkah kita meyakini bangsa kita ini? Semoga kali ini kita tidak tertidur lelap dalam kemerdekaan. Tabik. [T]

Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole

BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI

Pendidikan Kita Sedang Tersesat?
Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?
Ogah Baca, Nyalakan Bom Waktu
Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?
Ogah Baca, Nyalakan Bom Waktu
Tags: generasi mudaHari Kebangkitan NasionalKebangkitan Nasional
Previous Post

Film Cina dan Drama Cina, Mana yang Paling Seru?

Next Post

Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

Petrus Imam Prawoto Jati

Petrus Imam Prawoto Jati

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah

Next Post
Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

LELUHUR JAGUNG

by Sugi Lanus
June 13, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

—Catatan Harian Sugi Lanus, 13 Juni 2025 *** Ini adalah sebuah jejak “peradaban jagung”. Tampak seorang ibu berasal dari pulau...

Read more

Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

by Vincent Chandra
June 12, 2025
0
Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

Artikel ini adalah bagian dari tulisan pengantar pameran tunggal perupa Gusti Kade di Dinatah Art House, Singapadu, opening pada tanggal...

Read more

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit

by I Made Pria Dharsana
June 10, 2025
0
Perjanjian Pengalihan dan Komersialisasi Paten dalam Teori dan Praktek

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit : Pasca Putusan MK Nomot 67/PUU-XI/2013 Penulis: Dr. I Made Pria Dharsana, SH., MHumIndrasari...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja
Panggung

Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja

DI acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” itu, Rizki Pratama tampaknya energik ketika tampil sebagai opening di Café Halaman Belakang...

by Sonhaji Abdullah
June 10, 2025
New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya
Gaya

New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya

SAAT ini sneakers bukan lagi sekadar kebutuhan untuk melindungi kaki saja melainkan telah berkembang jadi bagian penting dari gaya hidup....

by tatkala
June 9, 2025
I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi
Persona

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

ISU apakah sastrawan di Indonesia bisa hidup dari sastra belakangan ini hangat diperbincangkan. Bermula dari laporan sebuah media besar yang...

by Angga Wijaya
June 8, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co