“Bangsa adalah komunitas terbayang, dan seperti komunitas lainnya, bangsa hanya hidup sejauh ia diyakini oleh orang-orang yang menjadi bagiannya.”
— Benedict Anderson, Imagined Communities (1983)–
MENYONGSONG peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, kita senantiasa dihadapkan pada suatu pekerjaan rumah yang tak pernah usai dan memang jangan usai. Yakni memperbaharui lagi semangat kebangsaan kita. Setiap bulan Mei, kita mendengar lagi jargon-jargon lama yang dihidupkan ulang dari buku paket Pendidikan Kewarganegaraan: persatuan, nasionalisme, cita-cita bangsa.
Tapi pertanyaan reflektif yang sekarang mulai jarang ditanyakan adalah, kebangkitan nasional ini bangkit dari apa dan untuk apa? Dan di tengah ini semua, konsep “bangsa” itu sendiri mulai terasa seperti artefak zaman baheula. Jujur saja, masih perlukah bicara soal nasionalisme ketika batas negara makin kabur, dan anak-anak muda lebih mengenal idol Korea ketimbang pahlawan nasional?
Sidang pembaca yang budiman, mari kita mulai dengan teori klasik dari Benedict Anderson. Dalam bukunya Imagined Communities, Anderson menyebut bahwa bangsa bukanlah fakta biologis, tetapi konstruksi sosial yang dibayangkan oleh sekelompok orang sebagai satu kesatuan. Mereka ini merasa satu, meskipun tak pernah bertatap muka.
Meski bukanmerupakan saudara ataupun ada hubungan keluarga. Menurut Anderson, rasa kebangsaan ini dimungkinkan adanya oleh (waktu itu) media cetak, bahasa yang diseragamkan, dan narasi sejarah yang dimiliki bersama. Inilah yang memungkinkan kita semua, baik orang Aceh, Sunda, Dayak, dan Bugis membayangkan diri sebagai “orang Indonesia”.
Tapi di era digital, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu fragmentasi identitas. Algoritma sosial media menggiring kita masuk ke echo chamber, bergaul hanya dengan yang sepemikiran. Yang sama seleranya saja. Yang Jawa sibuk dengan konten budaya Jawa, yang urban nonton Netflix dan ngetwit pakai bahasa Jaksel, sementara yang lain tenggelam dalam grup WA keluarga lengkap dengan konsumsi hoaks berlusin-lusin. Bangsa yang dulunya dibayangkan sebagai satu tubuh bersama, kini lebih mirip kolase digital yang tak tersambung dengan rapat dan utuh. Agak-agak kendor begitu, sentil sedikit runtuh bentuknya.
Generasi yang Lupa Sejarah dan Tidak Merasa Bersalah
Kita tidak bisa menyalahkan generasi muda karena tidak hafal isi Sumpah Pemuda. Yang salah justru mereka yang masih mengira nasionalisme bisa dipaksakan lewat hafalan dan upacara bendera. Generasi ini dibesarkan dalam dunia yang serba real-time, visual, dan instan. Kita tidak akan bisa menginspirasi mereka dengan ceramah tentang Boedi Oetomo, sambil masih pakai template PowerPoint tahun 2004.
Bahwa sejarah bangsa itu sungguh penting, memang iya. Tapi, cara kita menceritakannya yang sering kali gagal membuatnya relevan. Alih-alih membuat sejarah sebagai medan refleksi kritis, kita justru menjadikannya sebagai museum steril bak pajangan saja.
Padahal, menurut Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2011), narasi sejarah adalah salah satu alat paling kuat untuk membentuk solidaritas sosial. Tapi narasi itu harus terus diperbarui. Kalau tidak, ia akan ditinggalkan. Seperti lagu perjuangan yang terus diputar, tapi tak lagi menggugah, hanya malah mengganggu. Sejarah yang tak berevolusi hanya akan menjadi fosil, dipajang, dikenang, tapi tak lagi menggerakkan.
Bagaimana pun, setiap generasi memiliki cerminannya sendiri, tafsirnya sendiri, dan maknanya sendiri terhadap masa lalu. Jika narasi lama tak mampu kompromi dengan perubahan zaman, maka ia akan dilupakan, digeser oleh cerita hari ini yang lebih relevan, yang lebih dekat dengan denyut kehidupan sekarang. Sebab ingatan kolektif sebagai bangsa bukan berupa susunan kata yang kita hafalkan dari buku sejarah, tapi berupa suatu semangat, semangat kebangsaan yang apinya harus terus dijaga agar tetap menyala. Sebab dalam hari-hari mendekati peringatan Kebangkitan Nasional ini, kita mau tak mau tetap harus menengok pada sejarah. Sebab saya yakin, tak ada bangsa besar yang lahir dari ingatan yang pendek dan imajinasi yang sempit.
Digitalisme, Kewarganegaraan Baru?
Kini muncul tren baru, sering kita dengungkan sebagai warga digital global. Identitas nasional terkadang kalah penting dibanding komunitas virtual. Seorang pemuda di Indonesia bisa merasa lebih dekat dengan gamer di Finlandia ketimbang tetangga kosnya sendiri. Aneh jika ini kejadian di masa lalu, tapi kenyataan ini terasa masuk akal di jaman sekarang, kan? Apakah ini berarti sekarang nasionalisme mati? Tentu tidak, nasionalisme hanya bertransformasi.
Anak muda hari ini mungkin tidak lagi mengibarkan bendera, tapi mereka mempromosikan kopi lokal di TikTok, membuat startup untuk petani desa, atau membela Palestina dengan media desain grafis. Bentuknya berubah, tapi jiwa kolektifnya bisa tetap ada, dengan syarat, jika diberi ruang. Masalahnya, negara sering lamban menangkap sinyal ini. Pendidikan masih berpikir dalam kurikulum zaman Orde Baru. Peringatan nasional masih mengulang upacara yang sama, pidato yang sama, mungkin siapa tahu, bisa jadi typo yang sama.
Seperti dikatakan George Santayana jauh tahun dalam bukunya The Life of Reason (1905), “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”, di mana ia menjelaskan bahwa kemajuan manusia bergantung pada kemampuan untuk mempertahankan pengalaman dan belajar dari sejarah. Maka, jika saat ini para pembaca yang budiman merasa Indonesia belum maju, jangan-jangan, kita sedang mengulang ketertinggalan yang sama, tapi dengan wajah baru, misal korupsi sistemik, kemiskinan berlarut, budaya populer yang ecek-ecek, serta bangsa yang semakin mudah dipecahambyarkan karena hoaks dan identitas sempit.
Jika dulu kebangkitan nasional artinya menolak kolonialisme Belanda, maka mestinya hari ini maknanya bisa lebih luas. Kebangkitan nasional bisa berarti melawan korupsi yang menjajah masa depan anak muda, melawan ketimpangan yang membuat pendidikan berkualitas jadi barang mewah, melawan hoaks yang memecah belah warga, atau melawan konsumerisme yang menindas budaya lokal.
Peringatan bertajuk 20 Mei mungkin hanya simbol. Tapi seperti kata Clifford Geertz, simbol adalah kunci dalam memahami budaya. Tanpa simbol, kita kehilangan pegangan kolektif. Sama seperti tiang bendera, diam kokoh tak bergerak, tapi menopang semua makna yang berkibar di atasnya. Maka kalau ada yang tak hendak hormat pada bendera Indonesia, jelas dia tak hendak menjadi bagian dari bangsa ini. Bukan hormat pada kainnya, tapi pada makna yang dikandungnya.
Awas Ketiduran!
Namun, kita harus hati-hati, merayakan simbol tanpa memahami makna adalah bentuk lain dari tidur lelap dalam kemerdekaan. Begitu dibangunkan, lantas tergagap-gagap bingung, karena tak punya konsep. Jangan sampai peringatan 20 Mei hanya jadi rutinitas tanpa refleksi.
Kalau kita rayakan Boedi Oetomo tapi tanpa menyadari bahwa pendidikan hari ini masih mahal dan eksklusif, kita sedang dalam kondisi munafik mode on. Kalau kita terkagum-kagum perjuangan masa lalu, tapi hari ini cuek saja pada politik dan tidak peduli lingkungan, kita sedang gagal paham tentang nasionalisme.
Sebagai warga negara di era algoritma, bangkit bisa berarti berani berpikir kritis meski berbeda dari arus utama, berani peduli saat orang lain sibuk scroll konten viral, berani terlibat dalam demokrasi, komunitas, dan perjuangan sosial, serta berani hidup sederhana ketika gaya hidup konsumtif dan flexing dipuja. Kebangkitan nasional hari ini harus menyentuh semua kelas, semua wilayah, dan semua generasi.
Soekarno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Ironisnya, kata-kata itu makin relevan hari ini. Maka, 20 Mei seharusnya bukan perayaan romantik, tapi pengingat bahwa tugas kebangsaan belumlah usai. Kita belum bangkit sepenuhnya jika sekolah masih jadi beban biaya, bukan tempat pembebasan, jika media masih menjual kebencian demi “klik”, jika budaya lokal masih kalah dari hiburan viral yang tak jelas.
Bangsa yang lupa sejarahnya, kata Bung Karno, adalah bangsa yang rapuh. Tapi bangsa yang hanya mengenang sejarah tanpa berani tetap berjuang, waduh, itu lebih tragis lagi. Jadi, para pembaca yang budiman, selamat menyongsong Hari Kebangkitan Nasional. Masihkah kita meyakini bangsa kita ini? Semoga kali ini kita tidak tertidur lelap dalam kemerdekaan. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI